Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
KPK mengupayakan ekstradisi terhadap tersangka korupsi proyek e-KTP Paulus Tannos dari Singapura.
Paulus Tannos berperan penting untuk membuka kasus korupsi e-KTP.
Babak baru mengusut keterlibatan politikus penerima besel yang sempat diungkap oleh Setya Novanto.
DIREKTUR PT Sandipala Arthaputra Paulus Tannos alias Thian Po Tjhin, buron kasus korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP), menjadi tahanan sementara di Penjara Changi, Singapura. Ketua KPK Setyo Budiyanto mengatakan penahanan ini berkat koordinasi antara KPK dan Biro Investigasi Praktik Korupsi Singapura (CPIB) melalui Divisi Hubungan Internasional Polri. "Surat-menyurat dengan CPIB Singapura sudah dilakukan sejak Desember 2024," kata Setyo kepada Tempo pada Sabtu, 25 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setyo menuturkan pengajuan surat permohonan penahanan sementara atau provisional arrest request ke otoritas Singapura menjadi dasar penangkapan. Kendati demikian, jenderal polisi bintang tiga ini belum bisa memastikan kapan Paulus Tannos akan diekstradisi ke Indonesia. Seorang pejabat yang mengetahui kasus ini bercerita bahwa pria 70 tahun itu baru bisa diekstradisi ke Tanah Air setelah 45 hari. Adapun eksekusi terhadap Paulus dilakukan pada 17 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Setyo Budiyanto saat diwawancarai awak media di depan Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, 15 Januari 2025. TEMPO/Tony Hartawan
Paulus Tannos resmi menyandang status tersangka kasus korupsi pengadaan e-KTP di Kementerian Dalam Negeri periode 2011-2013 pada 13 Agustus 2019. Ia diduga terlibat dalam rekayasa tender proyek e-KTP lewat pertemuan dengan sejumlah pengusaha dan pejabat. Ia juga menyepakati fee sebesar 5 persen serta skema pembagian jatah kepada sejumlah anggota DPR dan pejabat Kementerian Dalam Negeri.
Nama Paulus Tannos juga sempat disebut-sebut dalam persidangan kasus korupsi e-KTP sebelumnya. Bahkan namanya muncul dalam amar putusan eks Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto yang juga terseret dalam perkara ini.
Pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong, yang juga terseret dalam kasus ini, mengatakan ia mengikuti konsorsium Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) karena ada Paulus Tannos. Ia menyebutkan Paulus adalah orangnya Gamawan Fauzi, Menteri Dalam Negeri saat itu. Konsorsium itu terdiri atas PNRI, PT Quadra Solution, PT Sandipala Arthaputra, PT Len, dan PT Sucofindo.
Dalam sebuah pertemuan di sebuah ruko di kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan, terbentuk tiga konsorsium. Ketiganya adalah Astragraphia, PNRI, dan Murakabi. Kesepakatan awal, siapa pun konsorsium yang menang, nanti pekerjaannya akan dibagi. "Namun kenyataannya tidak," kata Andi dalam kesaksiannya di sidang Setya Novanto.
Andi menuturkan Paulus pernah bercerita kepadanya bahwa ia sudah memberikan sebuah ruko untuk Azmin Aulia, adik Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Apabila menang, Paulus juga menjanjikan sebuah tanah. "Lima persen dari jatah PT Sandipala memang untuk Azmin Aulia," ujar Andi Narogong ketika itu.
Selain itu, nama sejumlah politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sempat disebut-sebut menerima aliran uang oleh Setya Novanto. Mereka di antaranya Ganjar Pranowo, Puan Maharani, Olly Dondokambey, dan Pramono Anung. Dalam persidangan, Setya mengatakan aliran dana ke Ganjar pernah disampaikan oleh bekas Ketua Komisi II DPR Chairuman Harahap. Saat itu, Chairuman juga mendapat jatah US$ 500 ribu dari Andi Narogong dan membagikannya ke Ganjar.
"Pada suatu hari saya ketemu Chairuman. Saya tanya, 'Betul tidak ada penerimaan dari Andi?'" kata Setya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Kamis, 22 Maret 2018. Chairuman saat itu mengatakan baru diselesaikan US$ 200 ribu. "Dia bilang ada untuk Ganjar."
Eks Direktur PT Murakabi Sejahtera sekaligus kemenakan Setya Novanto, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo, mengatakan hal senada saat bersaksi dalam sidang pamannya. Ia mengatakan Ganjar menerima uang US$ 500 ribu.
Saat menjadi saksi dalam persidangan Setya Novanto, Ganjar Pranowo menegaskan dirinya tidak menerima besel proyek e-KTP. Ia menjelaskan pernah menolak saat mantan anggota Komisi II DPR dari Fraksi Golkar, Mustokoweni Murdi (almarhumah), menjanjikan uang kepadanya. Ganjar menuturkan Andi Narogong telah menyampaikan dalam pleidoinya bahwa tidak pernah mengucurkan dana ke Ganjar. "Keterangan Pak Setya Novanto tidak benar," ujarnya pada 8 Februari 2018.
Selain untuk Ganjar, Setya mengungkapkan ada aliran dana ke pimpinan Badan Anggaran DPR, yakni Melchias Mekeng, Tamsil Linrung, dan Olly Dondokambey, masing-masing sebesar US$ 500 ribu. Setya mengatakan uang tersebut diberikan oleh keponakannya, Irvanto, yang turut menjadi tersangka dalam kasus korupsi e-KTP.
Setya juga bernyanyi bahwa dana e-KTP mengalir ke Puan Maharani dan Pramono Anung. Ia mengatakan hal tersebut disampaikan pengusaha yang juga terseret dalam kasus ini, Made Oka Masagung, saat berkunjung ke rumahnya. “Itu untuk Puan Maharani US$ 500 ribu dan Pramono Anung US$ 500 ribu,” katanya.
Pengacara Setya Novanto saat itu, Maqdir Ismail, tak menampik kliennya pernah menyebut Ganjar, Puan, hingga Olly menerima aliran uang dari kasus korupsi e-KTP. "Tapi seingat saya, tidak didukung oleh saksi yang lain atau bukti tertulis," ujarnya saat dimintai konfirmasi pada Ahad, 26 Januari 2025.
Terpidana Korupsi E-KTP
Wakil Ketua KPK periode 2015-2019, Saut Situmorang, enggan mengungkapkan siapa saja yang akan terseret apabila Paulus Tannos memberikan keterangan. "Mengacu pada persidangan SN (Setya Novanto), bisa saja itu terungkap kalau Tannos menjelaskan semua yang dia ketahui," ujar Saut saat dihubungi.
Saut menyatakan lupa sejauh apa indikasi aliran dana mengarah ke para politikus tersebut. Namun ia ingat pimpinan KPK saat itu memerintahkan penyidik dan penuntut memprioritaskan yang sudah ada cukup alat bukti lebih dulu dalam kasus ini. "Setya Novanto tuh nyebut banyak nama, tapi untuk membuat itu menjadi terang, harapannya Paulus Tannos bisa menjelaskan persoalan tersebut," kata Saut.
Ia tak menampik rentang waktu penetapan tersangka Paulus Tannos dengan penangkapannya cukup jauh. Menurut Saut, ini terjadi karena kombinasi bakat Paulus menghilangkan jejak dan konflik kepentingan pimpinan KPK periode 2019-2024. Selain itu, karena KPK tak terlalu intens mengerahkan sumber dayanya untuk mengejar Paulus. Apalagi jumlah penyidik terbatas dan kasus-kasus lain juga menumpuk. Karena itu, ia menyarankan harus ada satu unit khusus di lembaga antirasuah ini yang berfokus mengejar para buron.
Pengajar hukum pidana di Universitas Mulawarman, Orin Gusta Andini, mengatakan Paulus Tannos berperan penting dalam membuka kasus korupsi e-KTP. Namun ini harus dilakukan dengan proses hukum yang on the track atau sesuai dengan jalur.
Maka, kata dia, Paulus Tannos bisa mengungkap siapa-siapa saja yang terlibat. Buron KPK sejak 2021 itu juga dapat membuka peran para aktor dan ke mana dana korupsi e-KTP. "Bahkan kalau bisa dikembangkan lebih jauh, terutama kalau ada yang membantu dia melarikan diri," ujar Orin pada Ahad, 26 Januari 2025.
Ketua IM57+ Institute Lakso Anindito mengatakan KPK harus mengawal proses ekstradisi Paulus Tannos ke Indonesia. Sebab, hasil pemulangannya bergantung pada putusan pengadilan Singapura.
Setelah Paulus pulang, baru kemudian lembaga antirasuah ini harus mengusut tuntas kasus korupsi e-KTP. Terutama, ujar Lakso, mengenai nexus transaksi dan aktor. "Dengan melihat penerimaan Tannos yang signifikan, lebih dari Rp 140 miliar, tidak mungkin perannya kecil," ujarnya saat dihubungi pada Minggu, 26 Januari 2025.
Dengan demikian, ia menilai pengembangan penyidikan dari posisi Paulus Tannos menjadi penting. Lakso berharap ini bisa membongkar nexus transaksi berupa ke mana aliran uang tersebut serta nexus aktor, yaitu siapa saja yang mengatur pembagian bancakan e-KTP.
Direktur PT Sandipala Arthaputra Paulus Tannos dihadirkan secara virtual dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP dengan terdakwa Irman, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, 18 Mei 2017. Dok. Tempo/Eko Siswono Toyudho
Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada Zaenur Rohman juga sepakat pemulangan Paulus ke Indonesia perlu dikawal. Hal ini bisa dilakukan dengan kerja sama KPK bersama Kementerian Luar Negeri, Kementerian Hukum, dan Interpol melalui Polri. Kemudian baru proses penuntutan. Ia berharap jaksa KPK bisa menuntut Paulus Tannos secara maksimal.
Ia menilai penangkapan Paulus Tannos menjadi momentum bagi KPK untuk me-review perkara korupsi e-KTP. Bukan tidak mungkin buron tersebut menjadi pintu masuk bagi Komisi Pemberantasan Korupsi untuk membuka lagi kasus ini. "Saya lihat masih belum tuntas kasus ini," kata Zaenur lewat WhatsApp pada Ahad, 26 Januari 2025. "Informasi dari Paulus Tannos itu mungkin ada yang bisa bermanfaat untuk mengungkap kasus ini secara tuntas."
Menurut Zaenur, ada sejumlah faktor yang membuat kasus korupsi e-KTP masih belum tuntas hingga sekarang. Pertama, KPK tidak menjadikannya sebagai prioritas. Kedua, dalam pergantian pimpinan KPK, biasanya ada kesan bahwa kasus terdahulu bukan tanggung jawab pengurus baru. Ketiga, karena menyebut nama politikus, pasti ada hambatan politis. ●
Mutia Yuantisya dan Alfan Hilmi berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo