KETENANGAN tamu-tamu Hotel Chitra di kawasan pecinan, Glodok, Jakarta Barat, Minggu siang itu terusik berat. Sekitar 70 orang tamu tak diundang menyerbu hotel berlantai VI itu. Dua orang petugas satpam hotel, yang mencoba menghadang, M. Soleh dan Matyadi, digebuk sehingga kepala Soleh robek dan terpaksa dijahit. Setelah itu, seperti dituturkan General Affair Hotel Chitra, Tagor Harahap, S.H. para penyerbu dengan ikat kepala kain putih -- bagai film silat -- menjarah ke dalam hotel. Mereka menggembok pintu gerbang tempat parkir dan mengikat pintu masuk. Sebuah papan nama Hotel dicat, dan sebuah lagi diturunkan mereka. Para penyerbu, kata Tagor, juga menyandera seorang karyawan dan mengusir tamu-tamu serta membuang barang-barang milik tamu. Keadaan baru bisa teratasi, 13 jam kemudian, setelah satuan Brimob dan Polres Jakarta Barat turun ke lokasi. Lalu 53 orang penyerbu ditangkap, di antaranya Hendrata Sadeli dan Yan Sadeli -- keduanya anak pemilik 48 persen saham hotel tersebut Rahmat Sadeli alias Lie Kwe Siong. Tujuh orang di antara mereka akan diajukan ke pengadilan. "Dalam waktu singkat, BAPnya akan dilimpahkan ke kejaksaan," kata Kadispen Polda Metro Jaya, Letkol. A. Latief Rabar, pekan lalu. Penyerbuan Hotel Chitra, yang terjadi pada Minggu kedua bulan lalu itu, memang hanya buntut sengketa kepemilikan hotel itu antara Rachmat Sadeli di satu pihak dan Asmawi Manaf (bekas Wagub DKI Jakarta) di pihak lain. Semula hotel yang diresmikan Gubernur DKI Soeprapto 1984 itu sahamnya dibagi kedua orang tadi masing-masing 48% dan sisanya untuk Luay Abdurachman sebanyak 4%. Belakangan sengketa muncul antara kedua orang itu. Pihak Asmawi menuduh Rachmat telah menyeleweng dalam mengelola hotel itu. Sebab itu, Asmawi mengambil alih hotel itu dan memecat Rachmat dari jabatan direktur. Rahmat, yang mengaku hotel itu miliknya dan Asmawi hanya punya saham kosong di situ -- menggugat lawannya ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Di tingkat pertama, September 1987, Rachmat menang. Tapi di peradilan banding, April 1988, pihak Asmawi balik memenangkan perkara itu. Rachmat pun kasasi. Di luar persidangan, menurut pihak Asmawi, berkali-kali Rachmat Sadeli mengadakan berbagai aksi untuk mendapatkan kembali hotel tersebut. Sejak 1986 sampai kini konon, telah 10 kali pihak Rachmat beraksi di antaranya berupa sabotase, penyebaran pamflet gelap, dan bahkan menduduki hotel tersebut. Puncaknya, 9 Oktober lalu, berupa perusakan terhadap hotel dan pemukulan terhadap kedua satpam tersebut. Pengacara Asmawi, O.C. Kaligis -- yang belakangan menjabat komisaris di hotel itu -- menilai tindakan Rahmat, yang menyewa tukang-tukang pukul itu, bisa menimbulkan kerawanan. "Motivasi mereka sebenarnya hanya merusak agar Hotel Chitra tak ada lagi," kata Y.B. Purwaning dari Kantor O.C. Kaligis. "Itu fitnah," kata Rahmat Sadeli, yang mengaku pemilik sah hotel itu. Ia, katanya, kehilangan miliknya itu karena diserobot pihak Asmawi pada Juni 1986 lalu. Sebab itu pula, katanya, tak mungkin ia merusakkan hotel itu. "Tak masuk akal saya merusakkan rumah saya sendiri," ujarnya. Pada Minggu siang itu, cerita Rachmat, kuasanya, Djafar Elyas, bersama sekitar 35 orang berpakaian seragam karyawan hotel datang ke hotel itu. Tujuannya, katanya, hanya sekadar meminta perhatian yang berwenang agar segera menyelesaikan masalah hotel itu. "Sebab, izin hotel itu sudah dicabut," kata Rahmat Sadeli didampingi pengacaranya, Djafar Tuasikal dan Amir Hamzah. Menurut Amir Hamzah, pada malam hari -- bukan siang hari -- pihak lawannya sengaja mengirim dua orangnya, M. Soleh dan Matyadi, untuk memancing keributan. "Kedua orang itu bukan satpam. Mereka memang sengaja memancing keributan agar Rachmat masuk penjara," kata Amir Hamzah. Laporan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini