Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Koperasi yang disandung Enos

Sengketa tanah antara Enos, John Derry, dan Herlan di bandung berakhir dengan kemenangan di pihak Eenos. M.A. menghukum Koperasi Bina Usaha Karya milik Herlan supaya menyerahkan tanah kepada Enos.

28 April 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KIPRAH koperasi, yang sedang naik daun, sedikit "rusak" karena sebuah kasus utang-piutang di Bandung. Sebuah koperasi di situ, Koperasi Bina Usaha Karya (BUK), dihukum Mahkamah Agung agar mengembalikan sebidang tanah -- tempat koperasi itu berdiri beserta sertifikatnya kepada Enos bin Karta, orang yang punya utang di koperasi itu. Melalui pengacaranya Bobby Siahaan, Rabu pekan ini Enos mengajukan permohonan sita eksekusi ke Pengadilan Negeri Bandung. "Agar pengadilan bisa melakukan upaya paksa bila tergugat tidak mengindahkan," kata pengacara Enos. Pertengahan 1984, Enos, pensiunan pegawai sipil ABRI itu, sedang membutuhkan uang. Ia kebetulan bertemu dengan temannya. John Derry Panggabean, yang berkantor di CV Tunas Utama Indonesia. John bersedia memberi pinjaman Rp 1 juta dengan bunga 8 persen per bulan. Sebagai jaminan, Enos menyerahkan sertifikat tanah miliknya seluas 1.980 m2 di Jalan Soekarno-Hatta. Utang ini dijanjikan akar dibayar Enos bila depositonya di BCA cair, tiga bulan kemudian. Dua pekan kemudian, Enos berniat meminjam lagi dari temannya itu Rp 2 juta. Kali ini John mengaku tidak punya uang. Ia menyarankan Enos agar meminjam di bank saja. Malah, John menyarankan agar Enos meminjam lima kali lipat lebih banyak sisanya Rp 8 juta akan dipakainya untuk proyek pemasangan kabel di IKIP Bandung. Tapi Enos bukannya dibawa ke bank, malah diantar ke BUK di Jalan Kopo. Menurut John, pimpinan BUK Herlan Cup Nainggolan adalah teman baiknya. Karena bujukan John, pinjaman malah dinaikkan menjadi Rp 11 juta. Enos dan istrinya lalu disuruh Herlan agar menandatangani surat -- menurut dia, tidak diketahui isinya -- di hadapan notaris. Belakangan ia baru tahu bahwa kertas itu adalah surat pengakuan berutang dan kuasa memegang hipotek untuk Herlan. Seminggu kemudian John ganti meminjam uang Enos. Pensiunan ini memberikan depositonya di BCA sebesar Rp 10 juta, yang belum jatuh tempo. Entah bagaimana, John bisa mencairkannya. Ternyata, enam bulan kemudian, datang surat peringatan dari BUK agar Enos melunasi utang beserta bunganya. Merasa tidak berutang, ia mengabaikan peringatan itu. Tapi, setengah tahun kemudian, menyusul surat peringatan terakhir. Utang yang harus dibayarnya tidak tanggung-tanggung, sudah mekar menjadi Rp 30 juta. Penuh rasa heran, Enos mendatangi kedua "teman baik"nya itu, John dan Herlan. Di situ Enos malah disuruh menandatangani blangko kosong berupa akta jual beli di depan notaris. Malamnya, Enos dan istrinya masih disuruh menandatangani surat yang tidak diketahui isinya di rumahnya. Sewaktu istri Enos meneken surat itu, seorang teman Herlan mengabadikannya. Kasus ini akhirnya sampai ke pengadilan. Berdasar foto di atas, Herlan menyatakan penandatanganan jual beli dilakukan di kantor PPAT. Pihaknya, katanya, telah membeli tanah itu seharga Rp 53 juta, sesuai dengan kuitansi yang pernah ditanda-tangani Enos. Di persidangan, Enos mengaku terpaksa meneken kuitansi itu karena ketika itu anaknya di rumah sakit. Tapi, sementara sidang berjalan Herlan dan John berhasil mengantungi IMB dari Dinas Tata Kota. Malah, fondasi gedung berlantai dua itu sudah berdiri. Ternyata, pada 1 Maret 1986, Enos dimenangkan pengadilan. Herlan dan John diwajibkan mengembalikan tanah milik Enos. IMB pun dibatalkan. Namun, Enos pun diharuskan membayar utangnya Rp 11 juta, dengan bunga dua persen per bulan. mulai 29 Juni 1985, kepada para tergugat. Sebaliknya tergugat II, John, diwajibkan membayar utangnya Rp 12,29 juta, dengan bunga yang sama, mulai 9 Januari 1985, kepada Enos. Para tergugat menyatakan banding. Tapi pengadilan banding dan kasasi menguatkan putusan pengadilan bawahannya. Putusan ini tidak terlalu menggembirakan Enos karena utangnya kini telah membengkak jadi Rp 29 juta, walaupun ia masih punya piutang dari John. Herlan lebih tidak puas. Ia menganggap Enos hanya menuntut ganti rugi, bukan meminta tanah. Herlan bahkan mengaku telah membayar Enos Rp 53 juta untuk tanah itu. Karena itu, ia akan mengajukan peninjauan kembali. "Kalau gagal, saya akan mengadu ke Presiden, karena saya punya bukti kuat," ujarnya yakin. Diah Purnomowati dan Ahmad Taufik

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus