MUNGKIN tak ada rumah toko (ruko) seistimewa ruko di Jalan A. Yani No. 80, Medan. Bayangkan jual beli bangunan biasa itu berlangsung di Monako. Setelah dilegalisasikan Sekretaris Jenderal Menteri Negara Monako, jual beli itu disahkan Kedubes RI di Paris pada 11 Januari 1980, dan belakangan dikuatkan pula dengan surat penetapan Pengadilan Negeri Medan. Berdasarkan itu, Kantor Urusan Perumahan (KUP) Medan tiga kali memerintahkan penghuni, Djohan B. Kurniawan, mengosongkan ruko itu. Tapi sampai kini perintah pengosongan itu gagal. Bahkan Sekjen Depdagri, Nugroho, dengan surat 23 Maret 1990, memerintahkan Gubernur Sumatera-Utara (Sum-Ut) menunda pengosongan itu. Surat itu, tentu saja, menggembirakan Djohan dan pembelanya, Karel H. Sitinjak. "Kami mau mempelajari kasus rumah itu," kata Kepala Biro Hukum Kantor Gubernur Sum-Ut, Nyonya Rohani Darus. "Mendagri menunggu laporan kami." Tidak sahkah prosedur jual beli ruko itu? Rohani belum bisa memastikan. Namun, menurut surat penetapan Hakim Enny Sinaga dari Pengadilan Negeri Medan, tertanggal 19 Mei 1980, ruko itu sah dibeli Taufik Hidayat Fuad, seorang pesaham pada dealer Vespa di Medan. Ruang pamer Vespa itu bersebelahan dinding dengan ruko itu, yang sejak 1949 menjadi Apotek Kalimantan. Menurut Kepala Urusan Perumahan Medan (KUP), Chairul Ichwan Lubis, ruko itu semula milik Goldenberg dan ahli warisnya, Marie Ch. Kontoris. Sebelum Goldenberg pulang ke negerinya, menjelang 1948, kata Lubis, rumah itu diserahkan pengawasan penyewaannya kepada Perusahaan Daerah Pemda Sum-Ut (PDPSU). Sejak itu, ruko tersebut disewa Apotek Kalimantan, yang dipimpin Djohan. Pada 1980-an PDPSU menerima surat Gordon S. Blair, ahli waris Marie Ch. Kontoris, putri Goldenberg, warga negara Belanda. Pemilik asli ruko itu memberi tahu bahwa rumah itu telah dijual kepada Taufik. Dengan melampirkan akta jual beli (sale and purchase) yang dibuat di hadapan notaris Monako, Maitre Paul Louis Auroglio -- berikut pengesahan pejabat tinggi Prancis dan Indonesia tadi -- pada 10 Mei 1980, Taufik memohon surat penetapan Pengadilan Negeri Medan. Selain itu, Taufik juga melampirkan surat notaris Medan, Kusmulyanto Ongko, yang menyatakan akta jual beli itu sah dan sempurna. "Tapi, Taufik harus memberi penghuni lama uang pindah Rp 8 juta," kata Kusmulyanto. Dan sejumlah surat lainnya, yang mendukung Enny Sinaga berkesimpulan bahwa permohonan Taufik berdasarkan hukum dan tidak bertentangan dengan undang-undang. Berkat surat penetapan pengadilan itu, pada 20 Oktober 1981 Taufik memperoleh sertifikat HGB. Bermodal dokumen-dokumen itulah, Taufik memohon KUP Medan mengosongkan ruko tersebut. KUP Medan kemudian mengirim surat peringatan kepada Djohan, supaya mengosongkan ruko tadi. "Kami cuma mau meluruskan hak pemilik," kata Kepala KUP, Chairul Lubis. Tapi Djohan, yang menyewa ruko itu Rp 131 ribu per bulan, tak semudah itu diusir. Lewat pembelanya, Karel Sitinjak, akhir Februari 1990, dia menggugat Taufik beserta KUP Medan dan Kantor Badan Pertanahan Kota Madya Medan yang mengeluarkan HGB bagi Taufik. Hari-hari ini, persidangan perdatanya berjalan di Pengadilan Negeri Medan. Menurut Sitinjak, ruko seluas 290 m2 itu, kalaupun akan dijual, harus diprioritaskan kepada penghuni, sesuai dengan kebiasaan dan peraturan Menteri Sosial. Kesalahan fatal jual beli itu, menurut Sitinjak, tidak dilakukan di PPAT (pejabat pembuat akta tanah) karena ruko itu terletak di Indonesia. "Kalau hal seperti ini berlangsung terus, Indonesia bisa habis dijual di luar negeri," kata Sitinjak. Padahal, menurut Sitinjak, menurut undang-undang agraria, warga negara asing dilarang memiliki tanah. "Tanah itu milik pemerintah," kata Sitinjak. Monaris Simangunsong & Irwan E. Siregar (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini