KASUS barang dagangan milik ratusan inang-inang, yang pernah diduga sebagai hasil selundupan melalui kapal Niaga XVI dan Sindoro, pada Mei 1988, ternyata berbuntut jelek buat Pengacara R.O. Tambunan, 53 tahun. Pengacara senior yang semula menjadi kuasa hukum para ibu pedagang antarpulau itu, Senin dua pekan lalu, diadukan Nyonya D.S. Nainggolan, 52 tahun, yang mengaku mewakili puluhan inang-inang lainnya, ke Polres Jakarta Timur. Nyonya Nainggolan menuding Tambunan telah melakukan penggelapan dan penipuan dalam menangani kasus barang dagangan mereka, yang ditahan Bea Cukai (BC). Menurut ibu yang sudah 20 tahun menjadi pedagang antapulau itu, sewaktu 8.227 koli barang mereka senilai Rp 5 milyar lebih dikembalikan BC, ternyata 30% sampai 50% saja yang sampai ke tangan mereka. Sisanya, bernilai sekitar Rp 3,5 milyar, kata Nainggolan, "dibisniskan" Pengacara Tambunan. Kasus barang inang-inang ini pernah mengebohkan, setelah petugas BC menyergap kapal Sindoro, Niaga VI, dan Sriyani, yang datang dari Tanjungpinang pertengahan Mei 1988. Dalam perut ketiga kapal itu ditemukan sekitar 1.100 ton barang-barang elektronik eks luar negeri. Ternyata, muatan itu hasil selundupan dari Singapura, melalui kapal Levana dan Selat Jaya, yang kemudian diantarpulaukan dengan ketiga kapal tadi. Ketika itu, siapa otak penyelundupan itu masih sulit diungkapkan. Yang jelas, muatan kapal Niaga XVI itu -- terdiri dari onderdil, elektronik, tekstil, keramik, dan minuman keras -- diakui inang-inang sebagai milik mereka, yang dibelinya di Tanjungpinang. Sebab itu, mereka menuntut agar barang-barang itu dikembalikan. Menteri Keuangan J.B. Sumarlin, sewaktu meninjau barang selundupan itu di gudang BC, sempat menyatakan barang tersebut "tak bertuan". Malah Sumarlin menduga usaha pengiriman besar-besaran itu tak mustahil diorganisasi. Paling tidak, katanya, inang-inang itu punya beking. Waktu itu juga, Menteri Muda Perindustrian Tungky Ariwibowo menyebut perbuatan para inang-inang itu "tidak bermoral" (TEMPO, 28 Mei 1988). Belakangan, pihak kejaksaan berhasil menyeret penyelundup yang menggunakan kapal Levana dan Selat Jaya, Kaligis dan empat orang rekannya, ke Pengadilan Negeri Tanjungpinang. Sementara itu, di Jakarta, ratusan inang-inang menguasakan kasus itu kepada R.O. Tambunan. Tambunan sempat menuntut ganti rugi Rp 3,5 milyar dari Menmud Perindustrian dan Dirjen BC di Pengadilan Negeri Jakarta Timur atas penyitaan barang-barang itu. Hanya saja, gugatan ini akhirnya dicabut, konon, lantaran BC bersedia mengembalikan barang-barang itu kepada para inang. Pada Mei lalu, barang-barang itu memang dikembalikan kepada mereka. Tapi, menurut Nyonya Nainggolan, ternyata mereka hanya menerima 50% barang yang berasal dari Tanjungpinang dan 30% barang yang dianggap bukan berasal dari Tanjungpinang. Barang milik Nyonya Nainggolan sendiri, misalnya, yang semula sebanyak 200 koli, hanya diterimanya sekitar separuhnya, senilai Rp 20 juta. Belakangan, masih menurut Nyonya Nainggolan, Tambunan menjelaskan pengembalian barang itu berhasil atas bantuan dana dari seorang pedagang India bernama Lilo Assandas. Lilo, katanya, telah mengeluarkan dana sekitar Rp 1,2 milyar untuk pembayaran bea ke BC, Rp 200 juta jasa pengacara, dan Rp 500 juta biaya lainnya. Sebab itu, Lilo berhak atas 50% barang yang berasal dari Tanjungpinang dan 70% untuk yang bukan dari Tanjunpinang. Padahal, kata Nyonya Nainggolan, ia dan rekan-rekannya tak pernah memberikan kuasa kepada Tambunan untuk mencari penyandang dana, apalagi mengeluarkan uang sebanyak itu. Selain itu, "Tambunan mengatakan semua barang kena bea," ujar Nainggolan. Padahal, BC melalui surat tertanggal 25 Februari 1989 menyatakan hanya barang-barang sebanyak 1.352 koli yang berasal dari rembesan Pulau Batam saja yang dikenai bea sekitar Rp 1,2 milyar. Sedangkan 6.288 koli barang lainnya dikembalikan kepada para inang tanpa bea. "Semua barang kami berasal dari Tanjungpinang dan tak dikenai bea," kata Nainggolan. Sebab itu, ia mengadukan Tambunan ke polisi . "Dia kan pengacara, kenapa jadi bisnis." Pengacara R.O. Tambunan membantah semua tuduhan itu. "Tidak secuil pun barang itu ada pada saya," ujar Tambunan. Bahkan, katanya, Nyonya Nainggolan tidak termasuk inang-inang kliennya. Menurut Ketua Ikadin ini, semua barang tersebut, sesuai dengan perjanjian sebelumnya, sudah dikembalikan kepada para inang-inang tadi dan penyandang dana. Selama ini, kata Tambunan, justru ia yang habis-habisan mengurus perkara itu. Mulai dari upaya membebaskan barang-barang itu, mencari penyandang dana, sampai mengusahakan penurunan bea dari Bea Cukai -- yang semula Rp 6 milyar. Sebetulnya, "Saya sudah muak dengan kasus ini. Selama setahun mereka di kantor saya. Honor saya tidak dibayar, bahkan saya dituntut penyandang dana," katanya. Soalnya, kata Tambunan, setelah penyandang dana mengeluarkan biaya sampai Rp 1,9 milyar, banyak pemilik barang yang tak bersedia mematuhi ketentuan rasio 30:70. Akibatnya Tambunan, yang mengaku sampai pekan ini belum diperiksa polisi, dituntut penyandang dana untuk menanggung kekurangan itu sampai ratusan juta rupiah itu. Tapi, menurut Dirjen Bea Cukai Sudjana Surawidjaja, barang inang-inang itu memang tak ada hubungannya dengan kasus Kaligis dkk. "Masalah barang-barang mereka itu sudah selesai. Semuanya sudah dikembalikan kepada R.O. Tambunan," kata Sudjana, Sabtu pekan lalu. Dirjen Sudjana membenarkan bahwa barang inang-inang yang berasal dari rembesan Pulau Batam sudah dikembalikan pula setelah membayar bea Rp 1,2 milyar. Tapi, katanya, tak benar bea semula yang Rp 6 milyar atas permintaan Tambunan diturunkannya menjadi Rp 1,2 milyar. "Tidak benar kalau bea itu bisa ditawar-tawar," ujarnya.Happy S., Liston P.S., dan B. Aji S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini