PERSIDANGAN kasus penyerobotan tanah milik H. John Naro, bekas bos PPP, di Kelurahan Palmerah, Jakarta Barat berakhir mengejutkan. Di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Rabu pekan lalu, Hakim Marly Ilyas menyatakan dakwaan Jaksa Albert Nadeak batal demi hukum. Sebab, "Dakwaan itu kabur (obscuur libel), tak menyebutkan secara jelas batas-batas tanah perkara." Putusan itu mengagetkan karena biasanya hakim memutuskan dakwaan jaksa batal demi hukum -- lewat sebuah putusan sela -- begitu dakwaan selesai dibacakan jaksa. Atau bisa juga setelah terdakwa dan pembelanya mengajukan keberatan (eksepsi). Tapi, dalam kasus ini keputusan hakim baru jatuh setelah pemeriksaan perkara selesai. Bahkan, jaksa sudah membacakan tuntutannya, berupa hukuman percobaan terhadap tujuh terdakwa. Sebab itulah, Jaksa Albert serta-merta mengajukan perlawanan (verzet) ke Pengadilan Tinggi Jakarta. "Kalau hakim menafsirkan begitu, biarlah pengadilan banding yang memutuskannya," kata Albert. Ketujuh terdakwa itu -- Usman dan enam rekannya -- didakwa menyerobot tanah milik Naro, yang bersertifikat HGB tertanggal 25 Juli 1979, seluas 2,6 ha di Kampung Sawah, Kelurahan Palmerah Grogol Petamburan, Jakarta Barat. Sebetulnya, bukan hanya Usman dan kawan-kawan yang tinggal di lokasi tanah Naro itu. Di lingkungan yang kini mirip permukiman setingkat RW itu setidaknya ada sekitar 1.500 keluarga yang menghuni 800 rumah. Tapi, entah mengapa, cuma tujuh penggarap itu yang diadili. Di persidangan, kendati tak mengajukan eksepsi, para terdakwa membantah tuduhan itu. Mereka mengaku sudah puluhan tahun tinggal di lokasi itu -- jauh sebelum tanah itu dikabarkan dibeli Naro. Selain itu, menurut mereka, tanah yang pernah dibebaskan Naro pada 1977 sebenarnya hanya seluas 448 m2. Setelah perkara itu selesai diperiksa, ternyata pengadilan seakan-akan mementahkan persoalan. Sebabnya, selain soal batas-batas tanah perkara, kata Hakim Ilyas, jaksa juga tak mencantumkan undang-undang yang dikutip dalam dakwaan lebih subsider. "Mungkin jaksa lupa. Padahal, soal itu jelas diatur dalam hukum acara (KUHAP)," ujar Ilyas. Jaksa Albert, tentu saja, keberatan terhadap keputusan hakim itu. Menurut Albert, masalahnya berkisar pada perbedaan penafsiran KUHAP. Ia menganggap tata cara persidangan perkara itu terhitung singkat sehingga dakwaan bisa disampaikan secara lisan -- tak perlu disusun secara cermat dan jelas. Sebaliknya, pengadilan menilai perkara itu mengikuti acara biasa. Menariknya, sementara jaksa dan hakim berdebat para terdakwa merayakan putusan itu. Rupanya, mereka tak membedakan antara vonis bebas dan dakwaan dibatalkan. Bahkan, beberapa hari setelah itu, mereka menyelenggarakan syukuran -- dengan menyembelih tiga ekor kambing -- bersama segenap warga di situ. Tapi, sebetulnya masalah tanah itu sendiri masih simpang-siur. Mahkamah Agung, misalnya, melalui putusan tertanggal 21 Mei 1985, menyatakan bahwa seperempat bagian dari tanah itu dirampas untuk negara. Nah, "Siapa tahu, para terdakwa bukannya menempati tanah Naro. Tapi, justru tanah negara," kata Ilyas. Kecuali itu, tanah itu pun dikabarkan semula adalah milik Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU). Naro berhasil membebaskan tanah itu dan membujuk PBNU menjual tanah itu kepadanya. Dan menurut K.H. Yusuf Hasyim, bekas Sekje PB NU, Naro tak membereskan pembayaran. Belakangan, Naro mampu "memutihkan" tanah tersebut menjadi jalur kuning untuk permukiman, sekaligus memperoleh sertifikatnya. Di lokasi itu, tokoh politik itu berencana membangun hotel berbintang lima "Crown Plaza". Pada awal tahun 1992 rencananya, hotel berkamar 254 dan bernilai sekitar Rp 116 milyar itu sudah berdiri. Hp. S., Muchlis H.J. (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini