Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERKEMBANGAN kasus pemalsuan uang yang diusut polisi Surabaya tampaknya semakin sensasional. Semula, polisi dikabarkan telah menyita uang palsu yang sudah 90 persen jadi, senilai Rp 4,26 miliar. Diduga, uang ini hasil karya sebuah komplotan yang diotaki Manajer Tim Piala Thomas Indonesia, Sumaryono. Ternyata, sindikat itu juga pernah memproduksi uang palsu yang sudah jadi sebanyak 21 juta lembar pecahan Rp 50 ribuan, bergambar mantan presiden Soeharto. Jika dihitung, nilainya melebihi Rp 1 triliun uang palsu.
Berdasarkan fakta itu, tak salah kalau dikatakan bahwa uang palsu telah berkembang pesat, tak ubahnya industri rumah yang lain. Hanya yang satu ini perkembangannya sungguh memprihatinkan. Lebih-lebih, sebagian uang palsu bergambar Soeharto ternyata sudah bercampur dengan uang Rp 50 ribu bergambar W.R. Supratman—juga palsu—dan beredar di masyarakat. Bukan mustahil, jumlah uang palsu yang kualitasnya mirip dengan uang asli buatan Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Perum Peruri) itu dalam waktu dekat akan segera terlacak. Kalau benar, uang palsu—yang dikatakan tidak akan berdampak negatif karena jumlahnya sangat kecil dibandingkan dengan jumlah uang beredar—tak lama lagi akan ikut memanaskan perekonomian negeri ini.
Selain jumlah uang palsu begitu fantastis, tokoh penting dalam kasus itu, Sumaryono—pensiunan kolonel TNI AD—diduga juga bukan ''pemain" baru. Hal itu tak hanya terungkap lewat kesaksian 12 tersangka kasus tersebut di Surabaya, melainkan juga berdasarkan keterangan Nyonya Lista Andriani, yang diterbangkan dari Jakarta ke Surabaya, Senin pekan lalu. Lista berstatus sebagai tersangka kasus uang palsu yang ditangkap polisi Jakarta sejak Februari 2000.
Menurut Lista, dia memperoleh uang palsu Rp 100 juta dari Sumaryono. Jumlah itu tak termasuk uang palsu sitaan senilai Rp 4,26 miliar di atas, yang penyempurnaannya dilakukan di percetakan Arema milik tersangka Si'in. Percetakan ini terletak di daerah Cakung, Jakarta Timur. Tak tertutup kemungkinan, ada percetakan selain Arema yang juga digunakan untuk memberikan ''sentuhan akhir" pada uang palsu yang sudah 80 persen jadi, seperti yang disalurkan oleh Lista. Pendek kata, ada spesialisasi kerja dalam pemalsuan uang di Indonesia.
Sebelum menerima Rp 100 juta, Lista juga mengaku pernah dihubungi Sumaryono pada November 1999. Waktu itu, Sumaryono memintanya untuk menjual segelondong kertas bahan lembaran uang. Kertas uang berkualitas paling tinggi itu dari jenis dupont, yang berasal dari Prancis dan sama dengan bahan kertas uang di Peruri. Tapi Lista keburu ditangkap, sebelum gelondongan kertas sempat dijual.
Semula Lista masih meragukan informasi tentang Sumaryono yang ditangkap polisi Surabaya. Soalnya, Lista telanjur percaya bahwa Sumaryono akan menjamin keamanan bisnis mereka. Bahkan pensiunan kolonel ini sesumbar akan menyelamatkan Lista bila ditangkap polisi. Namun, ketika polisi di Surabaya mempertemukannya langsung dengan Sumaryono, barulah Lista menyadari keadaan sebenarnya.
Meski diterjang rentetan konfrontasi dari Lista dan para tersangka lainnya, toh Sumaryono tetap bungkam alias membatu. Ia menyangkal semua keterangan Lista, juga pengakuan rekan-rekannya pada kasus tersebut. Tentu saja sikap Sumaryono ini—dianggap tak kesatria oleh rekannya yang juga Kolonel (Purn.) TNI AD, Slamet Hardjo—amat mengesalkan. ''Saya jengkel banget karena Sumaryono terus mungkir," ujar Lista, janda yang dikenal sebagai pengusaha perkapalan ini.
Sikap Sumaryono yang berlagak suci itu membuat polisi sulit mengungkap komplotan jaringan pemalsu uang yang ada di bawah kontrolnya, termasuk siapa sesungguhnya tokoh yang berperan di belakang Sumaryono. Demikian juga motif di balik kasus uang palsu yang jumlahnya amat fantastis itu.
Tersangka yang berperan sebagai pegawai di percetakan milik Si'in mungkin digerakkan oleh motivasi akan mendapat imbalan besar. Namun, untuk tokoh sekaliber Sumaryono, rasanya motif ekonomi tidaklah tepat. Apalagi kemampuan finansialnya begitu mantap. Selain pensiunan kolonel, Sumaryono juga menyandang berbagai jabatan strategis. Di antaranya, ia bertindak sebagai pengurus Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia, manajer tim Piala Thomas, dan manajer tim Indonesia untuk Olimpiade di Sydney nanti.
Memang, Kepala Direktorat Reserse Kepolisian Daerah Jawa Timur, Kolonel Soeharto, mengaku bahwa pihaknya akan terus mengusut motif dan jaringan sindikat uang palsu itu. Bahkan Kepala Satuan Reserse Kepolisian Wilayah Surabaya, Mayor Edwin, menyatakan akan segera memberkas perkara Sumaryono dan kawan-kawan. ''Boleh saja Sumaryono terus bungkam. Tapi secara yuridis kami sudah punya banyak bukti untuk menyeretnya ke pengadilan," kata Mayor Edwin memastikan.
Happy Sulistyadi, Jalil Hakim (Surabaya)
Bukti Segerobak, Mafioso Belum Terlacak
Uang palsu yang diproduksi sindikat Sumaryono ternyata bernilai lebih dari Rp 1 triliun. Tapi, seperti orang termakan sumpah, pensiunan kolonel ini tetap menyembunyikan tokoh penting yang berperan di belakangnya. USIA Undang-Undang Arbitrase Tahun 1999 belum lagi setahun. Tapi peraturan tentang penyelesaian sengketa bisnis lewat wasit (arbiter) tak henti-henti diamendemen pihak pengadilan. Senin pekan lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengalahkan PT Roche Indonesia setelah digugat PT Tempo. Padahal, pengadilan seharusnya tak boleh menguji perkara itu karena perjanjian bisnis antara Roche dan Tempo mencantumkan klausul arbitrase.
Beberapa waktu lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga telah memutus dua perkara listrik swasta antara Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan PT Paiton Energy serta Mid American Energy. Dalam dua perkara itu, perjanjiannya pun memuat pilihan hukum lewat forum arbitrase. Tapi hakim menganggap bisa mengadili perkara itu. Alasannya, yang dipersoalkan adalah keabsahan kontraknya, bukan isi kontrak. Jadi, bila yang disengketakan menyangkut isi kontrak, barulah itu menjadi wewenang arbitrase.
Memang, dua perkara listrik swasta itu tak berkelanjutan. Soalnya, Presiden K.H. Abdurrahman Wahid menyarankan agar PLN mencabut gugatan tersebut. Rupanya, Gus Dur tak mau repot-repot dengan kasus listrik swasta—hampir semua kontraknya dibuat semasa Presiden Soeharto—yang sarat bermuatan kolusi itu. Namun, pencabutan perkara itu membuat Direktur Utama PLN Adhi Satriya mengundurkan diri dari jabatannya.
Dalam perkara Roche melawan Tempo, lain lagi kisahnya. Kedua pihak sesungguhnya sudah menjalin hubungan bisnis selama 25 tahun. Roche menjadi produsen obat dan bermarkas di Swiss. Sedangkan Tempo bertindak selaku distributor tunggalnya di Indonesia. Mendadak, pada 31 Agustus 1999, Roche memutuskan perjanjian distribusi itu secara sepihak.
Menurut kuasa hukum Roche, T. Mulya Lubis, sesuai dengan perjanjiannya, setiap pihak bisa membatalkan salah satu divisi tanpa pemberitahuan kepada pihak lainnya. Yang dibatalkan tak lain perjanjian menyangkut divisi obat bebas, sedangkan perjanjian untuk divisi obat dengan resep dokter tetap berlanjut.
PT Tempo tak bisa menerima tindakan sewenang-wenang itu. Menurut kuasa hukum Tempo, Amir Syamsuddin, rencana pemutusan kontrak itu tak pernah dibicarakan dulu dengan Tempo. Lagi pula, "Selama mengembangkan bisnis obat produk Roche, Tempo tak pernah melakukan wanprestasi," kata Amir. Jelas, pemutusan itu sangat merugikan Tempo, yang kemudian memerkarakannya ke pengadilan.
Mulya Lubis menganggap gugatan itu tidak tepat. Alasannya, perjanjian distribusi obat antara Roche dan Tempo memuat ketentuan arbitrase bila terjadi sengketa. Dengan demikian, pengadilan tak boleh menangani perkara yang menjadi wewenang arbitrase itu.
Menghadapi dalil itu, Amir Syamsuddin menyatakan bahwa perkara itu menyangkut perbuatan melawan hukum yang dilakukan tergugat. Karena itu, pengadilan berwenang mengadilinya. Bila perkaranya menyangkut masalah teknis bisnis, misalnya pembayaran, pengangkutan, atau perhitungan komisi, barulah itu menjadi wewenang arbitrase.
Ternyata, majelis hakim yang diketuai R. Soenarto membenarkan argumentasi Amir. Majelis hakim juga berpendapat bahwa begitu Roche memutuskan kontrak secara sepihak tanpa melalui arbitrase, sejak saat itu pula Roche telah melepaskan haknya untuk menggunakan arbitrase. Atas dasar itu, Roche diharuskan membayar ganti rugi Rp 281 miliar kepada Tempo. Selain itu, pengadilan mengesahkan penyitaan pabrik Roche di Cimanggis, Bogor.
Sementara Amir menganggap vonis itu sudah tepat, sebaliknyalah buat Mulya. "Putusan itu semacam penyelundupan hukum oleh hakim. Itu preseden buruk bagi iklim investasi," ujar Mulya, yang menyatakan naik banding. Menurut Mulya, dalam sengketa bisnis, tak ada pembedaan antara masalah teknis hukum yang bisa ditangani arbitrase dan perbuatan melawan hukum yang boleh diuji pengadilan. Karena itu, begitu semua pihak berjanji menyelesaikan sengketa melalui arbitrase, perjanjian itu berlaku sebagai undang-undang dan mengikat mereka.
Sementara itu, Ketua Badan Arbitrase Nasional Indonesia, Prijatna Abdul Rasyid, menyesalkan sikap pengadilan yang menganulir wewenang arbitrase. "Kalau perjanjian bisnisnya mengandung klausul arbitrase, pengadilan tak boleh ikut campur. Itu dilarang Undang-Undang Arbitrase," kata Prijatna. Prinsip hukum itu, katanya lagi, sudah dipraktekkan di dunia internasional.
Happy S., Hendriko L. Wiremmer
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo