KANTOR LBH Solo, bulan depan, mungkin tinggal nama. Sebab, pemilik kantor yang juga ketua LBH itu, Soemarno P. Wirjanto, segera harus menjalani hukuman: membayar ganti rugi Rp 150 juta lebih kepada lawannya berperkara, Bandi Soetono. Soemarno, yang mendapat panggilan Pengadilan Negeri Solo untuk melaksanakan keputusan Mahkamah Agung itu awal bulan ini, masih berupaya agar eksekusi ditangguhkan. "Jika segala upaya itu gagal, mungkin kantor LBH - yang juga rumah saya - akan dilelang," ujarnya. Musibah yang menimpa pengacara terkenal itu bermula dari sengketa tanah warisan Nyonya Sontohartono - yang kemudian dikenal dengan Kasus Sontohartanan. Warisan berupa tanah seluas 1.753 m2 di Jalan Achmad Dahlan, Solo, telah dihibahkan Almarhumah kepada Muhammadiyah, sebelum ia wafat, 1963. Di atas tanah itu, sejak 1910, memang telah berdiri berbagai bangunan milik Muhammadiyah, di antaranya sekolah, masjid, dan asrama perawat. Pada 1967, Soemarno sebagai ketua ahli waris - ia adalah salah seorang keponakan Almarhumah - mendapat tawaran yang menarik dari Haji Muhtarom, seorang anak angkat Nyonya Sontohartono: Bandi Soetono berniat membeli tanah itu dengan harga Rp 800 ribu, dan setelah jual beli, tanah itu akan disumbangkan kembali kepada Muhammadiyah. Agak aneh, ya? Soemarno setuju. Pada 19 September 1967, jual beli itu terlaksana di depan notaris, dengan perantaraan Muhtarom. Sebagian besar dari uang itu, Rp 600 ribu, menurut Soemarno, diserahkan kepada ahli waris yang membutuhkan, sedangkan sisanya disumbangkan ke Aisyiah (organisasi wanita Muhammadiyah). "Saya sendiri tidak menerima sepeser pun," ujar Soemarno, yang pernah menjadi hakim itu. Buntutnya tidak enak: Belakangan Bandi menuntut tanah itu menjadi miliknya. Ketegangan sempat terjadi antara Bandi dan Muhammadiyah. Jalan damai yang ditawarkan Muhammadiyah, yaitu berupa pengembalian uang ditambah ganti rugi Rp 200.000, ditolak oleh Bandi. "Saya sudah susah payah mengumpulkan uang untuk membeli tanah itu," alasan Bandi, yang konon berniat menjual tanah itu kepada seorang pengusaha. Bandi pun memperkarakan Soemarno. Ia menuntut pidana dalam perkara penggelapan, dan menggugat ganti rugi. Anehnya, ia tidak menggugat Muhammadiyah yang menguasai tempat itu. "Saya bukan ahli hukum, karena itu pikiran saya sederhana saja. Mengapa saya sudah membeli barang tapi tidak bisa memiliki barang itu," ujar Bandi, yang kini menjadi lurah di daerah Klaten. Keputusan Pengadilan Negeri Solo, 1981, memenangkan Bandi. Tanah beserta gedung yang disengketakan, menurut hakim, sah milik Bandi. Selain itu, Soemarno dihukum membayar ganti rugi Rp 50 juta. Pengadilan tinggi memperkuat putusan itu dengan sedikit perubahan pada ganti rugi - hanya Rp 750.000 setiap tahun, terhitung sejak 1968. Mahkamah Agung, 1983, mengubah keputusan peradilan bawahannya. Menurut peradilan tertinggi itu, jual beli antara pihak Soemarno dan pihak Bandi batal sehingga tanah dan gedung tetap milik Muhammadiyah. Tapi akibat itu, Soemarno harus mengembalikan uang harga tanah itu sebesar Rp 800.000, beserta kerugian Bandi Rp 150 juta. Saat ini, tanah dan gedung sengketa yang terletak di pusat kota itu ditaksir berharga Rp 300 juta. Vonis Mahkamah Agung itulah yang membuat Soemarno gusar. Apalagi, sejak awal bulan ini, ia sudah didesak oleh pengadilan untuk melaksanakan keputusan itu. "Putusan itu tidak adil," ujar Soemarno. Sebab itu, ia mengirimkan surat pengaduan ke Presiden dan Ketua Mahkamah Agung mohon agar keputusan peradilan tertinggi itu ditinjau kembali. Ketua Pengadilan Negeri Solo, Setyo Harsoyo, bertekad akan melaksanakan keputusan itu dalam waktu dekat ini. "Kalau tidak ada perintah penangguhan dari atasan, putusan itu tentu harus dilaksanakan," ujar Setyo Harsoyo. Hakim itu mengingatkan bahwa pengadilan tidak mengadili profesi Soemarno dan juga LBH dalam perkara Sontohartanan itu. "Perkara itu hanya menyangkut Soemarno pribadi, sebagai ketua ahli waris Sontohartanan. Jadi, tidak ada niat kami untuk melelang LBH. Hanya saja, Soemarno harus membayar ganti rugi sesuai dengan vonis itu," kata Setyo. KI Laporan Kastoyo Ramelan (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini