Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Penemuan ladang ganja seluas hampir satu hektare persegi di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) menggegerkan masyarakat. Hal ini menjadi sorotan setelah muncul kabar di media sosial tentang larangan menerbangkan drone di area tersebut. Padahal, pengungkapan lahan yang ditanami tanaman terlarang itu disebut-sebut berkat bantuan penggunaan pesawat tanpa awak itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Temuan kasus itu kini disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Lumajang, Jawa Timur. Dalam persidangan, terungkap bahwa ada 59 spot penanaman ganja di kawasan konservasi tersebut, tepatnya berada di zona rimba. Jaraknya sekitar 3 hingga 5 kilometer dari Dusun Pusung Duwur. "Ada di zona rimba. Lokasinya susah untuk dijangkau," kata Yunus Tricahyono, Kepala Resort Pengelolaan Taman Nasional di Kecamatan Senduro.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga dari lima terdakwa dalam kasus ini, yang semuanya merupakan warga sekitar taman nasional. Mereka mengaku hanya bertugas menanam dan memanen tanaman itu. Sedangkan, bibit dan peralatan lain disediakan oleh pihak lain.
Lantas, darimana bibit ganja yang tumbuh di kawasan taman nasional Gunung Bromo tersebut? Simak rangkuman informasinya berikut ini.
Asal Usul Bibit Ganja di Kawasan Gunung Bromo
Berdasarkan keterangan tiga terdakwa dalam persidangan, yakni Tomo bin Sutamar, Tono bin Mistam, dan Bambang bin Narto, mereka mengaku bersedia menanam ganja di kawasan konservasi itu karena dijanjikan sejumlah uang oleh Edy, yang saat ini masih buron dan masuk daftar pencarian orang (DPO).
Ketiga terdakwa mengaku mendapatkan bibit ganja dari Edy, yang juga memberikan arahan mengenai lokasi mana saja yang ditanami ganja. Semua kebutuhan ladang, termasuk bibit dan pupuk, juga disediakan oleh Edy.
Selain itu, Edy juga mengajarkan mereka cara menanam, memberi pupuk, serta merawat tanaman ganja. "Setelah tanaman berusia empat sampai lima bulan, baru bisa dipanen," ujar Bambang di hadapan majelis hakim.
Ketiga terdakwa ini mengaku saling mengenal karena masih tetangga. Bahkan Tono adalah menantu Tomo. Mereka mengaku bersedia menanam ganja di kawasan itu karena dijanjikan sejumlah uang oleh Edy. Setiap kali turun ke lahan ganja itu, Edy menjanjikan upah Rp 150 Ribu. Sementara setelah panen, mereka dijanjikan uang Rp 4 juta per kilogram.
Dalam persidangan, saksi dari kepolisian mengungkap bahwa identitas Edy tidak ada dalam file di desa hingga kependudukan. Tetapi, diketahui bahwa Edy merupakan warga dari Desa Pusung Duwur. Keterangan soal Edy ini juga dikuatkan oleh Ngatika yang merupakan Kepala Dusun Pusung Duwur.
"Edy ini warga Dusun Pusung Duwur. Tapi memang KTP nya tidak ada," ucap Ngatika. Saat ini, keberadaan Edy tidak diketahui dan masih dalam daftar pencarian orang (DPO) atau buron.
Dalam sidang lain, terungkap bahwa Sosok Edi, yang masih kerabat Bambang, dikenal akrab oleh penduduk desa karena ia sehari-hari menjadi pengepul sayur yang dihasilkan oleh warga sekitar dan menjualnya di pasar-pasar di Lumajang dan sekitarnya.
Informasi yang diterima Tempo menyebutkan kalau Edy juga mengirim sayur hingga keluar Lumajang. "Terakhir bertemu Edi, ya lima hari sebelum penggerebekan ladang ganja itu," kata Bambang.
Kepala Sub Humas Polres Lumajang, Inspektur Dua Untoro mengatakan polisi telah mengantongi foto Edi, yang menjadi auktor intelektual dari kehadiran ladang ganja tersebut. "Kami punya foto DPO ini. Upaya pengejaran secara maksimal masih terus kami lakukan," ujar Untoro di Polres Lumajang, Rabu, 19 Maret 2025.
Ihwal permintaan publikasi atau penyebaran fotonya di media atau di tempat-tempat umum, kata Untoro, pihaknya masih konsultasikan terlebih dahulu dengan Kapolres Lumajang. "Kami masih konsultasikan dengan Pak Kapolres," kata Untoro.