INI cerita tentang mimpi indah yang menjelma menjadi mimpi buruk. Delapan gadis belia asal Bali, berusia paling tinggi 22 tahun, berangkat ke Jepang dengan harapan besar. Di negara mata hari terbit itu, mereka dijanjikan akan bekerja di sebuah perusahaan biro perjalanan, setelah sebelumnya dikursus bahasa Jepang. Tapi, semua impian bagus itu segera sirna begitu mereka sampai di negeri asing itu. Mereka dijerumuskan orang-orang Jepang yang membawa mereka untuk bekerja di bar-bar. Tak hanya itu, mereka juga disekap dan mengalami percobaan perkosaan. Hanya karena kebeuruntunganlah, mereka bisa lolos dan dikembalikan oleh KBRI ke Indonesia. Pengalaman pahit gadis-gadis Bali itu, pekan-pekan ini, kembali diungkapkan Pengadilan Negeri Denpasar. Empat warga negara Jepang yang terlibat dalam kasus itu: Kazuo Sakai, 40 tahun Tadayoshi Nisihaka, 49 tahun Kinoshita Aya, 36 tahun dan Toyoshi Shioda, 40 tahun, dihadapkan sebagai terdakwa. Terjerumusnya kedelapan gadis Bali itu bermula dari iklan yang dipasang Nisihaka di harian Bali Post terbitan 13 dan 20 Maret 1989. Iklan kecil itu berbunyi, "Dibutuhkan karyawati, maksimum berumur 22 tahun, pendidikan SMA". Dicantumkan juga alamat yang bisa dihubungi di Denpasar, Jl. Laksamana I/1 -- belakangan diketahui bahwa alamat itu milik seorang perwira menengah Polda Nusa Tenggara, Letkol. Pol. Drs. I Gede Wismaya. Ada 30 orang gadis tergiur dengan iklan itu. Setelah melewati seleksi, hanya delapan orang tadi yang dinyatakan lolos. Mereka dijanjikan akan bekerja sebagai karyawati sebuah biro perjalanan di Jepang. Tapi, untuk ikut mereka disyaratkan terlebih dulu melakukan magang selama setahun di Jepang dengan imbalan 150 ribu yen per bulan. Impian gadis-gadis itu semakin berbunga-bunga karena, sebelum berangkat, mereka diajari bahasa dan kebudayaan Jepang. Salah seorang pengajarnya adalah Kinoshita Aya, wanita cantik kelahiran Kota Wakayama, yang sudah beberapa kali mengunjungi Bali. Tapi, itu tadi, sesampai di Jepang, kedelapan gadis Bali tersebut ternyata dipaksa bekerja sebagai pramuria bar di berbagai kota di Jepang. Selain melayani tamu seperti biasanya pramuria bar -- mereka juga harus bersedia dipegang-pegang, dan menemani tamu berdansa. "Kalau mencoba membantah, kami dipukul," seperti kata salah seorang gadis itu. Kemudian di Ishikawa, kota tempat tinggal Kazuo Sakai. Di sini pula mereka akhirnya disekap. Paspor mereka ditahan. Juga uang saku. Ini yang menyulitkan gadis-gadis itu untuk mencoba-coba meloloskan diri. Tapi, perlakuan tak senonoh oleh Sakai, yang berusaha mencabuli Putu Sucita, akhir April lalu, memaksa mereka nekat. Bersama rekan-rekannya, Sucita menghambur keluar rumah dan melapor ke KBRI. Kepala Kejaksaan Negeri Denpasar Allam Kuffal mengatakan bahwa perkara ini menyangkut harga diri bangsa dan negara. "Kita harus menjauhkan hukuman be-at," katanya tegas. Sakai, yang dianggap otak kasus itu, membantah mencoba memperkosa Sucita Sedangkan terdakwa lainnya juga membantah tuduhan jaksa. "Saya hanya sekadar menjawab ketika mereka -- gadis-gadis Bali itu -- bertanya tentang bahasa Jepang, " kata Aya, yang mengaku sebagai desainer, kepada TEMPO. Begitu juga Nisihaka. Memang, ia mengaku disuruh Sakai memasang iklan di Bali Post. "Tapi, saya menyuruh orang lain karena saya tak bisa bahasa Indonesia," kilahnya. Sementara itu, Letkol. Pol. Drs. Wismaya, yang ikut jadi saksi, mengatakan tak ikut campur dalam urusan itu. "Sedikit pun saya tak punya niat berbuat seperti itu," katanya. Jalil Hakim, Joko Daryanto, dan Nengah Weja (Biro Surabya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini