Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Buntut insiden kota batik

Tan Siauw Ing dan Siauw Hwat, pelaku perkelahian di Pekalongan yang menyebabkan Ddahlan meninggal, mulai disidangkan. Kasus tersebut nyerempet ke kerusuhan rasial. Beberapa toko, tempat bilyar dirusak.

14 April 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERSIDANGAN di Pengadilan Negeri Pekalongan, Jawa Tengah Kamis pekan lalu, mendapat pejagaan lebih dari biasa. Perkaranya memang tergolong rawan, yaitu kasus perkelahian berdarah di Jalan Jlamprang, akhir tahun silam. Mungkin karena kurang publisitas, kasus yang digelar di ruang sidang utama pengadilan yang berkapasitas 100 pengunjung itu tak terisi penuh. Maklum, orang mungkin sudah setengah lupa akan insiden itu. Lagi pula, hingga kini, Kota Batik yang tersohor itu memang belum punya koran lokal. Alkisah, di kursi terdakwa -- di hadapan majelis hakim yang diketuai Nyonya Adiati -- duduk kakak beradik Tan: Siauw Ing, 25 tahun, dan Siauw Hwat, 35 tahun. Mereka dituduh Jaksa Husein Secho, pada 21 Desember 1989, melakukan penganiayaan berat, yang malangnya, telah membawa korban seorang tukang becak, Dahlan, 55 tahun, yang masih tetangga para terdakwa di Jalan Jlamprang Kelurahan Klego, Pekalongan. Agaknya, perkara itu akan berjalan lancar-lancar saja karena para terdakwa, pada prinsipnya mengakui tuduhan jaksa. "Waktu kejadian itu saya sangat emosi, di luar kesadaran," kata Ing suatu hari kepada pemeriksanya. Pada hari kejadian itu, sekitar pukul 00.30 dini hari, Santoso, anak Dahlan, baru saja pulang dari rumah seorang kawannya. Pemuda berusia 20 tahun yang masih menganggur ini, kabarnya, malam itu pulang menuju rumahnya dalam keadaan agak teler. Persis di depan rumah sekaligus toko (ruko) milik keluarga Tan, Santoso bertemu dengan Siauw Ing. Waktu itu, Ing baru pulang main bilyar. Kabarnya, Santoso minta rokok. Tapi, Ing menjawab, dia pas lagi kehabisan rokok. Santoso, yang katanya lagi teler itu, kabarnya jadi jengkel, dan berkata, "Kalau kamu nggak mau kasih rokok, pergi saja dari kampung ini." Lalu, terjadi perang mulut sebentar. Kemudian Santoso, menurut pemeriksaan awal, telah menampar wajah Ing. Tapi kepada TEMPO, Santoso -- yang mengaku waktu itu tidak mabuk menyatakan Ing-lah yang lebih dulu menamparnya. Yang agaknya pasti, kedua pemuda sekampung itu pun berkelahi. Rupanya, Ing kewalahan menghadapi Santoso. Ia lari ke dalam rumah, mengambil sebilah pisau dapur, sambil minta bantuan kakaknya, Siauw Hwat. Kali ini Santoso yang keteter melayani serangan dua bersaudara itu. Para tetangga pun memberitahukan kejadian itu kepada Dahlan, ayah Santoso. Tapi, upaya Dahlan melerai pergumulan dikira akan membantu Santoso. Maka, Dahlan pun diserang kakak beradik tadi, yang nampak lagi naik pitam. Dahlan malang, dada dan lambungnya terkena tikaman pisau Ing, yang membuat dia dan abangnya jadi bingung juga. Lalu, para tetangga pun keluar rumah, memberikan bantuan. Dahlan, yang bersimbah darah, dilarikan ke rumah sakit Kraton. Begitu juga Santoso, yang cedera di bagian keningnya. Tapi, dalam perjalanan, Dahlan meninggal. Hatta, kejadian itu membikin banyak orang marah, terutama warga di Jalan Jlamprang. Ruko Tan pun menjadi sasaran amukan penduduk. "Rumah kami dirusak dan dilempari batu," tutur Tan, si ayah. Untung, petugas keamanan segera turun tangan. Selama beberapa hari, lingkungan di sekitar Jalan Jlamprang dijaga ketat. Namun, kerusuhan rasial itu rupanya sudah cepat merembet di kota. Akibatnya, beberapa toko dan sebuah perusahaan roti milik nonpri dirusakkan oleh amukan massa. Sejumlah pemuda merusakkan tempat-tempat bilyar di luar Pekalongan, yakni di Comal, Kabupaten Pemalang. Sebuah mobil colt pikap yang diparkir di depan sebuah rumah bilyar juga jadi korban. Demikian pula sebuah gudang makanan udang dan sebuah pabrik kerupuk jadi sasaran. Belakangan, polisi bersama aparat keamanan lain meringkus sekitar 34 pemuda yang keras diduga melakukan perusakan dalam kerusuhan itu. Setelah itu, tak terdengar lagi peristiwa berikutnya. Baru tiga bulan kemudian, kasus Jalan Jlamprang, yang melebar di luar kontrol diajukan ke meja hijau. Dua bersaudara itu, di pengadilan, mengaku bahwa mereka sama sekali tak berniat membunuh Dahlan. Sewaktu kejadian, katanya, mereka mengira Dahlan -- yang waktu itu membawa sebilah golok -- akan membela anaknya. "Saya tak mau risiko dihajar lebih dulu," ujar Ing. Tapi, soal golok ini dibantah Karman salah seorang saksi. Dahlan datang dengan tangan kosong. Ia bermaksud melerai perkelahian, kata Karman. Namun, kedua terdakwa beranggapan bahwa kesalahan itu tak bisa ditimpakan seluruhnya pada mereka. "Yang mengawali kejadian kan Santoso. Kenapa ia tak dituntut?" kata Ing. Rupanya, argumen tersebut ditampik oleh Jaksa Husein. "Santoso tidak bersalah. Bahkan, dialah korbannya," ucap Husein. Seberapa besar kesalahan yang harus dipertanggungjawabkan Ing dan Hwat, pada akhirnya memang menjadi wewenang majelis hakim. "Biarlah hakim yang mengadili dan membuktikan kesalahan mereka," kata sang ayah, yang bersama keluarganya sempat diungsikan oleh para petugas sewaktu terjadi kerusuhan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus