Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUARA di telepon itu terdengar tenang. Muhammad Assegaf, mantan kuasa hukum Sudjiono Timan, ingat benar saat pada suatu pagi akhir 2004 dia menelepon kliennya itu. Tak ada tanda-tanda kepanikan dalam suaranya. Padahal pekan-pekan itu kasus kasasinya tengah disidangkan di Mahkamah Agung. "Seperti biasa, dia hemat bicara," kata Assegaf kepada Tempo pekan lalu. Di mata Assegaf, Sudjiono adalah sosok pendiam.
Pagi itu dia berbicara perihal fee-nya sebagai pengacara yang belum dibayar Sudjiono. Kepada Assegaf, bekas Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia itu berjanji akan membereskan secepatnya melalui sekretarisnya.
Pendiam dan hemat bicara tak berarti Sudjiono minim teman. Jaringan pertemanannya terhitung luas. Assegaf menduga berkat "jaringan"-nya itu pula Sudjiono lebih cepat mengetahui putusan majelis hakim kasasi yang menghukumnya 15 tahun ketimbang dirinya sebagai pengacaranya.
Saat itu, begitu mendapat berita dari Mahkamah perihal ditolaknya kasasi kliennya, bersama sejumlah pengacara dari kantor pengacara Amir Syamsuddin—kini Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia—yang juga menjadi pembela Sudjiono, Assegaf berniat menemui Sudjiono. Tapi sang klien sudah menghilang. "Dia sudah mendapat bocoran duluan. Sejak itu, saya hilang kontak," ujar Assegaf. Fee yang dijanjikan Sudjiono kini tinggal kenangan.
Dilahirkan di Jakarta, 9 Mei 1959, Yujin—demikian panggilan akrab Sudjiono—tak hanya dikenal di kalangan pengusaha, tapi juga di dunia tenis. Ia memang menggemari olahraga ini sejak belia. Pada 1970-an, ia bahkan masuk jajaran atlet tenis junior. "Dia sosok yang serius," kata bekas atlet tenis nasional yang kini menjadi Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi Atlet Senior Pengurus Pusat Persatuan Tenis Seluruh Indonesia (PP Pelti), Donald Wailan-Walalangi.
Sudjiono tak meneruskan kariernya sebagai atlet tenis. Ia pergi ke Amerika Serikat, kuliah di Universitas Yale setelah beberapa bulan bermukim di Filipina. Pada 1980, ia kembali ke Tanah Air. Tenis rupanya tak hilang benar dari dunianya. Dia kerap bermain olahraga kesukaannya tersebut di lapangan tenis Hotel Hilton—kini Hotel Sultan—di kawasan Semanggi, Jakarta Selatan.
Di lapangan tenis Hilton ini pula ia kerap bersua dan berdiskusi dengan para pengusaha yang juga bermain tenis di sana. Dia juga kerap ikut turnamen yang diadakan di sana. "Usia tak lagi muda, tapi kalau ada pertandingan dia selalu getol ikut," ujar Donald. Hobi bermain tenis ini juga yang kemudian mengantarnya menjadi pengurus Pelti. Saat organisasi ini dipimpin Tanri Abeng (1999-2002), Sudjiono menduduki jabatan ketua bidang pembinaan dan prestasi atlet.
Di kalangan pengusaha, Sudjiono, yang berprofesi sebagai pengusaha jasa keuangan, dikenal sebagai pengusaha yang ringan tangan. Kendati pendiam, dia terhitung supel dalam pergaulan. "Dia banyak menolong pengusaha yang kesulitan menjalankan bisnisnya," ucap Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi kepada Tempo. Salah satu sobat Sudjiono, kata Sofjan, adalah Arifin Panigoro, bos Medco Group.
Nama Sudjiono yang populer di kalangan pengusaha membuat Menteri Keuangan Ali Wardhana kepincut. Ali menilai Sudjiono cocok untuk membenahi PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia, yang saat itu kinerjanya buruk. Pada 1993, ia pun ditunjuk sebagai Direktur Utama PT Bahana.
Sempat memoncerkan nama PT Bahana, belakangan Sudjiono "melencengkan" tujuan perusahaan ini. Kejaksaan menuduh, sebagai direktur, Sudjiono telah meminjamkan dana PT Bahana ke perusahaan-perusahaan besar tanpa perjanjian dan agunan jelas. Dana itu kemudian tak bisa dikembalikan dan membuat duit negara Rp 2,2 triliun amblas.
Kendati upaya hukum peninjauan kembali Sudjiono dikabulkan Mahkamah Agung pada Juli lalu, sejumlah pengusaha yang mengenalnya tak yakin ia bakal langsung balik ke Indonesia. Menurut sejumlah pengusaha sumber Tempo ini, Sudjiono sudah mengantongi kewarganegaraan Singapura. Dari negeri singa itulah ia diduga selama ini mengendalikan bisnisnya di Jakarta.
Aryani Kristanti
Kemenangan dari Pelarian
Berstatus buruan Interpol, Sudjiono Timan mengajukan permohonan peninjauan kembali melalui istrinya. Mahkamah Agung mengabulkan permohonan itu dan publik pun menyorot tajam putusan kontroversial tersebut.
1993
1993
Sudjiono "Yujin" Timan menjabat Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI). Dia memegang jabatan tersebut hingga 2001.
1996-2001
1996-2001
2001
Kejaksaan Agung menetapkan Sudjiono sebagai tersangka. Sudjiono ditahan sejak 11 Juni sampai 23 Desember 2001. Lalu, sampai 29 April 2002, Sudjiono berstatus tahanan kota.
Di pengadilan, jaksa mendakwa Sudjiono merugikan negara Rp 2,2 triliun dan menuntutnya dihukum delapan tahun penjara, membayar denda Rp 30 juta, dan mengganti kerugian Rp 1 triliun.
2002
25 November 2002
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membebaskan Sudjiono dari segala tuntutan hukum. Hakim menganggap perbuatan Sudjiono bukan pidana, melainkan perdata.
Majelis hakim: I Gede Putra Djadnya (Ketua), Abdul Kadir, dan Syamsu Ali.
2004
3 Desember 2004
Majelis hakim kasasi Mahkamah Agung memvonis Sudjiono 15 tahun penjara. Dia juga diharuskan membayar denda Rp 50 juta dan mengganti kerugian negara Rp 369 miliar.
Majelis hakim: Bagir Manan (Ketua), Artidjo Alkostar, Parman Suparman, Arbijoto, dan Iskandar Kamil.
7 Desember
Jaksa gagal mengeksekusi Sudjiono, yang raib dari rumahnya. Sudjiono pun menjadi buron Interpol.
2012
17 April 2012
Sudjiono melalui istrinya mengajukan permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.
2013
31 Juli 2013
Majelis hakim pimpinan Suhadi mengabulkan permohonan peninjauan kembali Sudjiono Timan. Dari lima hakim, hanya satu yang menolak, yakni Sri Murwahyuni.
Para hakim pembebas Sudjiono
1) Suhadi (ketua)
Kelahiran: Sumbawa Besar, 19 September 1953
Karier: Hakim tinggi Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan panitera Mahkamah Agung
Kekayaan: Rp 2,13 miliar (2009)
2) Andi Samsan Nganro
Kelahiran: Sengkang, 2 Januari 1953
Karier: Hakim tinggi Pengadilan Tinggi DKI Jakarta
Kekayaan: Rp 1,15 miliar (2009)
3) Sofian Martabaya
Karier: Mantan pengacara dan akademikus. Menjadi hakim agung ad hoc yang diseleksi Mahkamah Agung pada 2006.
Rekam jejak: Memvonis bebas mantan Dirjen Administrasi Hukum Umum Zulkarnain Yunus dalam kasus Sistem Administrasi Badan Hukum.
4) Abdul Latief
Karier: Guru besar Universitas Muslim Indonesia, Makassar. Menjadi hakim agung ad hoc yang diseleksi Mahkamah Agung pada 2010.
Yang menolak PK Sudjiono
Sri Murwahyuni
Kelahiran: Madiun, 26 Februari 1953
Karier: Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur
Kekayaan: Rp 2,01 miliar (2008)
Kejanggalan putusan PK:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo