Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Kali Ini Agus Naser Bicara

Wawancara tempo dengan agus naser a., tersangka pembunuh ny. diah. ia merasa ancaman hukumannya terlalu berat.Pembunuhan dilakukan sendiri. Belakangan Ny. Diah mencurigai Agus punya istri lain.

21 Oktober 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AGUS Naser, 54 tahun, Senin ini kembali jadi "tontonan" di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Lelaki asal Surabaya itu kembali menarik perhatian ratusan pengunjung. Didampingi tim pengacaranya, Agus, yang murah senyum, dengan cermat mendengarkan eksepsi pengacaranya. Sidang kedua kasus mayat potong tujuh ini hanya berlansung setengah jam, dan ditunda hingga Kamis pekan ini. Dalam berita acara polisi, Agus jelas, pada Jumat 7 April 1989, membantai Diah sendirian. Motifnya, konon, karena pertengkaran suami-istri, akibat Diah, guru Taman Kanak-Kanak Trisula itu, telah mencium Agus beristri dua -- diam-diam ia memang sudah kawin dengan Adah Saadah, yang melahirkan anaknya, Taufik. Kepada TEMPO, selesai sidang, Agus Naser, Kepala Sekolah SMA Muhammadiyah, menjelaskan semuanya: Bagaimana, sehat-sehat saja? Iya, alhamdulillah. Tapi kemarin perasaan saya kurang enak. Saya membaca pemberitaan koran tentang sidang pertama Senin lalu. Salah satu koran memuat foto saya, juga Diah. Melihat foto almarhumah di situ, saya benar-benar dibuatnya teringat terus. Bahkan rasanya saya mau menjerit di kamar LP. Saya menjadi teringat pada semuanya. Sebelum ini, juga diberitakan Anda selalu diganggu roh halus Nyonya Diah? Itu sama sekali tak benar. Saya tak tahu dari mana sumbernya. Padahal, tak ada yang bertanya pada saya tentang ini. Dulu, sebelum saya masuk ke LP Salemba ini, saya memang pernah bermimpi jalan beriring dengan almarhumah. Saya tak pernah diganggu rohnya. Terhadap anak-anak, teringat juga? Tentu saja. Oh ya, tak benar juga pemberitaan bahwa saya tak pernah dikunjungi keluarga. Ada, kok, keluarga yang datang ke sini. Termasuk Anak-anak. Tapi yang selalu saya ingat adalah Taufik (anak Agus dari Adah -- Red.). Ia masih kecil. Kasihan dia. Anak-anak saya yang lain juga saya pikirkan. Tapi bagaimana, saya di sini. Apakah perasaan seperti ini terlintas ketika Anda memutuskan membunuh Diah? Keputusan itu datangnya sangat singkat sekali. Hanya beberapa menit. Pada Kamis sebelumnya, saya memboncengkan Diah untuk memenuhi kehendaknya bertemu dengan staf sekolah Muhammadiyah. Katanya mau menanyakan soal gaji saya. Rasanya, kebohongan saya padanya selama ini akan segera terungkap. Tapi tiba-tiba hujan turun, sehingga kami memutuskan pulang kembali ke rumah. Esoknya, pada Jumat -- puasa hari pertama -- ia mengajak saya lagi ke sana. Waktu itu sekolahan libur. Ia mengajak saya ke rumah staf sekolah saya. Terpikir, saya harus mengelak. Tapi bagaimana caranya. Kalau malam hari, saya bisa mengelak dengan mengatakan sepeda motor rusak dan tak ada bengkel. Ini siang hari, bengkel tentu buka. Ketika itulah, saat Diah mulai beranjak menuju luar, tiba-tiba datang pikiran aneh. Saya langsung mengambil botol berisi adonan pasir dan semen alat olahraga Hendra (anak tertua Agus dari Diah -- Red.). Dan saya memukulkannya ke almarhumah. Ia jatuh dan meninggal. Saya semakin bingung dan takut. Kalau ketahuan, saya pasti malu pada orang banyak, dan masuk penjara. Anak-anak dan istri telantar. Maka, terpikir cara menghilangkan jejak. Mayat harus dibuang. Saat itulah muncul pikiran memotong-motong mayat tak bernyawa itu. Tampaknya mustahil Anda melakukan sendiri? Benar, saya sendiri. Tak ada yang membantu saya. Potongan mayat yang sudah saya masukkan ke karung itu saya simpan di bawah tempat tidur. Darah sempat meleleh dari situ. Tapi saya bersihkan dengan lap. Anak-anak tak ada yang curiga apa-apa. Namun, khawatir tercium bau amis, saya membeli dua botol obat nyamuk sprayer. Kamar saya semprot dengan itu. Apa tak ada yang melihat ketika Anda membuangnya? Waktu itu orang-orang sedang salat tarawih. Jadi sepi. Mungkin ada orang yang melihat saya naik sepeda motor. Tapi saya tak yakin mereka menaruh curiga pada saya. Soalnya, saya biasa naik sepeda motor. Yang aneh, saya membuang bungkusan potongan mayat di Jembatan Serong (di Rawasari juga, tak jauh dari rumah Agus -- Red.) tak jauh dari sini. Tapi tiba-tiba potongan mayat ditemukan di Tanjungpriok. Barangkali ada orang yang menemukan dan lalu membuangnya jauhjauh, khawatir berurusan dengan polisi. Atau barangkali ada yang sengaja membantu Anda? Tidak. Saya melakukannya sendirian. Siapa yang lebih Anda sayangi, Diah atau Adah? Sekian lama, sejak saya menikah dengan Adah, saya mengaku mengajar hingga sore hari. Padahal, saya hanya mengajar pagi hari. Setelah pulang dari sekolah siang hari, saya langsung ke rumah Adah. Saya baru pulang ke rumah menemui Diah dan Anak-anak sore hari. Tak seorang pun mengetahui saya beristri dua. Juga kawan-kawan saya di sekolah. Tapi, belakangan, tiba-tiba timbul rasa cemburu pada diri Diah. Ia mulai mencurigai saya punya istri lain . Mengapa Anda tak memilih satu di antara mereka? Sulit. Adah pernah meminta agar saya mencerainya. Tapi saya tak bisa melupakan Taufik. Ia mirip dengan saya. Sekarang, Anda justru diancam hukuman mati dan dikutuk sebagai pembunuh sadistis oleh masyarakat? Pasal 240 itu (tentang pembunuhan berencana -- Red.) ancamannya terlalu berat buat saya. Soal dikutuk, terserah penilaian orang. Saya memang membunuhnya. Tapi pernah saya terangkan, saya memotong-motongnya ketika ia sudah menjadi mayat tak bernyawa, untuk memudahkan pembuangannya, agar bisa menghilangkan jejak. Jadi, saya tidak memotong-motongnya ketika ia masih hidup.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus