SECERCAH harapan masih coba digantungkan pada musim dingin mendatang di belahan bumi Utara. Biasanya memang, pada kuartal terakhir setiap tahun, pemakaian minyak negara-negara industri di Utara secara berangsur mulai menggelembung - sebelum akhirnya mencapai puncak pada tiga bulan berikutnya. Namun, di luar dugaan, harga dan volume ekspor minyak negara-negara OPEC masih saja kendur. Indonesia, misalnya masih belum memperoleh kepastian apakah bisa menaikkan kuota produksinya yang 1,1 juta barel per hari itu dalam waktu dekat. Tak heran jika banyak orang kemudian berpaling ke dalam negeri: pada prospek penerimaan Pajak Perseroan (PPs) minyak dan gas alam. Tahun anggaran 1985-1986 ini, sasaran PPs migas adalah Rp 11,16 trilyun. Sasaran sebesar itu, yang porsinya hampir 60% dari seluruh penerimaan dalam negeri, kelihatan cukup berat dijangkau ketika pasar minyak Indonesia di Jepang mendapat tekanan, pada kuartal ketiga baru-baru ini. Karena itu, cukup menarik jawaban Menteri Pertambangan dan Energi Prof. Subroto atas pertanyaan anggota DPR, pekan lalu, yang menyatakan perlunya merevisi RAPBN pada Repelita IV. Sejumlah alasan kemudian dikemukakan Menteri dalam acara dengar pendapat itu. Pertama, pada setiap tahun anggaran di Repelita IV, RAPBN disusun dengan perkiraan produksl minyak Indonesia akan mencapai 1,7 juta barel sehari tiga tahun mendatang. Nyatanya, pada tahun fiskal ini, terjadi kemacetan penjualan hingga sulit bagi Indonesia dan negara-negara anggota OPEC lainnya untuk menambah kuota produksi. Yang kedua RAPBN tersebut disusun dengan anggapan harga minyak akan bertahan pada US$ 28 per barel sampai 1987, dan diduga akan berangsur membaik hingga tahun anggaran berikutnya. Nyatanya, harga minyak digerilya terus menerus, sampai-sampai anggota OPEC sepakat tidak lagi menggunakan Arabian Light Crude (ALC) sebagai penentu harga (marker crude). Harga minyak akhirnya banyak ditentukan oleh kekuatan permintaan pasar. Menurut Menteri Subroto, revisi memang diperlukan jika faktor-faktor di luar minyak juga ikut menekan sasaran penerimaan. Apalagi kalau sampai OPEC terancam bubar. Memang, baru kali ini, seorang pejabat pemerintah secara terbuka menyatakan perlunya tindakan penyesuaian diambil untuk menghadapi perubahan situasi di luar negeri. Penafsiran masyarakat lalu jadi bermacam-macam. Sebagian besar menduga, pemerintah akan melakukan devaluasi kembali untuk menutup berkurangnya penerimaan migas. Yang lain memperkirakan volume RAPBN pada tahun anggaran berikut akan menciut. Tentu saja, semuanya itu masih merupakan teka-teki. Menurut seorang pejabat Ekuin, angka RAPBN pada Repelita IV sesungguhnya tidak perlu diubah. Sebab, pada setiap memasuki tahun anggaran baru, angka yang tertera di situ selalu disesuaikan. Kata pejabat ini, angka-angka pada RAPBN di Repelita IV hakikatnya hanyalah bersifat indikatif saja, atau hanya merupakan perkiraan-perkiraan. "Bukan berarti yang ditulis di situ harus sama dengan kenyataannya," tambah pejabat itu. Secara tidak langsung, ia ingin menunjukkan penyesuaian yang sudah dilakukan pemerintah terhadap APBN tahun berjalan. PPs migas, misalnya, di Repelita IV, ditulis Rp 12,668 trilyun, sedang angkanya di APBN Rp 11,16 trilyun. Revisi, kalau istilah itu akan digunakan, memang sudah dilakukan mulai tahun anggaran 1985-1986 ini secara diam-diam. Kata seorang pengamat ekonomi, perubahan sasaran penerimaan migas itu, yang lebih rendah hampir 12% dari yang direncanakan dalam buku Repelita IV, mencerminkan sikap hati-hati pemerintah menghadapi setiap perubahan di luar. "Yang masih sulit dilakukan pemerintah adalah mengatakan keadaan yang sebenarnya," katanya. Menyusun RAPBN memang bukanlah pekerjaan mudah - apalagi sesudah harga minyak hampir selalu berubah dua tahun terakhir ini. Dulu, penyusunan rancangan anggaran pendapatan dan belanja, yang dilakukan saat negara-negara industri mulai diselimuti musim dingin, bisa dilakukan dengan membuat proyeksi harga dan produksi minyak cukup tinggi. Sekarang, masa itu sudah lewat. "RAPBN (1986-1987) kini harus disusun dalam situasi tidak menguntungkan," kata Dr. Hadi Soesastro dari CSIS. Menurut Hadi, dalam diskusi dengan redaksi TEMPO pekan lalu, pasar minyak internasional sekarang tetap penuh dengan ketidakpastian. Kenaikan konsumsi minyak diperkirakan akan terjadi pada musim dingin mendatang, tapi pada kuartal kedua 1986 mungkin akan merosot lagi. "Kenaikan permintaan menjelang akhir 1985 dan kuartal 1986 mungkin tidak akan mempengaruhi volume ekspor Indonesia karena kenaikan itu lebih banyak akan dinikmati Arab Saudi," ujar ekonom dari Pusat Pengkajian Masalah-Masalah Strategis ini. Yang merepotkan pemerintah, di tengah sulitnya menduga harga minyak, adalah membuat perkiraan realistis sebagai dasar penyusunan RAPBN tahun 1986-1987. Jika buku Repelita IV masih jadi pegangan, harga dan produksi minyak tampaknya dibuat dengan proyeksi optimistis. Di situ angka sasaran penerimaan PPs migas adalah Rp 15,226 trilyun. Kuat dugaan angka ini akan disesuaikan dengan perkembangan pasar minyak terakhir. Untuk penyusunan RAPBN 1986-1987, menurut perkiraan Hadi, harga dan volume produksi minyak masing-masing bisa diasumsikan 20% dan 40% lebih rendah dari perkiraan Repelita IV. Dengan demikian, sasaran penerimaan minyak, tanpa pajak gas alam itu, paling tinggi hanya akan Rp 6,5 trilyun atau separuh dari perkiraan Repelita IV. Bila sumber-sumber penerimaan lain tidak berubah, maka seluruh penerimaan dalam negeri akan berkisar Rp 18 trilyun, atau 25% lebih rendah dari perkiraan Repelita IV. Jadi, ada kemungkinan, untuk pertama kalinya, secara nominal RAPBN itu menurun dari tahun anggaran sebelumnya. Dari keadaan semacam itu tampaknya dituntut sikap realistis. Menurut Hadi, sikap ini diperlukan, karena masyarakat cukup sensitif terhadap perkembangan pasar minyak internasional dan pengaruhnya pada RAPBN dan stabilitas moneter. "Perkiraan yang realistis akan mengurangi tingkah laku spekulatif," ujarnya. Kendati pasar minyak internasional sulit diduga, Hadi menganjurkan agar pemerintah mau memberikan perkiraan eksplisit yang bisa diterima masyarakat, dan tidak terlampau menyulitkan kedudukan Indonesia sebagai anggota OPEC. Dan itu berarti, Indonesia tidak bisa memberikan perkiraan harga yang terlalu rendah, "Tapi yang tidak mungkin dilakukan pemerintah adalah mengatakan harga OPEC akan jatuh US$ 20 per barel," katanya. Hal yang kurang lebih sama juga dikemukakan Dr. Dorodjatun Kuntjoro Jakti. Ekonom dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) UI ini beranggapan bahwa penyusunan RAPBN selama Repelita IV didasarkan pada perhitungan harga minyak yang tidak realistis. Padahal, selama Pelita III, sudah tampak jelas harga dan konsumsinya menurun. "Mungkin karena kita sangat tergantung, tak mau lagi melihat berubahnya kenyataan," katanya. Dorodjatun cukup senang mendengar usaha untuk menyesuaikan RAPBN. Kalau anggaran rutin mau dikurangi, katanya, yang bisa dilakukan adalah mengurangi belanja barang dan mengecat gedung, misalnya. Selain itu, yang juga bisa dikorbankan adalah anggaran pembangunan. Jika itu dilakukan, maka dana rupiah, sebagai lawan pembiayaan pinjaman luar negeri, akan direm pengeluarannya. Secara lebih jauh Dorodjatun melihat, penyesuaian RAPBN merupakan sebuah keharusan bagi pemerintah untuk memberi peran lebih besar pada swasta. Menurut dia, pertumbuhan ekonomi rata-rata 5% setiap tahun selama Repelita IV hanya bisa dicapai kalau swasta diberi kesempatan masuk secara lebih leluasa ke pelbagai sektor usaha. Karena itu, pemerintah harus melepaskan penyertaan modalnya kepada pihak swasta. "Yang dilakukan pemerintah saat ini baru kebijaksanaan yang mendukung ke arah itu," ujarnya. Dengan demikian, beban pemerintah untuk menyediakan pembiayaan bagi investasi juga bisa dikurangi. Jika beban itu tidak digeser, maka selama Repelita IV, pemerintah harus menyediakan pembiayaan untuk investasi sebesar Rp 60 trilyun. Tabungan pemerintah bruto (penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin), selama itu, tiap tahun diduga akan naik 21 % lebih. Sayangnya, sasaran sebesar itu masih banyak ditentukan oleh maju -mundurnya hasil pemungutan PPs migas, yang cenderung melemah. Karena sumber pembiayaan pemerintah kelihatan makin terbatas, Dr. Tawang Alun dari LPEM UI menganjurkan, potensi dana masyarakat dimanfaatkan lebih baik. Jasa Marga dan Papan Sejahtera, misalnya, berhasil cukup baik menjual obligasi mereka. Kata Tawang Alun, kenyataan itu menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia mempunyai kemampuan meminjamkan uang dalam jumlah besar. "Jadi, jelasnya, mengapa pemerintah tidak ngutang saja pada sumber di dalam negeri?" katanya. Dengan begitu, pembayaran bunganya kelak tidak sampai mengalir, ke luar. Tambahan lagi, uang yang dipinjam dari sumber lokal kelak akan di belanjakan juga untuk membeli barang-barang lokal. Supaya pemberi pinjaman senang, maka pemerintah seyogyanya mau memberikan pelbagai kemudahan pada mereka, misalnya dalam soal pembayaran pajak. Paling tidak, dengan cara itu, "Penanaman modal ke luar negeri bisa dikurangi," katanya. Tawang Alun juga melibat, jawaban Menteri Subroto kepada anggota DPR, sesungguhnya merupakan sebuah peringatan awal, sekalipun secara eksplisit tidak disebut akan ada penurunan penerimaan dalam negeri. Bagi swasta, di pihak lain, peringatan itu tidak perlu sampai ditanggapi dengan, misalnya, mengurangi kegiatan produksi dan kemudian melakukan PHK buruhnya. "Sebab, sikap yang demikian saya kira akan menarik perekonomian kita lebih ke bawah," katanya. Pilihan pemerintah untuk mengantisipasi menurunnya PPs migas memang sangat terbatas. Devaluasi, sebagai jalan pintas guna memperoleh rupiah lebih besar untuk APBN, dianggap banyak buruknya di masa harga komoditi primer Indonesia kini sedang jatuh di pasar internasional. Kata Tawang Alun, jika tindakan moneter itu dilakukan, maka citra pemerintah dan iklim investasi bisa terganggu. "Masyarakat jadi panik, dan perekonomian Indonesia, yang sedang berjalan, jadi kembali rumit," katanya. Luka akibat devaluasi Maret 1983, rupanya, menyebabkan bekas-bekas cukup parah bagi pengusaha yang kebanyakan utang dolar. Ada perusahaan yang mengalami rugi kurs cukup besar, ketika itu, sampai sekarang masih belum bisa menutup kerugian. "Devaluasi memang membikin eksportir bisa kaya mendadak," kata Mustafa Sulaiman, Ketua Asosiasi Eksportir Kopi, cabang Aceh. Tapi kenaikan ongkos dibulan-bulan berikutnya (gaji dan bahan baku), "Bisa pula menyebabkan eksportir miskin," katanya. Toh ada juga pengusaha yang setuju devaluasi. Menurut Harry Tanugraha, Direktur Pelaksana Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo), devaluasi - dalam jangka pendek - bisa menaikkan pendapatan rupiah eksportir. Usaha memperbesar volume penjualan tampaknya sulit dilakukan karena permintaan dari negara-negara industri masih lemah. Tahun ini, penjualan karet dari sini diperkirakan hanya akan 950 ribu ton, dengan harga US$ 0,70 per kg. Padahal, ekspor karet, tahun lalu, masih bisa mencapai satu juta ton dengan harga jual US$ 0,90 per kg. Kata Harry, penurunan harga sekitar 22% itu berkaitan erat dengan kelesuan pasar yang terjadi dewasa ini. Penurunan harga dan volume, yang akan mempengaruhi penerimaan eksportir itu, sesungguhnya bisa dikompensasikan dengan mengubah kurs. "Kalau itu dilakukan, sektor ekspor bisa terangsang," katanya. Pada umumnya, tindakan devaluasi untuk menaikkan penerimaan rupiah itu akan disukai para eksportir. Bahkan Hitler Singawinata, Wakil Presiden PT Inco, beranggapan bahwa hal itu bisa ikut mengurangi tingkat kerugian perusahaannya sesedikit mungkin. "Kalau ada devaluasi, biaya 'kan lebih murah, karena banyak yang harus ditanggung perusahaan dalam rupiah, sementara pendapatan dari ekspor dalam dolar," katanya. Harga nikel sendiri sekarang sedang terpuruk ke bawah. Di bursa London Metal Exchange (LME), sekarang kutipannya harganya hanya US$ 1,96 per pound (0,373 kg), padahal Juni lalu masih US$ 2,6. Sebenarnya volume permintaan nikel, terutama dari Jepang, tidaklah jelek. Tapi entah mengapa, harganya ikut jatuh mengiringi digerilyanya harga minyak. Bagi perusahaan yang sedang berusaha mengembangkan diri dengan menambah investasi lewat pinjaman valuta asing, devaluasi memang merupakan mala- petaka. Apalagi jika pendapatan mereka sepenuhnya bersandar pada hasil penjualan di dalam negeri seperti industri perakitan mobil dan motor. Karena itu Soebronto Laras, Ketua Gabungan Agen Tunggal dan Assembler Kendaraan Bermotor, lebih menyukai jika pemerintah memperbesar pinjaman luar negerinya. "Kalau digunakan untuk membiayai pembangunan, pinjaman itu akan membantu menolong pertumbuhan," katanya. Tentu, tidak semua pihak setuju dengan saran itu. Tawang Alun, misalnya, menyebut bahwa menaikkan pinjaman luar negeri hanya akan menambah terjadinya kebocoran-kebocoran dari sini, yang bisa mempengaruhi laju pertumbuhan. Sebab, yang menerima bunganya adalah pihak luar, bukan orang di dalam negeri. "Utang ke luar negeri itu keuntungannya hanya sesaat, tapi opportunity cost yang harus kita bayar pada masa-masa mendatang melonjak. Ini yang harus diperhitungkan," katanya. Revisi RAPBN, jika itu dilakukan dengan menciutkan anggaran rutin, ternyata banyak ditolak kemungkinannya oleh para ekonom. Kata Dr. Pande Radja Silalahi, ekonom dari CSIS, anggaran rutin tak mungkin diciutkan karena menyangkut kemampuan daya beli masyarakat secara langsung, dan bisa dianggap tidak sesuai dengan tuntutan perekonomian Indonesia. Pemerintah rupanya beranggapan serupa. Anggaran rutin 1985-1986 dalam Repelita IV, misalnya, semula Rp 12.042 trilyun. Angka itu rupanya dianggap belum cukup. Supaya RAPBN juga berperanan dalam menaikkan daya beli masyarakat, anggaran rutin kemudian dinaikkan menjadi Rp 12,399 trilyun. Penyesuaian memang dengan cepat dilakukan pemerintah, termasuk juga mengurangi beberapa pos subsidi. Jika tindakan itu akan dilakukan lagi pada 1986-1987, Tawang Alun meminta agar penghapusan subsidi BBM dan beberapa bentuk pelayanan pemerintah dilakukan secara bertahap. Kata dia, petani-petani di desa masih perlu menerima subsidi dari pemerintah, karena mereka masih terasa kurang menikmati fasilitas yang diberikan, seperti listrik dan air, yang mendapat subsidi cukup besar. Tapi, kalau penerimaan pemerintah cenderung mengecil, bagaimana? Menurut Pande Radja Silalahi, kalaupun anggaran pemerintah akan menurun 10% misalnya, tidak berarti daya gerak ekonomi akan berkurang 10%. Penurunan belanja pemerintah itu dianggapnya justru berakibat akan menaikkan daya gerak perekonomian - jika tepat kena pada sasaran. Karena itu, Pande menganggap perlu pemerintah mempertajam sasaran. "Mungkin ada departemen yang harus dipotong 20%, sementara yang lain ada yang malah ditambah anggarannya," katanya. Beberapa indikator, yang sekarang mulai bermunculan, seolah memperkuat anggapan bahwa tindakan penyesuaian perlu diambil. Produksi minyak mentah selama April-Agustus (lima bulan), misalnya, baru 175 juta barel. Padahal, selama tahun 1985-1986 (12 bulan) sasaran produksinya 511 juta barel. Hanya produksi kondensat yang cukup bagus: sudah meliputi 21,3 juta barel dari sasaran 51 juta barel. Angka-angka itu tampaknya merupakan petunjuk bahwa pasar minyak Indonesia, selama periode itu, banyak menemui kesulitan. Karena itu, agaknya, tidak banyak investor asing di bidang perminyakan sampai merasa perlu berlomba-lomba memompa minyak dengan mendirikan banyak anjungan. PT Gunanusa Utama Fabricators, pembuat anjungan terkemuka di sini, sudah merasakan perubahan situasi itu. Sampai September silam, jumlah tender yang ditawarkan operator minyak baru Rp 100 milyar. Padahal, tahun lalu, pada enam bulan pertama saja, tender yang ditawarkan itu sudah mencapai jumlah Rp 200 milyar. "Kalau jumlah proyek saya turun sampai separuh dari volume tahnn lalu, payah juga," kata Iman Taufik, Direktur Utama Gunanusa, tanpa menyebut volume usahanya tahun lalu. Begitupun ada juga perusahaan penyedia jasa di bidang minyak dan gas yang merasa tak perlu kebat-kebit. PT Meta Epsi Drilling Co. (Medco), misalnya, menyatakan bahwa kegiatan pengeboran masih akan tetap ramai kendati harga minyak melemah. "Sebab, pengeboran yang dikerjakan sekarang bukan untuk mengeluarkan minyak atau gas sekarang juga, tapi untuk cadangan di masa depan," ujar Arifin Panigoro, Direktur Utama Medco. Masalah teknis lain yang membuat kegiatan pengeboran di sini tetap ramai adalah kecilnya cadangan minyak pada setiap sumur yang ditemui. Karena itu, supaya minyak yang diperoleh cukup banyak, penanam modal harus membuat sumur banyak. "Nah, kalau lima tahun mendatang bakal membaik, investasi harus dilakukan sekarang," ujar Basuki S. Hardjosoekatmo, Direktur Utama Mc Dermott Indonesia, pembuat kaki anjungan. Tanda-tanda membaiknya harga minyak memang belum juga tampak. Sementara itu, ekspor nonmigas, seperti komoditi primer karet dan kopi, harganya cenderung melemah juga. "Masih akan banyak hambatan dalam tiga sampai lima tahun mendatang untuk mendorong ekspor di luar migas," ujar D.B. Northrop, Manajer Standard Chartered Bank, Jakarta. Usaha keras memang terus dilakukan. Tapi keadaannya memang cukup rawan kalau suatu saat nanti pajak dan devisa migas menipis: beban pembangunan harus dipikul sumber-sumber di luar itu. Sulitnya, situasi pasar internasional memang tidak memungkinkan RAPBN disusun secara lebih leluasa, paling tidak untuk masa 1986-1987 mendatang ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini