KALAU saja Jeki tidak mabuk, pembunuhan terhadap Iriyanto, 19, mungkin tak akan pernah terungkap. Dalam mabuknya, Jeki menceritakan bahwa korban dibunuh atas perintah ayah kandungnya sendiri, Sakari, 69. Pekan lalu, ayah 14 anak - dari dua istri - itu pun ditangkap petugas Polda Metro Jaya. Tiga tersangka lain, termasuk Jeki, yang melakukan eksekusi terhadap korban, turut ditangkap. "Saya sudah kewalahan menghadapi dia. Nakalnya minta ampun, lagian dia morfinis dan suka jualan pil BK. Bayangin, sudah dua kali saya mau dia bunuh," ujar ayah korban. Tingkat kecanduan korban, anak ketujuh sudah sedemikian rupa sehingga bila tak mendapat morfin, ia menyilet lengannya sendiri. Yanto dibunuh pada 15 Mei, atau hampir lima bulan lampau. Malam itu ia dijemput dari rumah orangtuanya di Cisalak oleh Maman, 22, yang bekerja sebagai pengemudi dan orang kepercayaan ayah korban. Dalam kendaraan yang disiapkan, sudah duduk Koko, 26, bekas anggota ABRI, serta Jeki. Ketiganya, yang mengaku disuruh menghabisi korban dengan imbalan Rp 550 ribu sudah pula menyiapkan tambang dan pisau. Korban dibujuk seolah mau diajak jalan-jalan. Di tengah jalan, Jeki secara tiba-tiba melingkarkan tambang ke leher Yanto. Koko memukul dan menusuk leher serta dada korban. Setelah diikat, mayat korban dilempar ke sungai di Cibinong, Bogor. Selama beberapa bulan, soal hilangnya Yanto tak ada yang meributkan. Pihak keluarga pun tak ada yang melapor ke polisi. Tapi, seperti dikatakan Kepala Ditserse Polda Metro Jaya. Letkol S. Tarigan, "Mata dan telinga polisi ada di mana-mana." Suatu ketika, ada petugas yang tahu bahwa Jeki mengoceh ikut membunuh Yanto, saat ia sedang mabuk karena minuman keras. Lain kali, Jeki ditraktir minum, dan saat mabuk, mulutnya "dikuras". Setelah diselidiki, pengakuannya itu ternyata benar. Kedua rekannya serta ayah korban pun ditangkap. Maman mau dimintai tolong oleh ayah korban karena merasa berutang budi, yaitu diberi pekerjaan. Selain itu, karena ia tahu sendiri majikannya sering dibuat susah oleh korban. Adanya jaminan di atas kertas segel bahwa bila ada apa-apa ayah korbanlah yang akan bertanggung jawab, katanya, membuat ia tidak ragu ikut menghabisi Yanto. Koko dan Jeki juga mengaku mau terlibat, setelah Maman memperlihatkan kertas segel itu. Sayang, kata Maman, surat berharga itu kini entah ada di mana. "Tadinya saya taruh dalam mobil, tapi mobil itu sekarang sudah dijual," kata Maman. Ia mengaku mendapat bagian Rp 150 ribu. Sedangkan Koko kebagian Rp 250 ribu dan Jeki Rp 150 ribu. Oleh Maman, uang itu diberikan kepada istrinya. Koko menggunakan untuk membayar kontrak rumah, dan Jeki untuk membeli sepeda motor bekas. Seorang kakak korban menyatakan bahwa perangai Yanto memang berbeda dengan saudara-saudaranya. "Ia sudah dua kali dimasukkan ke Pamardi Siwi karena kecanduan morfin. Ia juga pernah ditahan gara-gara mabuk dan menganiaya orang," tuturnya. Sekali waktu, sang ayah membelikan sebuah mobil untuk diomprengkan. Maksudnya agar Yanto mempunyai kegiatan dan sadar. Nyatanya, onderdil dan perlengkapan mobil malah dipreteli dan dijual untuk membeli morfin. "Ia lalu minta uang, yang katanya untuk membetulkan mobil. Tapi, uang yang diperoleh itu lagi-lagi larinya ke obat bius," katanya lagi. Ia juga sering melihat korban mengamuk, memecahkan kaca dan perabotan, bila ayahnya tak memberi uang. "Ia terbawa teman-temannya," ujar Sakari, makelar tanah yang bisa hidup agak berkecukupan. Selain mobil dan beberapa rumah, lelaki tua yang mulai agak pikun itu memiliki 44 pondokan yang disewakan kepada buruh pabrik di dekat rumahnya di Cisalak. Selain minuman keras dan kecanduan obat bius, katanya, anaknya itu juga agaknya mulai terlibat bisnis pil BK. "Yang datang anak-anak orang gedean, naik Volvo segala," katanya. Pernah ia mendengar sendiri, salah seoran- teman Yanto berkata, "To, kalo bapak lu belum dibunuh, hartanya nggak bisa lu kuasain." Dan sejak itu perangai Yanto seperti kian menjadi-jadi. Setidaknya dua kali Yanto mengancam padanya dengan pisau di tangan. Untung, meski sudah lanjut usia, Sakari masih bisa bermain silat hingga tusukan Yanto bisa dielakkan. Sakari merasa tidak menyesal bahwa kini Yanto sudah tiada. "Biarlah. Barangkali Tuhan sudah ngatur begini," ujarnya dengan suara agak serak. Barangkali begitu. Tapi, kata Tarigan, kejadian seperti di atas sebenarnya tak perlu terjadi. "Jika mengalami kesulitan menanggulangi masalah anak, orangtua seyogyanya meminta bantuan pihak berwajib. Jangan bertindak sendiri," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini