WAJAH Serda. Pol. Adi Saputra, 29 tahun, mendadak pucat. Ia memejamkan mata, sementara tangannya gemetar begitu majelis hakim Mahkamah Militer Surabaya yang diketuai Kol. CHK Soekirlan Zakir, Selasa pekan lalu, memvonisnya dengan hukuman mati. Menurut majelis, Adi terbukti bersama mertuanya, pasangan Adi Prayitno Sumiarsih, beserta tiga orang lainnya menghabisi nyawa Letkol. (L) Poerwanto dan empat anggota keluarganya. "Tiada tempat lagi untuk terdakwa di bumi ini. Perbuatannya sadistis, membunuh manusia seperti membunuh tikus-tikus di gelap malam," kata hakim. Putusan itu disambut tepuk tangan sekitar 7.500 orang pengunjung sidang, termasuk 15 orang wanita muda dari lokasi pelacuran Dolly, Surabaya. "Betul, setuju," sambut para pengunjung. Adi, yang tak tidur semalaman sebelum sidang, dan tidak sarapan, makin melemah. Bintara Sat Sabhara Polsek Kesamben Jombang yang berdiri tegap mendengarkan vonis itu mendesiskan asma Allah. Butir keringat membias di sekujur tubuhnya. Ia melongsor, seperti tak sadar, dengan tubuh kejangkejang. Beberapa petugas CPM yang berdiri di sampingnya terpaksa memapah pesakitan itu kembali ke kursinya. Suasana pun gaduh. Sebagian pengunjung, yang ingin tahu keadaan Adi, naik ke atas kursi. Sebagian lainnya, dari arah luar ruang sidang, saling mendorong. Lima orang wanita menangis. Dan 50 orang lainnya kehilangan dompet karena dijarah pencopet. Kasus pembunuhan keluarga Letkol. Poerwanto, 51 tahun, ini memang mengundang perhatian besar masyarakat. Apalagi, belakangan terungkap pelaku pembunuhan itu adalah teman akrab dan teman bisnis Poerwanto sendiri, Adi Prayitno bersama keluarganya, termasuk menantunya, Adi Saputra. Pada 13 Agustus lalu, Adi Prayitno bersama istrinya, Nyonya Sumiarsih, dua anaknya, Sugeng dan Nanok, menantunya, Adi Saputra, serta sopir keluarganya, Da'im, dengan minibus mendatangi rumah Poerwanto di Dukuh Kupang Timur -- setengah kilometer dari rumah Prayitno di Gang Dolly. Mereka memang biasa saling mengunjungi. Tapi kali ini tekad kelurga Prayitno hanya satu: menghabisi Poerwanto sekeluarga. Sekitar pukul 09.30, Prayitno dan istrinya masuk rumah, sementara para pembunuh -- dengan menggenggam alu besi -- bersiap-siap di garasi Poerwanto. Kepada Sunarsih, Prayitno meminta pensil serta kertas dan menunggu permintaannya itu di garasi. Nyonya Sunarsih tanpa curiga menyuruh anak keduanya, Haryo Bismoko, mengantarkan pesanan itu kepada Prayitno. Tapi, ketika Bismoko muncul di garasi, Adi menyambutnya dengan pukulan alu. Selanjutnya Sugeng, Nanok, serta Da'im menghantamkan alunya bertubi-tubi ke tubuh anak itu. Siswa kelas I SLTA itu pun tewas di tempat itu. Mendengar suara gaduh, Sunarsih dan keponakannya, Sumaryatun, menyusul ke garasi. Tapi keduanya mengalami nasib yang sama. Sumiarsih sempat menginjak-injak punggung Sunarsih, ketika korban jatuh tengkurap, sambil berucap, "Ini yang membuat saya sengsara bertahun-tahun." Nasib serupa juga menimpa si bungsu Budi Prasetyo. Siang itu, murid kelas IV SD ini pulang sekolah. Tapi begitu Haryo injak rumahnya, Adi dan kawanannya menyambut bocah itu dengan alu tadi. Begitu pula nasib sang ayah, Poerwanto. Ketua Primer Koperasi Angkatan Laut Surabaya itu, sekitar pukul 15.00, dengan pakaian dinas marinir, tanpa syak wasangka: pulang ke rumahnya. Sesampainya di rumah, ia memang sempat menyapa Prayitno, yang sudah ada di rumah. Tapi ketika itulah, dari belakang, Adi mengeksekusinya. Setelah itu, mayat kelima korban, dengan kepala remuk, dimasukkan ke dalam sebuah Taft GT, milik Poerwanto, dan diangkut ke luar Kota Surabaya. Di dekat kawasan hutan lindung Coban Kethak, Songgoriti -- antara Batu, Malang, dan Kediri -- mobil itu dibakar dan mereka terjunkan ke jurang. Ketika mayat kelima korban ditemukan hebatnya, Prayitno pula yang paling sibuk. Ia misalnya, menyiapkan rumah korban untuk menerima pelayat, merekam dengan video, dan bahkan memberi keterangan pers. Tapi akibat terlalu sibuk itu pula ia dicurigai. Hanya dua hari setelah kejadian, Prayitno diciduk polisi. Kepada pemeriksa, Prayitno, 54 tahun, mengaku bersama keluarganya membantai Poerwanto, yang sudah dikenalnya sejak 1973. Bahkan, ceritanya, Poerwanto pula yang memberinya modal kepada terdakwa untuk mengelola dua rumah bordil di Dolly. Semuanya itu, katanya, terjadi gara-gara keluarganya berutang kepada korban Rp37 juta. Di persidangan, Sumiarsih mengaku pembantaian itu atas inisiatifnya. Sebab, Poerwanto, katanya, mengancam jika ia tak bisa mengembalikan utangnya dalam waktu 10 hari sejak tanggal 3 Agustus lalu, maka tiga buah rumahnya -- termasuk dua rumah di Dolly -- akan disita. Bahkan ia bersama suaminya akan disel. Upayanya memperoleh keringanan dari istri Poerwanto ternyata tak membuahkan hasil. Sewaktu Sumiarsih mengutarakan ide buruknya itu, menantunya Adi sempat menyarankan agar menempuh prosedur hukum. Tapi Sumiarsih tetap pada niatnya, dan menyatakan hanya minta bantuan Adi sekali itu saja. Adi bersedia. Bahkan ia pula pemeran utama dalam tindakan pembantaian itu. Menurut majelis hakim, perbuatan Adi -- bersama lima orang lainnya yang akan diadili secara terpisah di peradilan umum -- terhitung sadistis. Majelis menganggap, tak ada satu pun hal yang meringankan tindakan Adi. Sebab itu, majelis terpaksa menjatuhkan hukuman mati. "Dosanya terlalu banyak. Bayangkan, anak-anak yang tak tahu-menahu urusan orangtuanya juga dihabisi dengan sadistis," ujar Ketua Majelis Hakim, Soekirlan Zakir. Sebaliknya, pembela Adi Saputra, Kapten Pol. Djauhari Hamid, menyatakan naik banding. "Adi telah menyesali kesalahannya. Seharusnya ia diberi kesempatan bertobat, bukannya langsung divonis mati. Tuhan saja mau menerima tobat, kok," kata Djauhari Hamid. Adi Saputra, yang sudah 6 tahun membina karier di ABRI, memang menyesali perbuatannya. "Saya tidak tahu kenapa waktu itu nurut saja pada kemauan Ibu. Saya memang lagi sial," ucapnya. Hp. S. dan Herry Mohammad (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini