Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pengurus pesantren meminta pemerintah segera membuka kembali kegiatan belajar di pondok pesantren.
Wakil Presiden Ma'ruf Amin ikut berperan dalam rencana tersebut.
Sejumlah kalangan mempersoalkan basis data penentuan zona merah dan hijau.
PENGASUH Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang, Jawa Timur, Muhammad Hasib Wahab, menumpahkan unek-uneknya ketika diminta berbicara dalam rapat online yang digelar pada Senin, 8 Juni lalu. Gus Hasib—sapaannya—menilai perhatian pemerintah kepada pondok pesantren begitu minim selama pandemi virus corona. Menurut dia, bantuan bagi pesantren yang terkena dampak Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19 tak pernah sampai. “Padahal peran pesantren sangat besar,” ujar Hasib saat dihubungi Tempo, Rabu, 17 Juni lalu.
Rapat itu dihadiri Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy serta sejumlah perwakilan pondok pesantren di Indonesia. Ada juga perwakilan dari Kantor Wakil Presiden; pelaksana tugas Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, Kamaruddin Amin; serta Ketua Pengurus Pusat Rabithah Ma’ahid al-Islamiyah Nahdlatul Ulama Kiai Abdul Ghaffar Rozin. Rapat yang berlangsung selama dua jam hingga zuhur itu menjaring masukan soal rencana pembukaan pesantren.
Pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar di berbagai wilayah mengakibatkan sekolah dan pesantren ditutup. Pada akhir Maret lalu, pondok pesantren Tambakberas memulangkan sekitar 11 ribu santri. Menurut Hasib Wahab, penutupan pesantren berdampak besar, termasuk terhadap kegiatan perekonomian masyarakat sekitar. Dalam rapat dengan pemerintah, Hasib meminta pemerintah segera membuka kembali pesantren. “Orang tua santri juga ingin pesantren segera dibuka,” Hasib mengklaim.
Permintaan itu bertentangan dengan sikap Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Pada Ahad, 31 Mei lalu, dalam diskusi daring bersama pemimpin redaksi media massa, Ketua Gugus Tugas Doni Monardo mengatakan pendidikan menjadi sektor terakhir yang akan beroperasi untuk mencegah penularan corona. “Kalau pesantren, dari rapat dengan Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, arahnya belum mungkin tahun ini,” ujar Doni. Ketua Tim Pakar Gugus Tugas, Wiku Bakti Bawono Adisasmito, mengatakan kegiatan di pesantren berpotensi menimbulkan kluster baru yang menaikkan jumlah kasus positif.
Di Jawa Timur, misalnya, ditemukan kluster dari Pondok Pesantren Al-Fatah, Temboro, Kabupaten Magetan. Puluhan santri di situ dinyatakan reaktif corona pada April lalu. Jumlahnya terus bertambah seiring dengan dilakukannya tes kepada santri yang sudah pulang. Kluster Temboro ini baru diketahui setelah otoritas Malaysia mengumumkan 43 santri asal negeri jiran itu yang mondok di pesantren tersebut positif.
Namun pemerintah akhirnya mengeluarkan surat keputusan bersama (SKB) empat menteri yang dirilis pada Senin, 15 Juni lalu. Isinya soal panduan belajar tatap muka selama masa pandemi. Empat lembaga, yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Agama, serta Kementerian Dalam Negeri, menyatakan kegiatan belajar di kelas hanya diperbolehkan bagi sekolah yang berada di zona hijau dengan protokol ketat. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mengatakan hanya enam persen sekolah yang berada di zona hijau. Sisanya berada di zona merah, oranye, dan kuning.
Semestinya, jika mengikuti aturan itu, seluruh aktivitas pendidikan yang berada di zona berbahaya tak boleh buka. Tapi sejumlah pemimpin pondok pesantren mendesak agar pesantren bisa kembali dibuka sekalipun berada di zona merah, yang risiko penularannya tinggi. Berdasarkan data Gugus Tugas Covid-19 pada 10 Juni lalu, pesantren Tambakberas di Jombang berada di zona merah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
•••
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LOBI-lobi agar pesantren bisa dibuka kembali sudah jauh-jauh hari dilancarkan. Ketua Pengurus Pusat Rabithah Ma’ahid al-Islamiyah—yang mengurus pengembangan pesantren dan pendidikan keagamaan—Nahdlatul Ulama, Abdul Ghaffar Rozin, mengaku sudah berkomunikasi dengan orang-orang dekat Wakil Presiden Ma’ruf Amin sejak Mei lalu. Rozin menyampaikan aspirasi para pengurus pesantren agar pondok mereka bisa dibuka kembali.
Juru bicara Wakil Presiden, Masduki Baidlowi, membenarkan telah berkomunikasi dengan sejumlah pengurus pesantren. Permintaan itu pun sampai ke telinga Abah—panggilan Ma’ruf Amin. Tiga hari setelah rapat daring bersama Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan digelar, Ma’ruf mengatakan pondok pesantren dapat dibuka kembali. Tak hanya di zona hijau, tapi juga di zona oranye dan merah.
Pembukaan pesantren di zona merah, kata Ma’ruf, dapat dilakukan jika sudah ada rekomendasi dari Gugus Tugas daerah dan pemerintah daerah. "Daerah merah dan oranye bisa buka kalau mendapat rekomendasi Gugus Tugas Covid-19. Jadi ada fleksibilitas, supaya ini dipahami pimpinan pondok pesantren," ujar Ma'ruf dalam rapat koordinasi yang diadakan Komisi Perlindungan Anak Indonesia pada Kamis, 11 Juni lalu.
Pelaksanaan pendaftaran Penerimaan Peserta Didik Baru tahun pelajaran 2020/2021 di SDN Karangayu, Semarang, Jawa Tengah, 15 Juni 2020. ANTARA/Aji Styawan
Masduki Baidlowi mengatakan pesantren bisa buka kembali karena dinilai lebih aman ketimbang sekolah biasa yang pulang-pergi. Menurut dia, potensi penularan justru lebih besar pada sekolah biasa karena mobilitas perjalanan dari rumah ke sekolah dan sebaliknya. “Pesantren lebih aman asalkan santri yang masuk dipastikan bebas corona,” ujar Masduki.
Aturan untuk pembukaan kembali pesantren diserahkan kepada Kementerian Agama dan tak mengikuti SKB empat menteri. Pada Kamis, 18 Juni lalu, Kementerian Agama menerbitkan panduan pembelajaran di pondok pesantren dan pendidikan keagamaan. Dalam aturan itu, tak ada pembatasan zonasi seperti di SKB empat menteri. Ketentuan itu hanya mengatur prosedur yang mesti dilakukan pesantren dan sekolah yang memberlakukan sistem asrama agar dapat beroperasi kembali.
Menteri Agama Fachrul Razi mengatakan sekolah berasrama harus membentuk gugus tugas penanganan Covid-19 serta memiliki fasilitas yang memenuhi protokol kesehatan. Kementerian juga mewajibkan sekolah itu bebas corona, yang dibuktikan dengan surat keterangan dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 atau pemerintah daerah setempat. Syarat terakhir, semua murid dan guru harus bebas corona, yang dibuktikan dengan surat keterangan sehat.
Pemerintah juga mengucurkan bantuan dana kepada pesantren Rp 2,3 triliun. Pelaksana tugas Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, Kamaruddin Amin, mengatakan dana itu untuk membantu meringankan beban pesantren saat menjalankan kegiatan belajar-mengajar di tengah pandemi Covid-19.
•••
GUGUS Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 membagi zona wilayah berdasarkan tingkat risiko untuk membuka kembali aktivis di berbagai bidang. Ada empat zona, yaitu merah, oranye, kuning, dan hijau. Zona merah berarti berisiko paling tinggi, sedangkan hijau terbilang aman. Penentuan zona itu merujuk pada basis data jumlah dan penyebaran kasus positif corona di suatu wilayah.
Penggodokan zonasi itu juga tak berjalan mulus. Sejumlah instansi, seperti Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Kesehatan, dan pemerintah daerah, memiliki data perhitungan reproduksi corona atau tingkat penularan virus masing-masing. Masduki Baidlowi mengatakan sumber data yang akhirnya dipakai berasal dari Kementerian Kesehatan. “Karena paling valid,” ujarnya.
“Daerah merah dan oranye bisa buka kalau mendapat rekomendasi Gugus Tugas Covid-19. Jadi ada fleksibilitas, supaya ini dipahami pimpinan pondok pesantren.”
— Ma’ruf Amin
dalam rapat koordinasi yang diadakan Komisi Perlindungan Anak Indonesia pada Kamis, 11 Juni lalu.
Penentuan zona dari Gugus Tugas itu justru dipertanyakan daerah. Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi, yang daerahnya dinyatakan sebagai zona merah, mengatakan kasus positif corona di wilayahnya meningkat karena gencarnya pengujian. Ia meminta pemerintah pusat membuat standar penanganan kasus corona, termasuk dalam pengujian. Ia mengatakan apabila daerah masif melakukan tes, jumlah kasus positif akan meningkat dan berdampak pada penentuan zona.
Laporcovid19.org, platform digital untuk pelaporan informasi Covid-19, juga menilai pemerintah tak transparan dalam penetapan zona hijau. Iqbal Elyazar, epidemiolog yang juga kolaborator platform tersebut, mengatakan pemerintah seharusnya tak hanya melihat jumlah kasus positif. Bisa saja, kata dia, jumlah korban tak signifikan karena kurangnya pengujian. “Bisa saja zona hijau memiliki risiko tinggi,” ujarnya.
Menurut Iqbal, semestinya data orang dalam pemantauan dan pasien dalam pengawasan masuk ke penentuan zona hijau. Sebab, jika tidak, kategori zona hijau malah akan membuat kesan suatu wilayah benar-benar bebas dari corona. “Dan itu berbahaya. Seolah-olah tidak ada risiko di daerah itu,” katanya.
Juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, mengatakan penetapan zona tidak hanya berdasarkan laporan yang dirilis setiap hari. Menurut dia, penetapan zona itu berdasarkan 15 indikator yang terdiri atas 11 indikator epidemiologi, 2 indikator surveilans kesehatan masyarakat, dan 2 pelayanan kesehatan. “Penetapan zonasi itu berdasarkan hasil kajian,” ujar Yuri.
DEVY ERNIS, RAYMUNDUS RIKANG, AHMAD FIKRI (BANDUNG), KUKUH S. WIBOWO (SURABAYA), JAMAL A. NASHR (SEMARANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo