Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Dari Tenis Meluncur ke Bahana

SUARA di telepon itu terdengar tenang. Muhammad Assegaf, mantan kuasa hukum Sudjiono Timan, ingat benar saat pada suatu pagi akhir 2004 dia menelepon kliennya itu. Tak ada tanda-tanda kepanikan dalam suaranya. Padahal pekan-pekan itu kasus kasasinya tengah disidangkan di Mahkamah Agung. "Seperti biasa, dia hemat bicara," kata Assegaf kepada Tempo pekan lalu. Di mata Assegaf, Sudjiono adalah sosok pendiam.

1 September 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUARA di telepon itu terdengar tenang. Muhammad Assegaf, mantan kuasa hukum Sudjiono Timan, ingat benar saat pada suatu pagi akhir 2004 dia menelepon kliennya itu. Tak ada tanda-tanda kepanikan dalam suaranya. Padahal pekan-pekan itu kasus kasasinya tengah disidangkan di Mahkamah Agung. "Seperti biasa, dia hemat bicara," kata Assegaf kepada Tempo pekan lalu. Di mata Assegaf, Sudjiono adalah sosok pendiam.

Pagi itu dia berbicara perihal fee-nya sebagai pengacara yang belum dibayar Sudjiono. Kepada Assegaf, bekas Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia itu berjanji akan membereskan secepatnya melalui sekretarisnya.

Pendiam dan hemat bicara tak berarti Sudjiono minim teman. Jaringan pertemanannya terhitung luas. Assegaf menduga berkat "jaringan"-nya itu pula Sudjiono lebih cepat mengetahui putusan majelis hakim kasasi yang menghukumnya 15 tahun ketimbang dirinya sebagai pengacaranya.

Saat itu, begitu mendapat berita dari Mahkamah perihal ditolaknya kasasi kliennya, bersama sejumlah pengacara dari kantor pengacara Amir Syamsuddin—kini Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia—yang juga menjadi pembela Sudjiono, Assegaf berniat menemui Sudjiono. Tapi sang klien sudah menghilang. "Dia sudah mendapat bocoran duluan. Sejak itu, saya hilang kontak," ujar Assegaf. Fee yang dijanjikan Sudjiono kini tinggal kenangan.

Dilahirkan di Jakarta, 9 Mei 1959, Yujin—demikian panggilan akrab Sudjiono—tak hanya dikenal di kalangan pengusaha, tapi juga di dunia tenis. Ia memang menggemari olahraga ini sejak belia. Pada 1970-an, ia bahkan masuk jajaran atlet tenis junior. "Dia sosok yang serius," kata bekas atlet tenis nasional yang kini menjadi Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi Atlet Senior Pengurus Pusat Persatuan Tenis Seluruh Indonesia (PP Pelti), Donald Wailan-Walalangi.

Sudjiono tak meneruskan kariernya sebagai atlet tenis. Ia pergi ke Amerika Serikat, kuliah di Universitas Yale setelah beberapa bulan bermukim di Filipina. Pada 1980, ia kembali ke Tanah Air. Tenis rupanya tak hilang benar dari dunianya. Dia kerap bermain olahraga kesukaannya tersebut di lapangan tenis Hotel Hilton—kini Hotel Sultan—di kawasan Semanggi, Jakarta Selatan.

Di lapangan tenis Hilton ini pula ia kerap bersua dan berdiskusi dengan para pengusaha yang juga bermain tenis di sana. Dia juga kerap ikut turnamen yang diadakan di sana. "Usia tak lagi muda, tapi kalau ada pertandingan dia selalu getol ikut," ujar Donald. Hobi bermain tenis ini juga yang kemudian mengantarnya menjadi pengurus Pelti. Saat organisasi ini dipimpin Tanri Abeng (1999-2002), Sudjiono menduduki jabatan ketua bidang pembinaan dan prestasi atlet.

Di kalangan pengusaha, Sudjiono, yang berprofesi sebagai pengusaha jasa keuangan, dikenal sebagai pengusaha yang ringan tangan. Kendati pendiam, dia terhitung supel dalam pergaulan. "Dia banyak menolong pengusaha yang kesulitan menjalankan bisnisnya," ucap Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi kepada Tempo. Salah satu sobat Sudjiono, kata Sofjan, adalah Arifin Panigoro, bos Medco Group.

Nama Sudjiono yang populer di kalangan pengusaha membuat Menteri Keuangan Ali Wardhana kepincut. Ali menilai Sudjiono cocok untuk membenahi PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia, yang saat itu kinerjanya buruk. Pada 1993, ia pun ditunjuk sebagai Direktur Utama PT Bahana.

Sempat memoncerkan nama PT Bahana, belakangan Sudjiono "melencengkan" tujuan perusahaan ini. Kejaksaan menuduh, sebagai direktur, Sudjiono telah meminjamkan dana PT Bahana ke perusahaan-perusahaan besar tanpa perjanjian dan agunan jelas. Dana itu kemudian tak bisa dikembalikan dan membuat duit negara Rp 2,2 triliun amblas.

Kendati upaya hukum peninjauan kembali Sudjiono dikabulkan Mahkamah Agung pada Juli lalu, sejumlah pengusaha yang mengenalnya tak yakin ia bakal langsung balik ke Indonesia. Menurut sejumlah pengusaha sumber Tempo ini, Sudjiono sudah mengantongi kewarganegaraan Singapura. Dari negeri singa itulah ia diduga selama ini mengendalikan bisnisnya di Jakarta.

Aryani Kristanti


Kemenangan dari Pelarian

Berstatus buruan Interpol, Sudjiono Timan mengajukan permohonan peninjauan kembali melalui istrinya. Mahkamah Agung mengabulkan permohonan itu dan publik pun menyorot tajam putusan kontroversial tersebut.

1993

1993
Sudjiono "Yujin" Timan menjabat Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI). Dia memegang jabatan tersebut hingga 2001.

1996-2001

1996-2001

  • PT Bahana meminjamkan uang US$ 63 juta kepada PT Medco Duta milik Arifin Panigoro.
  • PT Bahana meminjamkan US$ 30 juta ke Festival Company Inc milik Prajogo Pangestu, melalui Kredit Asia Finance Ltd milik Agus Anwar, yang juga teman dekat Sudjiono.
  • PT Bahana membeli surat-surat utang Kredit Asia. Ketika jatuh tempo, sebagian promes itu tak bisa dibayar. Pemerintah merugi US$ 153,75 juta dan Rp 116,4 miliar.
  • PT Bahana meminjamkan US$ 19 juta kepada Penta Investment Ltd, perusahaan kosong di British Virgin Island. Duit dipakai Penta membeli saham Philippine Global Communication milik Sudjiono dan Roberto V. Ongpin, di Filipina.
  • PT Bahana mentransfer US$ 35 juta lewat Festival untuk membeli 65 miliar lembar saham Asian Petroleum.

    2001
    Kejaksaan Agung menetapkan Sudjiono sebagai tersangka. Sudjiono ditahan sejak 11 Juni sampai 23 Desember 2001. Lalu, sampai 29 April 2002, Sudjiono berstatus tahanan kota.
    Di pengadilan, jaksa mendakwa Sudjiono merugikan negara Rp 2,2 triliun dan menuntutnya dihukum delapan tahun penjara, membayar denda Rp 30 juta, dan mengganti kerugian Rp 1 triliun.

    2002

    25 November 2002
    Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membebaskan Sudjiono dari segala tuntutan hukum. Hakim menganggap perbuatan Sudjiono bukan pidana, melainkan perdata.
    Majelis hakim: I Gede Putra Djadnya (Ketua), Abdul Kadir, dan Syamsu Ali.

    2004

    3 Desember 2004
    Majelis hakim kasasi Mahkamah Agung memvonis Sudjiono 15 tahun penjara. Dia juga diharuskan membayar denda Rp 50 juta dan mengganti kerugian negara Rp 369 miliar.
    Majelis hakim: Bagir Manan (Ketua), Artidjo Alkostar, Parman Suparman, Arbijoto, dan Iskandar Kamil.

    7 Desember
    Jaksa gagal mengeksekusi Sudjiono, yang raib dari rumahnya. Sudjiono pun menjadi buron Interpol.

    2012

    17 April 2012
    Sudjiono melalui istrinya mengajukan permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.

    2013

    31 Juli 2013
    Majelis hakim pimpinan Suhadi mengabulkan permohonan peninjauan kembali Sudjiono Timan. Dari lima hakim, hanya satu yang menolak, yakni Sri Murwahyuni.

    Para hakim pembebas Sudjiono

    1) Suhadi (ketua)
    Kelahiran: Sumbawa Besar, 19 September 1953
    Karier: Hakim tinggi Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan panitera Mahkamah Agung
    Kekayaan: Rp 2,13 miliar (2009)

    2) Andi Samsan Nganro
    Kelahiran: Sengkang, 2 Januari 1953
    Karier: Hakim tinggi Pengadilan Tinggi DKI Jakarta
    Kekayaan: Rp 1,15 miliar (2009)

    3) Sofian Martabaya
    Karier: Mantan pengacara dan akademikus. Menjadi hakim agung ad hoc yang diseleksi Mahkamah Agung pada 2006.
    Rekam jejak: Memvonis bebas mantan Dirjen Administrasi Hukum Umum Zulkarnain Yunus dalam kasus Sistem Administrasi Badan Hukum.

    4) Abdul Latief
    Karier: Guru besar Universitas Muslim Indonesia, Makassar. Menjadi hakim agung ad hoc yang diseleksi Mahkamah Agung pada 2010.

    Yang menolak PK Sudjiono

    Sri Murwahyuni
    Kelahiran: Madiun, 26 Februari 1953
    Karier: Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur
    Kekayaan: Rp 2,01 miliar (2008)

    Kejanggalan putusan PK:

  • Permohonan peninjauan kembali diajukan ketika Sudjiono Timan buron. Padahal ada surat edaran Mahkamah Agung agar hakim tak melayani pengacara yang mewakili kepentingan terdakwa/terpidana yang buron.
  • Pemohon istri Sudjiono yang mengaku ahli waris. Identitas sang istri misterius. Hakim dan pengacara tak mau menyebutkan namanya. Banyak ahli hukum berpendapat status ahli waris timbul setelah terpidana mati.
  • Hakim peninjauan kembali membenarkan dalil pihak Sudjiono yang menyebutkan ada kesalahan dalam putusan kasasi. Hakim PK mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi yang menganulir asas perbuatan melawan hukum material. Padahal putusan MK itu keluar pada 2006, setelah kasasi Sudjiono Timan diputus pada 2004.
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus