Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Dari korupsi ke sengketa mahkota

Dirut pt mahkota real estate, widodo sukarno, balik menggugat pt taspen. ia merasa dirugikan & dicemarkan oleh pt taspen yang mengambil alih secara paksa pengelolaan arthaloka. (hk)

26 Oktober 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIREKTUR Utama PT Mahkota Real Estate, Drs. Widodo Sukarno, yang dituduh memanipulasikan uang negara hasil pengelolaan Gedung Arthaloka sebanyak Rp 10 milyar, akhirnya menangkis serangan itu. Melalui kuasanya, Talas Sianturi, Kamis pekan lalu ia menggugat PT Taspen (Tabungan Asuransi Pensiun), pemilik gedung, yang sekarang mengambil alih pengelolaan Arthaloka. Tidak tanggung-tanggung Talas menggugat: menuntut perusahaan itu membayar Rp 40 milyar lebih, untuk ganti rugi akibat pengambilalihan gedung itu beserta isinya dan tercemarnya nama baik kliennya. Sengketa Gedung Arthaloka yang berlangsung selama dua tahun ini, antara pemiliknya, PT Taspen, dan Mahkota, sebagai pengelola, memuncak menjadi pengambilalihan gedung, 23 September lalu. Hari itu, berbekal sebuah surat keputusan Menteri Keuangan, Tim Manajemen Arthaloka dengan ketua Johan Barus meminta Widodo menandatangani berita acara penyerahan gedung itu. Tapi Widodo, yang dikenal juga sebagai importir film, menolaknya. Di hadapan pejabat-pejabat dari berbagai instansi, dan juga petugas dari kepolisian, Widodo bahkan tidak bersedia menandatangani pernyataan keberatan menyerahkan gedung itu. Pihak Taspen mengaku terpaksa mengambil alih gedung itu karena merasa dirugikan oleh Mahkota. Sejak gedung berlantai 19 di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, itu dioperasikan, 1976, katanya, pengelola tidak pernah melaporkan situasi keuangan. Padahal, keuntungan bersih dari gedung itu, yang disewa oleh: 44 perusahaan, diperkirakan - sampai 1984 Rp 10 milyar. "Sudah berulang kali kami meminta pertanggungjawaban mereka, tapi tidak ditanggapi," ujar Direktur Utama Taspen, R.S. Rahardjo. Karena itu, sengketa Arthaloka tidak terelakkan lagi. Opstib, yang mengusut kasus manipulasi itu, melimpahkan perkara ke kejaksaan sejak akhir 1982. Widodo Sukarno, yang sudah diusut Opstib dan kejaksaan dan kini terpaksa menyerahkan gedung itu, akhirnya membalas juga. Ia menganggap pengambilalihan gedung itu oleh Taspen mengingkari perjanjian-perjanjian sebelumnya. Selain membantah tuduhan-tuduhan pihak Taspen, ia sebaliknya merasa dirugikan akibat tindakan sepihak dari bekas partnernya itu. Menurut gugatan Widodo, sesuai dengan perjanjian 1972, Arthaloka dibangun di atas tanah miliknya dengan biaya pembangunan dari Taspen. Hak atas gedung dan tanah disepakati menjadi milik Taspen sementara hak pengelolaan pada Mahkota. Akan tetapi, dari biaya Rp 6,252 milyar yang dikeluarkannya untuk membangun gedung itu, pihak Taspen hanya menyetor Rp 3,883 milyar. Akibatnya, setelah gedung selesai, 1976, ia masih mempunyai tagihan Rp 2,3 milyar. Tagihan itu, menurut penggugat, pada 1982 disepakati menjadi Rp 1 milyar saja dan akan dikompensasikan dengan kewajiban Mahkota. Sejak saat itu pula pihak pengelola, yang semula hanya mendapat 5% dari hasil bersih, diberi wewenang memborong pengelolaan gedung itu dengan kewajiban membayar Rp 500 juta setahun. Dalam perjanjian baru itu pula, menurut penggugat, disepakati bahwa kedua pihak tidak lagi saling menuntut mengenai biaya pembangunan dan hasil pengelolaan sampai 1981. Sesuai dengan perjanjian itu, kata penggugat, pihaknya telah menyetorkan uang hasil pengelolaan sebesar Rp 500 juta setahun, sampai 1985. Kata penggugat, dalam jangka waktu itu, mereka telah menyetor Rp 2 milyar ke Taspen berupa tagihan - yang dikompensasikan dengan setoran sebesar Rp 1 milyar - dan uang kontan Rp 1 milyar. Berdasarkan itu pula penggugat menganggap Taspen ingkar janji dengan tindakan pengambilalihan gedung itu. Widodo merasa dirugikan berupa kehilangan hak atas pengelolaan gedung itu serta kehilangan tenaga kerja yang sudah terlatih dan peralatan gedung. Ia merasa dicemarkan nama baiknya dengan pengambilalihan itu dan tuduhan-tuduhan tentang korupsi Rp 10 milyar terhadapnya. Ketua Tim Manajemen Arthaloka, Johan Barus, menertawakan gugatan itu. "Berdasarkan data-data yang ada, gugatan itu tidak benar sama sekali," ujar Johan Barus. Ia, misalnya, membantah ada perjanjian yang dibuat pada 1982 yang mengubah perjanjian 1972. Katanya, sesuai dengan perjanjian 1972 itu, pihak Widodo diwajibkan menyetorkan semua hasil pengelolaan gedung dan hanya mendapatkan uang jasa atas pengelolaan sebanyak 5% dari hasil bersih. Perjanjian itulah yang tidak diindahkan oleh pihak Widodo. "Mereka mengelola gedung itu terus-menerus, tapi tidak pernah memberikan laporan tahunannya. Tentu saja negara dirugikan," ujar Johan. Ia tetap menganggap sah pengambilalihan itu karena berdasarkan perintah Menteri Keuangan dan hasil pemeriksaan BPKP serta Kejaksaan Agung. Sementara itu, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, Bob Nasution, yang menerima perkara pidana Widodo Sukarno dari Opstib, menegaskan bahwa perkara itu tetap akan diajukan ke pengadilan. "Dalam waktu dekat ini perkara itu akan kami serahkan ke pengadilan," ujar Bob. Terlambatnya perkara pidana itu ke pengadilan, menurut Bob, karena pihaknya masih mengumpulkan bukti-bukti atas tuduhan korupsi uang negara sebanyak Rp 10 milyar itu. "Tapi, percayalah, kasus itu akan kami sidangkan," katanya. Karni Ilyas Laporan Didi Prambadi dan Happy S. (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus