Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Film arahan Lee Myung-se yang berkisah tentang pertarungan antarsindikat jaringan obat terlarang di Korea Selatan pada akhir 1980-an yang dirajut dalam alur cerita yang rumit itu berhasil meraih penghargaan pada kategori film kompetisi, dalam Festival Film Asia Deauville (FFAD), pertengahan Maret silam. Film keempat karya pria kelahiran Seoul, Korea Selatan, 43 tahun lalu inisetelah Gagman (1988), My Wife, My Lover (1990), dan Bitter and Sweet (1995)sebelumnya telah meraup sukses besar di negaranya dan juga dalam Sundance Film Festival 2000 di Amerika Serikat.
Selain itu, dalam festival yang diselenggarakan di kota yang terletak sekitar 250 kilometer di bagian utara Paris ini, Lee juga memboyong penghargaan lain, yakni sebagai sutradara terbaik, film terbaik, dan seleksi terbaik dari publik. Sementara itu, penghargaan aktor dan aktris terbaik jatuh pada Park Joong-hoon dari Korea Selatan (Nowhere to Hide) dan Jacqueline Peng, aktris Cina yang bermain dalam The Mistress.
Festival Film Asia di Deauville ini memang tidak sepopuler dan segemerlap Festival Film Cannes. Festival yang diadakan Asosiasi untuk Promosi Film-Film dari Negara Asia ini pun baru berlangsung dua kali. Namun, ternyata perhatian dari penikmat dan pengamat film Eropa di luar dugaan. Dibandingkan dengan setahun silam, jumlah pengunjung festival ini bertambah hingga tiga kali lipat, yakni mencapai 25 ribu penonton. Setiap Mei, sejak 1975, di kota ini juga diselenggarakan Festival Film Amerika.
Namun, FFAD bukanlah satu-satunya festival yang memutar film-film dari Asia. Sebelumnya telah diadakan festival lain, seperti festival internasional Asiatique de Vesoul dan Cinéasia di Montpellier, yang rutin diadakan setiap tahun. Meski baru berusia dua tahun, ia menjadi sebuah tempat pertemuan para sineas Asia di Prancis. Setidaknya, festival ini berguna sebagai lahan untuk melakukan promosi.
Menurut presiden festival ini, Alain Patel, festival diselenggarakan tak lain untuk mengembangkan dan mendorong perfilman di Asia Tenggara. "Festival Film Asia Deauville diselenggarakan guna menunjang hubungan persahabatan dan promosi film-film Asia di Eropa, khususnya di Prancis," kata Patel. Tahun ini, festival diikuti 17 film dari enam negara Asia, yaitu Cina, Korea Selatan, Taiwan, India, Jepang, dan Thailand.
Untuk kategori film festival, tahun ini hanya diikuti delapan film, yakni Les Yeux Noirs (Cheng Guoxing, Cina), The Mistress (Cristal Kwok, Cina), An Affair (Ej Yong, Korea), Nowhere to Hide (Lee Myung-se, Korea Selatan) Godmother (Vinay Shukla, India), Hakushi the Innocent (Macoto Tezka, Jepang), Cop Abula (Khan Lee, Taiwan), dan 6ixtynin9 (Pen-ek Ratanaruang, Thailand). Selain itu, festival ini memutar enam film nonkompetisi dan tiga buah film klasik.
Tahun lalu, Indonesia menyertakan Daun di Atas Bantal karya Garin Nugroho dan Kuldesak karya Nan T. Achnas, Rizal Manthovani, Mira Lesmana, dan Riri Reza dalam festival ini. Tapi, kedua film itu dinilai jauh dari kategori kompetisi film. Ini agak mengejutkan dan berbeda jauh dari apresiasi yang diperoleh dalam Festival Film Cannes, yang bergengsi. Film Daun di Atas Bantal, misalnya, sempat masuk dalam deretan 28 film yang dipilih panitia untuk sesi sorotan khusus.
Lalu, ke manakah film Indonesia tahun ini? "Dua film Indonesia ikut dalam prakompetisi, tapi terlalu banyak kelemahan," ujar Patel. Sayang, dia tidak menyebut dua buah film yang dimaksud. Menurut Garin Nugroho, mengikuti sebuah festival kelas FFAD sekalipun bukanlah soal mudah. Setiap film yang ikut serta setidaknya harus memiliki kopi film yang berisi teks Inggris dan juga sarana penunjang lain, merchandise misalnya.
Nah, dalam keadaan situasi moneter yang meradang seperti saat ini,jangankan ikut festival, membuat film saja bukan soal mudah. "Tanpa dana yang kuat, rasanya berat, deh, bikin film unggulan," kata Mira Lesmana, yang tahun lalu hadir di Deauville.
Perkara krisis moneter juga yang membuat sumber daya manusia ikut susut. "Dengan jumlah produksi yang hanya 7 hingga 10 film, produksi film kita memang paling minim dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya," Mira menambahkan.
Tanpa perlu berpanjang-panjang kata, begitulah nasib film Indonesia.
Irfan Budiman (Jakarta), Hélène Feillard (Deauville), Gunawan Antara (Paris)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo