TIBA-tiba berita "perbudakan" tenaga Indonesia di AS kini muncul kembali. Padahal, sudah banyak yang lupa pada peristiwa yang terjadi awal tahun 1982 itu. Ketika itu FBI (Badan Penyelidik Federal AS) mengadakan razia terhadap para imigran gelap di Los Angeles, AS. Siapa nyana ternyata mereka menjaring pula 26 tenaga kerja Indonesia yang diperlakukan tidak semena-mena oleh majikannya. Pernyataan pejabat FBI bahwa telah terjadi kasus perbudakan (slavery) segera mendapat tempat utama di media massa, termasuk di Indonesia. Tak heran jika banyak pejabat Indonesia turut berkomentar (TEMPO, 13 Februari 1982, Nasional). Pemberitaan yang berlebihan ini memang sempat membuat keluarga para tenaga kerja merasa khawatir. Padahal, kini, menurut sebuah sumber yang mengetahui di Los Angeles, "Para tenaga kerja rata-rata memiliki mobil dan mendapatkan peningkatan taraf hidup." Gajinya pun bisa membuat banyak orang di Indonesia merasa iri. Sekitar 600 hingga 1.000 dolar AS sebulan. Semua ini dimungkinkan karena para tenaga kerja Indonesia itu diberi izin kerja oleh pemerintah AS. Sesuatu yang sebenarnya sulit diperoleh warga asing di negeri itu. Hanya saja kehadiran mereka - yang ternyata jumlahnya mencapai sekitar 60 orang - dibutuhkan oleh pengadilan. Alhasil, daripada harus memberi makan mereka di dalam tahanan, pemerintah AS menganggap lebih baik melepaskan mereka dan memberikan izin kerja. Ini, agaknya, membuat semua pihak bergembira. Barangkali tidak semua. Paling tidak 10 orang majikan yang sedang dihadapkan ke pengadilan. FBI menuduh mereka melakukan tiga macam pelanggaran hukum: Memasukkan orang asing secara tidak sah, mempekerjakan orang tanpa izin, dan melanggar undang-undang perburuhan setempat. Enam orang majikan sudah mengaku salah, yaitu Jack Sasoon, Hilda Sasoon, Moses Aslan, Lily Juda, Tuan dan Nyonya Green. Belum jelas hukuman apa yang akan ditimpakan pada mereka selain harus membayar gaji para pembantunya dengan bayaran minimum sesuai dengan UU perburuhan setempat. Artinya, sekitar US$ 3,50 setiap jam. Tak heran jika sekitar 16 bekas pembantu mereka akan mendapatkan "rapel" 2.000 hingga 5.000 dolar AS, tergantung masa kerjanya. Yang jadi masalah ramai sekarang adalah kasus Nasjm Mussry, 57, dan adiknya Elsa Singman, 54. Kedua orang ini tidak merasa bersalah dan berniat membuktikannya di pengadilan federal. Pihak kejaksaan telah mengajukan Kartini, 30, sebagai saksi. Wanita asal Bali ini mengaku dipekerjakan tanpa gaji selama tiga bulan sebelum ia lari. "Soalnya, saya harus kerja 15 jam sehari tanpa makan yang memadai hingga harus mencuri makan," katanya kepada hakim, pertengahan bulan lalu. Kartini bekerja di rumah nenek Toba Mussry, ibunda Elsa dan Nasim. Tak jelas benar mengapa para majikan ini enggan membayar gaji. Padahal, mereka - hampir semua keturunan Yahudi asal Surabaya - terbilang kaya. Rumahnya pun di daerah Beverly Hills, tempat para bintang film Hollywood bermukim. Elsa Singman, menurut penuturan Kartini di pengadilan, pernah mengatakan padanya bahwa ia telah mengeluarkan 2.000 dolar untuk membeli Kartini. Karena itu, jika Kartini ingin bebas harus membayar sejumlah itu juga. Pihak berwajib masih mencari dua majikan lagi: David Mussry dan Mordechai Sasoon. David diduga berada di Jakarta, sementara Mordechai diduga berada di Singapura. Amerika kebetulan tak punya perjanjian ekstradisi dengan Indonesia. Karena itu David bisa aman-aman saja di Indonesia. Para tenaga kerja Indonesia juga merasa senang saja di AS. Hanya mereka ingin menjenguk sanak saudaranya di tanah air. Maklum, ada yang sudah lebih dari lima tahun di sana dan tak bisa pulang sebelum perkara mereka selesai. Yang merasa beruntung dengan kehadiran mereka adalah pihak Konsulat Jenderal RI di Los Angeles. "Soalnya, mereka rajin mengisi acara kesenian setiap minggu," kata seorang petugas. Konon, kebanyakan tenaga kerja ini ingin tetap bekerja di sana. Persoalannya apakah mereka akan tetap mendapat izin kerja jika perkara mereka telah tuntas. Bambang Harymurti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini