~KOMPLOTAN pencuri patung kuno semakin keterlaluan. Akibat ulah ~~mereka, masyarakat suku Kaharingan, Dayak, Kalimantan Tengah, kini resah. Sebab, komplotan pencuri menjarahi patung ritual mereka, sapundu -- tempat ritual umat Kaharingan. Dalam catatan Polresta Palangkaraya, sampai Jumat pekan lalu, sudah lebih dari 100 buah sapundu raib dari tempatnya. "Hampir setiap bulan, ada saja yang melapor kehilangan sapundu," kata Kepala Reserse Polresta, Lettu. Mochamad Thagor. Perwira polisi ini mengaku kesulitan melacak sindikat pencuri yang diduga berasal dari luar daerah itu. Tapi diperkirakan komplotan ini bekerja sama dengan orang "dalam" dari suku Kaharingan juga. Yang jelas, sampai pekan lalu pihak kepolisian sudah memeriksa empat orang yang dicurigai. Hanya saja, dalang pencuri yang diduga seorang pengusaha asal Banjarmasin itu sampai kini masih buron. Menurut inforrnasi Thagor, sapundu itu dijual komplotan pencuri untuk pajangan di kota-kota besar. Sebuah hotel di Jakarta bahkan terang-terangan memajang sapundu Kaharingan. Kabarnya, harga sebuah sapundu di Jakarta bisa mencapai Rp 1,5 juta. "Semakin tua usia patung, semakin tinggi harganya," kata Thagor. Pencurian terakhir terjadi Agustus silam. Ketika itu tujuh sapundu, setinggi 1,5 meter yang terbuat dari kayu ulin tua, di Desa Tumbang Jutuh, tiba-tiba hilang dari tempatnya. Yang membuat jengkel umat setempat, tulang-belulang leluhur suku Dayak yang ada di dalam sapundu itu ditinggal pencuri berserakan. "Apa mereka anggap sapundu itu patung pajangan yang tak berguna lagi?" ujar ketua adat Kaharingan, Simal Penyang, dengan berang. Simal Penyang sangat masygul dengan kasus pencurian beruntun itu. Bagi umat Kaharingan -- pemerintah memasukkan aliran ini sebagai sempalan Hindu -- menurut Simal, hilangnya sapundu sama artinya dengan kehilangan orang yang paling dicintai. Dan yang menakutkannya, dalam kepercayaan umat setempat, roh dalam supundu itu bisa bangkit dan mengganggu umat Kaharingan. "Kalau ini terjadi, kami harus mengadakan upacara tiwah, yang sangat besar biayanya," kata Simal. Tiwah adalah upacara untuk menghantar arwah ke peristirahatan terakhir di surga. Tidak hanya orang Dayak yang marah. Seorang ilmuwan Belanda dari Universitas Leiden, Marek Ave, juga menyebut pencuri itu tak bermoral. "Sebagai antropolog, saya sangat marah dan tersinggung. Mestinya yang banyak duit itu jangan menyuruh orang mencuri, tapi datanglah, dan lihatlah sepuas-puasnya di sini," kata Marek Ave, yang sudah dua tahun keluar masuk hutan, meneliti suku Dayak. Dalam ajaran Kaharingan, kata Ave ancaman hukuman pencuri itu berat. Paling ringan mereka didenda dan dijadikan budak. Jika si pencuri berkali-kali melakukan kejahatan itu, ia harus diikat satu malam. Umumnya jarang orang yang bisa hidup setelah hukuman ini. Sementara itu, di kalangan umat sendiri ada keyakinan, setiap pencuri pasti akan menerima azab kutukan sampai akhir hayat. Mengapa orang Dayak -- kalau dugaan polisi tentang terlibatnya orang dalam benar -- ada yang berani melanggar? Menurut Ave, mereka bukannya lupa akan ancaman azab itu, tetapi sebagai penganut Kaharingan mereka pun tahu bagaimana harus menghindar. Caranya, sebelum beroperasi, diadakan upacara mistik memanggil roh jahat yang disebut gana. Lewat bantuan gana inilah, pencurian dilakukan. Anggapan mereka, yang menerima kutukan itu nantinya adalah gana -- karena gana memang ditakdirkan untuk dikutuk. Menurut Ave, yang memprihatinkan sekarang ini adalah melunturnya fanatisme kalangan muda terhadap Kaharingan. "Mereka bersedia mengorbankan keyakinannya karena sejumlah uang," kata Ave. Gejala yang mungkin terjadi tak hanya di kalangan suku Kaharingan. Aries Margono (Jakarta), Aimin Hatta (Banjarmasin)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini