Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Yang senang di regulasi

Kongres SPS berakhir & pengurus periode 1989-1994 terbentuk dengan ketua zulharmans. pasar masih terbuka untuk persuratkabaran nasional. tapi untuk sementara tak akan ada pemberian izin siupp baru.

17 Juni 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KONGRES Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) telah berakhir Kamis pekan lalu. Dan pengurus baru periode 1989-1994 -- dengan ketua Zulharmans -- sudah terbentuk. Ada tebersit secercah harapan, di samping kenyataan bahwa banyak hal yang menggayuti bisnis pers dibiarkan tak terjamah. Menteri Penerangan Harmoko, misalnya, pada acara penutupan Kongres, berbicara tentang rasio pembaca dan oplah surat kabar, yang di Indonesia baru mencapai 1:40. Ini berarti, satu surat kabar masih dibaca oleh 40 orang. Padahal, menurut standar Unesco, perbandingan yang layak adalah 1:10. "Jadi, masih ada lowongan pasar yang bisa dikejar oleh persuratkabaran nasional," kata Menteri. Diingatkannya juga bahwa produksi surat kabar yang ada, baik secara kualitas maupun kuantitas, perlu ditingkatkan. Entah kapan rasio 1:10 itu bisa tercapai. Tapi, dalam seminar yang diselenggarakan SPS dua pekan lalu -- bertema: Prospek Perkembangan Penerbitan Majalah Menjelang Tahun 2000 -- banyak ide terlontar dari peserta, yang bernada optimistis. David Sparkes, penasihat teknis dari Survey Research Indonesia, misalnya, yang bicara tentang tahun 2000, manakala penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 220 juta orang. Nah, seiring dengan itu, jumlah pembaca majalah akan meningkat jadi 50 juta, -- sekarang baru 28,65 juta. Berarti naik dua kali lipat. Di samping penerbit, maka pengusaha iklan juga akan menggali manfaatnya. Spark menyebutkan, pendapatan iklan majalah pada tahun 2000 akan naik sekitar 78%, dari Rp 70 milyar menjadi Rp 125 milyar. Hal itu katanya bukan mustahil, bila melihat indeks perkembangan media cetak lima tahun terakhir ini. Pada tahun 1984 indeks media secara total hanya 100, sedangkan pada 1988 menjadi 209,4. Peningkatan itu terjadi tidak hanya pada majalah (dari 100 menjadi 234,2), tapi juga surat kabar (dari 100 menjadi 192,2). P. Tobing, salah seorang tokoh pemrasaran, juga menyongsong tahun 2000 dengan gairah. Ia menggambarkan, dengan era komputer, proses produksi dari sebuah media akan menjadi lebih cepat dan canggih. Contohnya: cetak jarak jauh (CJJ). Bicara tentang CJJ, Menpen Harmoko juga sudah menampilkannya awal April lalu. Ketika itu, Menteri berpendapat bahwa sudah saatnya CJJ dibahas di antara masyarakat pers (maksudnya Serikat Penerbit Surat Kabar, Serikat Grafika Pers, dan Dewan Pers sendiri). Tapi sejauh ini belum jelas benar sampai di mana sudah pembahasan CJJ itu. Prospek penerbitan majalah yang cerah juga dikemukakan oleh Ken Sudarto, Dirut Matari Inc. Singkat kata, hampir semua pembicara dalam seminar itu yakin, masa depan media cetak -- terutama majalah -- sangat cerah. Namun, ada seorang peserta seminar mempertanyakan, apakah media cetak akan berkembang, sementara pengawasan yang dilakukan pemerintah pada sektor ini begitu ketat. Misalnya soal pembatasan SIUPP. Pertanyaannya: mengapa pemerintah tidak membuka keran SIUPP, agar rasio 1:10 bisa tercapai. Begitu pula tentang jumlah halaman, yang ditangani pemerintah secara waspada. Hal lain adalah iklan, yang tidak boleh melebihi 35% dari seluruh jumlah halaman. "Bagaimana pers bisa berkembang, kalau peraturannya begitu ketat?" Jakob Oetama dari Kompas punya pendapat lain. Menurut dia, belum saatnya aturan-aturan pers dideregulasi. Sebab, kalau keran SIUPP dibuka, akan terjadi persaingan yang tidak seimbang. "Kalau dibebaskan, orang-orang yang punya modal akan berlomba menerbitkan koran. Sementara itu, masih ada koran yang terbit lebih dulu, tapi belum mapan. Ini kan masalah," kata Jakob. Menurut dia, kini bukanlah saat yang tepat untuk deregulasi. Suara senada dikemukakan Eric Samola, yang juga investor di bidang penerbitan. "Untuk kepentingan pers nasional, saya setuju tak ada deregulasi," ujarnya. Alasannya sama: tanpa regulasi, akan banyak pers kecil yang bergelimpangan. Ini sesuai benar dengan pendapat Menpen Harmoko. "Regulasi di bidang pers sudah jelas dan fleksibel. Apa lagi yang mau dideregulasi?" Tentang pembatasan iklan, "Itu kan keputusan Dewan Pers, yang suatu saat bisa diubah, bergantung pada perkembangan." Begitu pula soal SIUPP. Kata Harmoko, pemerintah tidak membatasi. Tapi, masyarakat pers sendirilah yang mengusulkan, agar SIUPP penerbitan umum dibatasi untuk sementara. Memang, Menpen tahu persis, 263 penerbitan yang ada sekarang masih jauh di bawah standar Unesco. Tapi itu tidak berarti keran SIUPP harus dibuka. "Pemerintah ingin agar penerbitan yang ada ditata dulu lebih mapan," katanya. Misalnya soal pembagian 20% saham untuk karyawan. Menurut Menteri, masih banyak penerbit yang belum memenuhi syarat ini. Belum lagi masalah-masalah lain, yang menyangkut manajemen, percetakan, dan pemasaran. Sehingga, kalau dihitung, kata Harmoko, baru 30% saja media yang mampu berjalan dengan stabil. Karena itu semua, deregulasi untuk bidang pers masih belum perlu. "Mau dikurangi apanya lagi, wong itu sudah sederhana sekali. Bahkan saya pikir, masih perlu ditambah regulasi," katanya sambil tersenyum. Ha, apa lagi? Disebutkannya salah satu, yakni pengaturan penyelenggaraan kantor berita asing. Menurut Harmoko, kantor-kantor berita asing, yang selama ini dijadikan sebagai sumber berita oleh surat kabar di Indonesia. harus jelas arahnya. Atau, harus disesuaikan dengan fungsi dan peranan pers nasional. Katanya, ini juga sesuai dengan keinginan masyarakat pers. Tapi bagaimana penyesuaian itu harus dilaksanakan, tak ada konsep yang rinci. Toh beberapa penerbit menyambutnya dengan baik. "Saya kira, Pemerintah ingin penerbit kecil bisa berkembang," kata Lukman Umar, Pemimpin Umum majalah Kartini. "Regulasi pers yang sekarang belum terlalu mengganggu," Teuku Yousli Syah, Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Harian Media Indonesia, menimpali. Jadi, sama-sama pro regulasi, rupanya.Budi Kusumah, Tri Budianto Soekarno, Sri Pudyastuti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum