TAK tanggung-tanggung, 22 anggota batalyon zeni tempur Kodam I/Bukit Barisan (Yon Zipur Dam I/BB) Medan, pekan-pekan ini, dihadapkan ke Mahkamah Militer Sumatera Utara. Mereka -- seorang perwira pertama dan 21 tamtama -- didakwa secara bersama-sama mengakibatkan matinya orang. Korban "pasukan 22" ini adalah Binsar Parapat. Buruh bangunan itu tewas, Juli 1986, akibat kemarahan para terdakwa. Menurut Oditur Militer Mayor CHK Asmar Gutjiereka, ke-22 terdakwa menghabisi Binsar karena mereka percaya bahwa korbanlah yang membunuh rekan mereka sesama anggota Yon Zipur Dam I/BB, kebetulan juga bernama Binsar. Pada awal tahun itu, menurut oditur, Pratu. Binsar Hutagalung tewas akibat jatuh di tangga Hotel Tiara, kawasan Pasar Sambu, Medan. Tapi, belakangan, ada cerita lain tentang kematian prajurit itu. Menurut seorang penjual rokok di Pasar Sambu, Endang Supriadi, Binsar tidak kecelakaan, tapi dikeroyok tujuh orang pentolan preman Pasar Sambu. Endang malah dapat menyebutkan nama empat orang, di antaranya: Binsar Parapat, Alex Harahap, Herkulesun Sinaga, dan Robin Hutahaean. Mendengar ini, rekanrekan Mendiang di Yon Zipur itu jadi "panas". Termasuk Kepala Seksi Intel di kesatuan itu, Kapten Djoko -- bukan nama sebenarnya -- yang juga mendengar langsung cerita itu dari mulut Endang. Cerita yang belum tentu benar itu mendorong rekan-rekan Binsar balas dendam. Para terdakwa, menurut jaksa, mengatur strategi dan membentuk tim "tempur" mengejar para preman tersebut. Tim pertama terdiri dari tujuh orang prajurit, dan tim kedua dengan enam orang pasukan. Bagaikan berangkat perang, tim pertama bergerak ke sasaran dengan bis mini sewaan. Pada 6 Juli lalu, tim itu membekuk Robin Hutahaean, 25 tahun. Pemuda kurus kering yang sehari-hari berjualan rokok itu dihujani bentakan, hantaman, dan pukulan di sebuah kedai tuak. Dalam keadaan sekarat, Robin dibawa ke Kapten Djoko. Menurut dakwaan, Djoko menambah siksaan ke tubuh Robin. Dalam keadaan babak-belur, Robin diserahkan para terdakwa ke kantor polisi. Untunglah, anak ini tak menemui ajalnya. Keesokannya, tim kedua menjemput Binsar Parapat. Nasib bapak tiga anak ini lebih malang dari Robin. Sejak di kendaraan, Binsar telah "diinterogasi". Karena tak puas pada jawaban Binsar, secara bergantian para terdakwa meninju muka, perut, dan kepala Binsar. Belum cukup, kemudian Binsar dibawa ke lapangan bola. Di situlah ia dianiaya lagi, dari berbagai posisi dengan macam-macam jurus pukulan. Meskipun berbadan tegap, tak urung Binsar semaput. Dengan napas yang sudah tersengal dan tubuh tanpa daya, Binsal diserahkan kepada petugas jaga, yang kemudian ternyata menambah "azab" korban. Jiwa Binsar tak tertolong lagi, meskipun ia sempat di bawa ke rumah sakit. Sementara Binsar "dibantai", dua tim lain lagi melacak dua preman lainnya, Herkulesun Sinaga, 28 tahun, dan Alex Harahap. Seperti juga Robin, Herkulesun dikeroyok beramai-ramai. Untungnya, jiwa Herkulesun tertolong. Salah tangkap terjadi ketika tim mencari Alex Harahap. Yang "terambil" adalah Salamuddin Rangkuty, 14 tahun. Untunglah, penyiksaan terhadap anak ini lebih ringan. "Hanya jari-jarinya dipukul dengan potongan besi," ujar Oditur Asmar. Akibatnya, jari-jari korban membiru dan tak berfungsi selama sebulan. Semua ulah tedakwa itu terungkap berkat pengaduan ayah Binsar, Bistok Parapat. Sebab itu, ke-22 terdakwa diperiksa atasannya. Sejak bulan lalu, mereka dihadapkan ke mahakmah militer. Menurut Oditur Asmar, semua yang diceritakan Endang itu hanya isapan jempol. "Informasi itu tidak benar," kata Amsar. Menurut Asmar, sebetulnya, Endang dan para korban penganiayaan itu berebut lahan dalam mencari nafkah di Pasar Sambu. Sayangnya, ke-22 rekan Binsar telanjur percaya pada bualan itu. "Kami terbakar rasa setia kawan. Hanya itu saja," ujar salah seorang terdakwa menyesal. Bunga S dan Sarluhut Napitupulu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini