Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Dari Hotel Travel ke Mahkamah Militer

Agus Isrok akhirnya diajukan ke mahkamah militer sebagai terdakwa. Akankah kasus ini menegaskan bahwa semua warga negara sama di muka hukum?

16 April 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAAT yang ditunggu-tunggu itu datang juga. Seorang prajurit TNI, Letnan Dua Infanteri Agus Isrok Mi'roj, Jumat pekan lalu akhirnya bisa dihadirkan di ruang sidang Mahkamah Militer II-08, Pondokkopi, Jakarta Timur, sebagai terdakwa kasus narkotik. Tapi bukan karena kasusnya benar yang membuat sidang hari itu jadi ''istimewa" dan menarik perhatian puluhan wartawan. Agus, yang berdiri di tengah ruang sidang dengan sikap tegak sempurna dan mengenakan seragam militer, adalah putra Jenderal TNI Subagyo Hadi Siswoyo, mantan Kepala Staf Angkatan Darat. Agus, 24 tahun, menjadi terdakwa setelah bersama seorang rekannya, Donny Hendrian, tertangkap polisi di kamar nomor 408 Hotel Travel, Manggabesar, Jakarta, 8 Agustus tahun lalu. Dari tangan mereka, polisi waktu itu mendapati satu koper hitam berisi benda-benda yang dapat membuat seorang bandar narkotik pun berdebar-debar: ribuan butir pil ekstasi, berkilo-kilo bubuk shabu-shabu, daun ganja, setengah ons putauw, serta uang tunai Rp 2 juta. Sempat tertahan berbulan-bulan dalam ketidakpastian, kasus Agus sempat dikhawatirkan menguap begitu saja lantaran jabatan ayahnya yang waktu itu masih menjadi KSAD, sementara dia sendiri adalah salah seorang anggota korps Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI Angkatan Darat. Kekhawatiran itu makin kuat ketika 26 Januari silam Pengadilan Negeri Jakarta Barat hanya mendudukkan Agus sebagai saksi dalam sidang pengadilan Donny. Adapun pihak kepolisian tak bisa menjelaskan mengapa mereka tak kunjung mengajukan Agus ke meja hijau. Peradilan militer kali ini seperti mengakhiri teka-teki itu, termasuk soal pengadilan manakah yang hendak dipakai untuk menuntaskan kasus tersebut: pengadilan sipil, koneksitas, atau mahkamah militer. Sidang yang diketuai Hakim Kolonel Sarman Mulyana dan didampingi hakim anggota Letnan Kolonel Laut Tampubolon dan Mayor CHK Anton Saragih itu sendiri berlangsung sangat tertib di bawah penjagaan ketat oleh sejumlah polisi militer. Paras Agus yang bersih tampak tetap tenang mendengarkan tuntutan oditur. Pria bertubuh langsing ini juga lantang menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh hakim. Dalam dakwaannya, oditur militer yang terdiri dari Mayor Laut P. Simorangkir, Mayor Angkatan Udara Bambang Ariwibowo, dan Mayor Zulkifli, menyebutkan bahwa Agus tertangkap basah membawa satu kantong kecil berisi ganja dan satu plastik kecil shabu-shabu yang disimpan dalam kotak korek api. Karena memiliki, memegang, dan menyimpan barang psikotropika itulah, menurut oditur, Agus melanggar Pasal 62 Undang-Undang No. 5/1997 tentang Psikotropika. Adapun yang memberatkan, menurut oditur, terdakwa memilih menutup mulut walau sebenarnya mengetahui adanya tas hitam milik Donny Hendrian, rekan terdakwa, yang berisi 1,7 kilogram shabu-shabu, 6.800 pil ekstasi, 1 timbangan emas, serta alat penghisap shabu-shabu (bong). Padahal, selaku aparat militer, Agus seharusnya memberitahukan perihal isi tas tersebut dan bukan sebaliknya. Atas sikap ini, Agus dituduh melanggar Pasal 78 ayat 1A Undang-Undang No. 27/ 1997 tentang Psikotropika, serta Pasal 55 ayat 1 Undang-Undang No. 27/1997 dan Pasal 78 ayat 1B Undang-Undang No. 27/1997. Jika dua dakwaan tersebut terbukti, Agus bisa terkena ancaman hukuman penjara maksimal lima tahun dan denda Rp 100 juta. Begitu mendengar semua tuduhan tersebut, Agus pun menyatakan hendak berkonsultasi dulu dengan tim penasihat hukumnya, yang terdiri dari Kolonel Setiawan, Letnan Kolonel M. Sinuraya, dan Kapten M. Sirait. Sidang yang hanya berlangsung satu jam lebih itu kemudian ditunda sampai 14 April mendatang. Pada sidang kedua nanti, Agus akan mengajukan eksepsi secara tertulis. Sidang juga masih harus mendengarkan keterangan delapan orang saksi. Sementara itu, seusai sidang, penasihat hukum Agus mempertanyakan keabsahan para pejabat peradilan tersebut untuk memeriksa kliennya. ''Sejauh ini kami sebagai penasihat hukum belum menerima berkas mengenai siapa yang mengadili," kata Setiawan kepada Tempo Interaktif seusai sidang. Walhasil, jalan masih panjang untuk menentukan apakah Agus bersalah atau tidak. Persidangan awal ini baru sekadar pintu masuk untuk membuktikan dua hal: apakah lembaga peradilan di Indonesia masih bisa dipercaya dan benarkah TNI memang berniat memperlakukan semua orang sama di muka hukum. Wicaksono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus