Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Bea dan Cukai Tanjung Priok menggagalkan penyelundupan 27 kontainer kain premium dari Cina.
Mafia tekstil berinisial DR diduga mengotaki penyelundupan ini.
Ada petugas Bea dan Cukai yang diduga terlibat.
GULUNGAN kain warna-warni menjejali gudang Pusat Depo Kontainer (Container Depo Centre) Banda, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Rabu, 11 Maret lalu. Meski gudang sudah sesak, sejumlah pria bersiap-siap menambah isinya dengan gulungan kain lain yang baru diturunkan dari tiga kontainer yang berjejer di depan gudang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketiga kontainer tersebut bagian dari 27 kontainer bermuatan kain premium ilegal. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan menggagalkan penyelundupan kain tersebut di Pelabuhan Tanjung Priok pada Senin, 2 Maret lalu. “Petugas masih memeriksa dan meneliti isi kontainer,” kata Direktur Penindakan dan Penyidikan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Bahaduri Wijayanta Bekti Mukarta, Kamis, 12 Maret lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Semua kontainer dilayarkan dari Pelabuhan Batu Ampar, Batam. Faktur pengiriman menyebutkan sepuluh kontainer diimpor oleh PT Peter Garmindo Prima. Sisanya diimpor oleh PT Flemings Indo Batam. Seluruh kiriman menuju alamat yang sama: kompleks Pergudangan Green Sedayu Bizpark, Cakung, Jakarta Timur.
Dua pejabat Kementerian Keuangan yang mengetahui kasus itu mengatakan semua kontainer tersebut milik seorang pengusaha berinisial DR. Pemain lama di perdagangan tekstil itu mencoba mengelabui petugas pabean dengan memanipulasi dokumen. Manifes pengiriman menyebutkan kontainer berisi kain poliester. Nyatanya, kontainer itu berisi kain brokat, sutra, satin, dan gorden yang harganya lebih mahal daripada poliester. Selain memalsukan jenis barang, penyelundup memalsukan volume kontainer.
Tapi nama DR tak tercatat di dokumen. Ia diduga menggunakan dua perusahaan, PT Peter Garmindo dan PT Flemings, untuk menyembunyikan namanya. Kedua perusahaan ini ditengarai berperan dalam memanipulasi sertifikat asal barang. Mereka melampirkan sertifikat yang mencantumkan semua kain berasal dari Shanti Park, Mira Road, India. Dokumen pengiriman menyebutkan kapal pengangkut berangkat dari Nhava Sheva di timur Mumbai.
Kapal pengangkut 27 kontainer kain premium itu ternyata tak pernah singgah di India. Memalsukan dokumen pengiriman, penyelundup memberangkatkan kapal dari pelabuhan Hong Kong, kemudian transit di Malaysia dan berakhir di Batam.
Kedua pejabat itu menyebutkan muatan kontainer berasal dari Cina. Saat kapal tiba di Batam, penyelundup membongkar muatan, lalu memindahkannya ke kontainer berbeda. Kapal lain kemudian mengangkut kontainer “baru” ini ke Tanjung Priok. “Logikanya, cost pengiriman akan lebih murah jika langsung dikirim dari India ke Jakarta,” ujar salah seorang pejabat tersebut.
Jaringan mafia tekstil menggunakan jalan memutar untuk memanfaatkan aturan bea safeguard atau bea masuk tindakan pengamanan sementara yang berlaku sejak akhir 2019. Pemerintah mengeluarkan kebijakan ini untuk meningkatkan daya saing produk tekstil dalam negeri yang tengah goyah akibat kebanjiran produk garmen dan tekstil impor murah. India salah satu negara yang mendapatkan fasilitas itu.
Kain brokat, satin, gorden, dan sutra di dalam 27 kontainer tersebut seharusnya dikenai bea lebih mahal ketimbang poliester. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 162/PMK.010/2019 tentang Pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan Sementara terhadap Impor Produk Kain, tarif bea safeguard untuk poliester hanya Rp 1.500 per meter. Kain brokat dipungut Rp 4.000 per meter. Bea satin dan sutra lebih mahal.
PT Peter Garmindo hanya membayar sekitar Rp 730 juta untuk bea dan pajak 10 kontainer. PT Flemings menyetor Rp 1,09 miliar untuk 17 kontainer. Menurut salah seorang pejabat tadi, dengan menghitung akumulasi biaya tambahan bea safeguard dan kesesuaian jenis ataupun jumlah barang, bea masuk, hingga pajak, seharusnya kedua perusahaan itu membayar Rp 1 miliar per kontainer.
PT Peter Garmindo diduga sudah tujuh kali mendatangkan tekstil premium dengan modus ini. Jumlahnya diperkirakan mencapai 41 kontainer. Dalam pengiriman tujuh kontainer pada 12 Januari lalu, misalnya, perusahaan ini hanya membayar bea masuk dan pajak sebesar Rp 673 juta.
Adapun PT Flemings disangka mengimpor dengan modus yang sama sebanyak delapan kali. Ada 62 kontainer yang lolos dari pengawasan petugas pabean. Pengiriman pada 20 Januari 2020 menyebutkan PT Flemings memasukkan kain nilon dan spandeks sebanyak enam kontainer dengan bea masuk dan pajak sekitar Rp 780 juta.
Mulusnya puluhan penyelundupan sebelumnya memunculkan dugaan adanya keterlibatan pegawai Bea dan Cukai. Indikasinya, kapal sempat membongkar muatan dan mengganti kontainer di dalam pelabuhan serta mendapatkan dokumen berbeda.
Direktur Penindakan dan Penyidikan Bea dan Cukai Bahaduri Wijayanta enggan menanggapi informasi tersebut. Dia hanya mengatakan petugas Bea dan Cukai di Tanjung Priok rutin mengawasi lalu lintas kontainer, terutama yang asalnya dari Batam. “Ini sebagai bagian dari sistem pengawasan berlapis,” ucapnya.
Kontainer yang memuat tekstil premium dari Cina yang diselundupkan melalui Batam di Gudang CDC Banda, Tanjung Priok, Jakarta Utara, 11 Maret 2020./TEMPO/Linda Trianita
Ia juga enggan menjelaskan keterlibatan DR, yang disebut sejumlah pejabat di Kementerian Keuangan sebagai mafia tekstil. “Kami tidak bisa berspekulasi sebelum proses penelitian selesai,” kata Wijayanta. Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Heru Pambudi juga irit bicara soal kasus ini. “Silakan ke pihak yang menangani langsung,” ujar Heru.
Tempo menelusuri PT Flemings Indo Batam dan PT Peter Garmindo Prima, yang tercatat di dokumen sebagai importir. PT Flemings beralamat di Kompleks Sentosa Perdana Blok D Nomor 7-8, Batam. Saat dikunjungi, kondisi kantor berupa rumah toko itu terlihat tak terurus. Catnya kusam dan sebagian mengelupas. Pintu ruko tertutup. Hanya satu pintu kecil yang terlihat terbuka.
Deru mesin jahit terdengar dari dalam ruko. Ada sekitar 10 pekerja yang sedang mengoperasikan mesin jahit. Ada juga pegawai yang tengah mengukur dan memotong kain. Di bagian tengah ruko terpajang beberapa baju proyek berbagai ukuran. “Di sini buat baju-baju proyek khusus perusahaan singapura,” kata Purwanto, salah seorang pekerja, Rabu, 11 Maret lalu.
Ia menjelaskan, PT Flemings dimiliki salah seorang pengusaha di Batam bernama Irdianto. Namun Irdianto sedang tak berada di sana. Ketika dihubungi, ia tak merespons panggilan Tempo.
Kantor PT Peter Garmindo lebih misterius. Perusahaan ini tercatat beralamat di Kompleks Malindo Cipta Perkasa, Batam. Tak ada seorang pun terlihat di sana pada Rabu, 11 Maret lalu.
Juru bicara Kantor Bea dan Cukai Batam, Sumarna, membenarkan informasi bahwa kedua perusahaan tersebut bergerak di bidang impor dan ekspor. “Selain tercatat di Bea dan Cukai, keduanya terdaftar di Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam,” tutur Sumarna. Ia mengaku tak mengetahui dugaan penyelundupan oleh kedua perusahaan tersebut. “Aku baru dengar kasus ini,” ujarnya.
LINDA TRIANITA, YOGI EKA SAHPUTRA (BATAM)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo