Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Wajah Lain Para Mafioso

Film komedi yang ingin mengolok-olok kehidupan mafia. Sayang, gagasan itu digarap prematur.

4 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mickey Blue Eyes
sutradara:Kelly Makin
Skenario:Robert Kuhn dan Marc Lawrence
Pemain:Hugh Grant, James Caan, Jeanne Tripplehorn
Produksi:Castle Rock Entertainment
PADA sosok kekasihnya, Michael Felgaet (Hugh Grant) melihat sebuah masa depan. Ia yakin bahwa Gina (Jeanne Tripplehorn), seorang guru, merupakan wanita yang paling tepat untuk mendampingi hidupnya. Setelah hanya tiga bulan mereka berpacaran, Michael—pegawai di biro lelang lukisan—langsung melamarnya. Dan jawaban Gina benar-benar di luar dugaan. Ia menampik keinginan Michael itu dan emoh kawin dengannya. "Saya menolak karena saya mencintaimu," katanya. Lo, kok begitu, sih?

Pertemuan Michael dengan keluarga Gina, yang berasal dari Sisilia, segera menjawab latar belakang penolakan Gina. Keluarga Gina adalah mafia. Hampir semua anggota keluarganya, termasuk Frank Vitale (James Caan), ayahnya, pernah dipenjarakan dan masih menjadi incaran FBI.

Namun, semua telah terlambat. Seusai bertemu dengan orang tuanya, Michael telah dianggap menjadi keluarga besar Vitale. Michael baru sadar, ia sudah masuk perangkap. Tak lama setelah Michael dan Gina bertunangan, anggota keluarga ini langsung mengobrak-abrik hidup Michael. Mereka memaksa Michael memasukkan lukisan Ritchie Vitale (Paul Lazar), sepupu Gina, untuk diikutkan dalam acara lelang.

Sejak semula, Mickey Blue Eyes karya Kelly Makin—Tiger Claws (1991) dan Kids in the Hall-Brain Candy (1996)—memang ingin menyuguhkan berbagai komedi dengan mengambil setting kehidupan mafia. Kehidupan para pencoleng yang selama ini ditampilkan dengan wajah yang dingin, kaku, dan sadistis disajikan dengan bentuk lain yang menggelitik dan konyol. Nyaris tak ada adegan kekerasan. Hukuman di kalangan mafia yang biasanya diakhiri dengan kematian, misalnya, disajikan tampil dengan humor. Anggota mafia yang dianggap melakukan kesalahan dihukum di dalam ruang pendingin penyimpanan daging hingga giginya bergemerutuk.

Hingga di situ, upaya Kelly Makin cukup berhasil. Humor yang relatif lebih cerdas ini mengingatkan pada humor mafia yang pernah disajikan dalam film Married to the Mob karya Jonathan Demme dan Analyze This karya Harold Ramis.

Namun, segalanya menjadi hambar. Setelah Ritchie Vitale tewas akibat tersambar peluru yang tak sengaja ditembakkan Gina, kecerdasan dan struktur bangun cerita buyar. Penyelesaian konflik itu dijawab dalam rangkaian adegan konvensional. Mereka menutupi pembunuhan itu dan Michael mengaku sebagai pembunuhnya. Dalam pengejaran itu, ia mendapat julukan Mickey si Mata Biru. Kelly Makin kehilangan arah. Karakter cerita yang sudah dibangun tiba-tiba menjadi berantakan. Pergerakan cerita itu pula yang membuat para pemain seperti kehilangan jati diri. Hugh Grant, yang semula bermain apik, kemudian berkembang menjadi lelaki yang pandir. Secara tidak langsung, hal itu mencoreng pesona aktor yang menggondol Golden Globe lewat Four Weddings and a Funeral pada 1994 ini.

Jeanne Tripplehorn? Sama saja. Aktris yang pernah meledak dalam Basic Instinct itu tampil seperti pelengkap saja. Begitu juga James Caan. Aktor yang tampil dingin sebagai Sonny Corleone dalam The Godfather itu akhirnya tampil secara konyol. Yang mengesankan justru penampilan Burt Young (Once Upon a Time in America), yang memerankan Vito Graziosi, sang godfather. Sosoknya yang pendek dan gempal seolah menghadirkan sosok Al Capone yang diperankan Robert De Niro dengan cemerlang dalam film The Untouchables.

Alur cerita yang dibangun menjadi antiklimaks. Film yang semula ingin mengajak penonton bermain-main dengan berbagai kejutan ini akhirnya membuat kejutan itu menjadi tawar. Mickey terjebak dalam pakem tradisi film Hollywood bahwa penonton wajib diberi rasa nyaman. Itulah sebabnya Gina, yang sudah mati tertembak, toh hidup kembali. Andai saja film ini berakhir tanpa hidup laginya Gina, setidaknya Mickey berhasil meninggalkan sebuah kehidupan yang tragis. Maka, film ini berakhir "tragis" karena sukses dari segi konsep tapi gagal dalam penggarapan.

Irfan Budiman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus