Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Inspektur Dua (Ipda) Rudy Soik menceritakan soal jebakan yang dilakukan anggota Kepolisian Daerah (Polda) Nusa Tenggara Timur saat dirinya menyelidiki kasus penimbunan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi ilegal di Kota Kupang pada Juni lalu. Polda NTT menyeret Rudy ke Komisi Kode Etik Polisi (KKEP) hingga mendapat hukuman pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) karena sejumlah dugaan pelanggaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jebakan tersebut, menurut Rudy, berhubungan dengan salah satu aduan pelanggaran terhadap dirinya, yaitu perselingkuhan. Rudy menceritakan, jebakan itu bermula saat dia dan 11 anggotanya akan memeriksa tempat penampungan BBM bersubsidi ilegal milik Ahmad Anshar. "Pelaku ini residivis kasus yang sama. Saya mendapat informasi dia main lagi," kata Rudy kepada Tempo, Jumat, 25 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rudy dan anggotanya mendatangi lokasi dengan berboncengan menggunakan 6 motor. Dalam perjalanan, kata Rudy, satu anggotanya mengingatkannya agar Rudy memastikan terlebih tidak ada atasannya yang melindungi Ahmad.
Hal itu, disampaikan anggotanya karena sebelumnya Rudy sempat didatangi oleh seorang anggota Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditkrimsus) Polda NTT. Anggota tersebut menyatakan pengusutan kasus penimbunan BBM bersubsidi ilegal itu akan berdampak ke mereka. "Bang, kalau abang nangkap minyak, dampaknya ke Krimsus Polda NTT," ucap Rudy menirukan perkataan anggota Ditkrimsus Polda NTT itu.
Karena peringatan dari anggotanya, Rudy pun tak langsung menuju tempat Ahmad. Dia memerintahkan anggotanya untuk berhenti terlebih dahulu di Restoran dan Karaoke Masterpiece di depan kantor Polda NTT. Di sana, Rudy pun menelepon seorang atasannya untuk berkoordinasi soal penyelidikan kasus penampungan BBM ilegal tersebut.
Dalam percakapan melalui telepon itu, Rudy menyatakan atasannya itu memerintahkan dia untuk tetap berada di restoran. Dia berjanji akan datang ke restoran itu untuk membicarakan masalah tersebut sambil makan. "Saya belum makan. Nanti kita makan dengan anggota di situ. Baru kita bahas," ucap Rudy menirukan jawaban atasannya.
Rudy pun memutuskan untuk menunggu di restoran tersebut. Namun, salah satu anggotanya menyarankan agar mereka tetap berangkat lebih dulu ke lokasi penimbunan minyak, sementara Rudy menunggu. "Si Iptu ini pimpin anggota ke tempatnya Ahmad," kata Rudy.
Selanjutnya, jebakan perselingkuhan
Karena atasannya tak kunjung datang, Rudy kemudian berinisiatif menelepon dua Polisi Wanita (Polwan) juniornya yang bertugas di Polda NTT untuk menemaninya. Tak lama berselang, dua Polwan itu datang dan Rudy pun mengajak mereka masuk ke restoran.
Rudy menyatakan dirinya diarahkan ke ruang VIP oleh pihak restoran karena pendingin udara di ruang biasa rusak. "Karena VIP itu biasanya ibu-ibu Bhayangkari makannya di situ," kata Rudy.
Sekitar 10 menit kemudian, lanjutnya, atasan Rudy di Polda NTT tersebut datang, bersamaan dengan anggotanya yang baru saja meninjau lokasi penimbunan BBM bersubsidi ilegal milik Ahmad. Rudy awalnya tak curiga karena memiliki hubungan baik dengan atasannya. Akan tetapi rupanya atasannya itu membawa sejumlah anggota Provos.
Rudy curiga setelah anggota Provos tersebut memvideokan dan memfoto pertemuan tersebut. Apalagi anak buahnya tak kunjung masuk. "Ternyata anggota sudah dicekal dulu, tidak boleh masuk, tidak boleh ikut, katanya Provos mau datang," kata Rudy.
Usai pertemuan itu, Rudy pun melapor ke Kapolres Kota Kupang Komisaris Besar Aldinan R.J.H Manurung. "Kapolres balas saya begini. Rud, ada musuh dalam selimut," tuturnya.
Mendapat peringatan dari Aldinan, Rudy pun menyelidiki siapa anggotanya yang menjadi pengkhianat. Dia pun akhirnya mendapatkan satu nama yang kemudian mengaku menerima uang Rp 3,8 juta dari Ahmad.
Belakangan, kata Rudy, pertemuan di Restoran Masterpiece itu menjadi salah satu aduan terhadap dirinya Bidang Profesi dan Pengamanan Polda NTT. Awalnya, Rudy dituding berselingkuh dengan dua Polwan tersut. Karena tak terbukti adanya perselingkuhan, menurut Rudy, laporan itu pun dialihkan menjadi tindakan tidak profesional karena mendatangi tempat hiburan saat jam kerja. "Mereka membangun narasi seperti itu," kata dia.
Atas tuduhan tersebut, Rudy Soik dikenakan sanksi penempatan khusus, sebutan untuk sanksi etik berupa pemenjaraan, selama 14 hari. Dia pun mendapat mutasi 5 tahun non-job di luar lingkungan Polda NTT. Dua Polwan yang bersamanya pun ikut terseret dan mendapat hukuman penempatan kusus 12 hari penjara.