Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BOLEHKAH media massa menulis DC~ lengkap nama tersangka? Ternyata pengadilan tak memvonis tuntas soal itu. Seorang tersangka, R.M. Winang Suryosumarno, yang mencoba menguji soal itu lewat Pengadilan Negeri Yogyakarta, pulang dengan kecewa. Ternyata hakim tak menerima gugatannya. Sebaliknya, vonis hakim tak tegas-tegas pula membenarkan media massa berhak mencantumkan nama lengkap tersangka dalam berita-beritanya. Melalui kuasa hukum Kamal Firdaus, Winang menggugat harian Berita Nasional (Bernas), Yogyakarta, agar membayar ganti rugi Rp 250 juta karena telah mencemarkan nama baiknya. Lewat berita 23 Desember 1989, Bernas dengan terang-terangan memuat nama Winang tersangkut dalam kasus pencurian lukisan. Tapi Hakim Nyonya Wiesye Ratna Dewi, Kamis pekan lalu, tak menerima gugatan Winang. Pada pertimbangan hakim, penyiaran berita itu tidak termasuk kualifikasi pencemaran nama baik. Sebab, nama yang tertera di berita itu tak sesuai dengan aslinya. Dalam berita yang ditulis Bernas, disebut nama tersangka Winang Sufya Suwarna, sedang nama penggugat yang benar adalah R.M. Winang Suryosumarno. "Justru penggugat yang mencemarkan nama baiknya sendiri. Karena setelah gugatannya diajukan ke pengadilan, nama sebenarnya diketahui," ujar Nyonya Wiesye. Selain itu, materi gugatan juga dinilai hakim lemah. Misalnya, pengajuan ganti rugi tidak dirinci. Para tergugat yang dituntut tak pula lengkap. Artinya, penerbitan lain yang juga menyiarkan kasus yang sama, seperti Suara Merdeka, Jawa Pos, dan TEMPO, tidak ikut digugat Winang. Kamal Firdaus menilai putusan hakim aneh. "Mestinya putusan itu bukan tidak diterima, tapi ditolak -- artinya bisa diajukan lagi dengan perbaikan," katanya. Sebab, dalam materi perkara tidak ada masalah. Suatu perkara diputus tidak diterima jika ada pihak tergugat tidak disertakan. Padahal, menurut Kamal, dari direktur utama, pemimpin umum, sampai pemimpin redaksi ikut sebagai tergugat. Perkara yang sangat menarik perhatian kalangan pers itu bermula dari kasus raibnya lukisan Musafir di Padang Pasir, berusia 150 tahun, koleksi museum milik Dullah di Solo pada 29 November 1989. Dalam tempo singkat, polisi berhasil menggulung komplotan pencuri, di antaranya Winang. Dalam sebuah penyergapan, Winang -- salah seorang anggota komplotan -- tertembak kakinya (TEMPO, 6 Januari 1990). Berita hilang sampai ditemukannya Musafir di Padang Pasir, goresan cat minyak pelukis modern pertama Indonesia, Raden Saleh, itu dimuat semua media. Tapi penulisan nama tersangkanya tidak seragam. Sebagian menulis inisialnya saja. Lainnya, seperti ~Suara Merdeka, TEMPO, dan Bernas, menyebut jelas nama tersangka. Winang menganggap pemberitaan model terakhir itu sebagai tindak pencemaran nama baik dan melanggar asas praduga tak bersalah. Hingga sekarang beda tafsir soal itu memang masih berkepanjangan. Inilah akibatnya, jika sebuah peraturan tak jelas apa maunya. Kamal Firdaus tetap ngotot di depan sidang, bahwa pemuatan nama lengkap tersangka adalah melanggar asas praduga tak bersalah. "Secara keseluruhan telah terjadi trial by the press," katanya. Ia menganggap layak meminta ganti rugi dan rehabilitasi nama baik. Sebaliknya, kuasa hukum Bernas, Jeremias Lemek dan Muhammad Iqbal, tidak menganggap cara pemberitaan Bernas itu sebagai pelanggaran. Apalagi penulisan nama tersangka bukan R.M. Winang Suryosumarno, melainkan Winang Surya Suwarna. Kalaupun ditulis R.M. Winang Suryosumarno, kata Jeremias, tidak ada masalah. "Kalau berita itu benar adanya, maka tidak bisa ditafsirkan sebagai pelanggaran asas praduga tak bersalah." Alasannya, pers sebagai alat kontrol wajib mengungkapkan yang terjadi demi kepentingan umum. Tapi Kamal Firdaus bertekad membawa perkara ini sampai Mahkamah Agung. "Putusan kasasi itu penting, karena bisa menjadi yurisprudensi," katanya. Sebaliknya Pemimpin Umum Berita Nasional, Abdurachman. "Negara kita negara hukum, apa yang diputuskan hakim harus diterima," komentarnya, lega. ~~~~~Tri Jauhari, Siti Nurbaiti (Yogya) dan Aries Margono.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo