Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga anti-korupsi Singapura atau Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) menangkap buronan kasus korupsi e-KTP, Paulus Tannos alias Thian Po Tjhin, yang berada di Singapura sejak akhir 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penangkapan Paulus Tannos tersebut atas dasar surat permohonan penahanan sementara (provisional arrest request/PAR) terhadap Paulus Tannos ke otoritas Singapura oleh pemerintah Indonesia. Otoritas Singapura kemudian mengabulkan permohonan itu dan menangkap Paulus Tannos. Saat ini, pemerintah Indonesia sedang dalam proses ekstradisi tahanan Paulus Tannos.
Beda Ekstradisi dan Deportasi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dilansir dari laman setkab.go.id, ekstradisi dan deportasi adalah dua hal yang berbeda, adapun perbedaan yang sangat mudah untuk ditandai dari kedua hal tersebut adalah ada atau tidaknya proses peradilan. Ekstradisi mensyaratkan adanya proses peradilan yang berujung pada penetapan pengadilan sedangkan deportasi tidak berujung pada penetapan pengadilan.
Ekstradisi adalah proses hukum saat seseorang yang sedang ditahan, baik dalam status tersangka maupun terdakwa, dipindahkan dari satu yurisdiksi ke yurisdiksi lain yang mengajukan permintaan. Ekstradisi ditujukan untuk mengadili dan menjatuhkan hukuman atas tindak pidana yang didakwakan kepada orang tersebut.
Ekstradisi diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi. Dalam pasal 1 UU tersebut dijelaskan bahwa ekstradisi adalah “penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut, karena berwenang untuk mengadili dan memidananya”.
Sementara itu, deportasi merupakan seperangkat aturan dan atau tindakan untuk memindahkan seseorang dari wilayah negara ke negara lain dan terkait dengan orang asing.
Deportasi diatur khusus pengertiannya di dalam Pasal 1 angka 36 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian yaitu: “tindakan paksa mengeluarkan orang asing dari wilayah Indonesia”. Deportasi juga merupakan salah satu bentuk tindakan administratif keimigrasian, yaitu sanksi administratif yang ditetapkan pejabat imigrasi terhadap orang asing di luar proses peradilan, hal sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 31 UU Keimigrasian.
Pasal 78 ayat 3 UU Keimigrasian menjelaskan salah satu penyebab orang dapat dideportasi adalah orang asing pemegang izin tinggal yang telah berakhir masa berlakunya dan masih berada di wilayah Indonesia lebih dari 60 (enam puluh) hari dari batas waktu izin tinggal dikenai tindakan administratif keimigrasian berupa deportasi dan penangkalan.
Dilansir dari Jurnal Ilmiah Kajian Keimigrasian, perbedaan utama ekstradisi dan deportasi adalah tujuan dari keduanya, yaitu ekstradisi dilaksanakan karena seorang warga negara asing melakukan tindakan tindak pidana di luar negara yang ditempati saat ini, sementara deportasi karena orang asing tersebut melakukan tindakan yang dianggap ilegal di wilayah negara tempatnya saat ini berada.
Proses deportasi pun tergolong lebih mudah dari ekstradisi. Proses deportasi biasanya dimulai dengan pemberitahuan resmi dari otoritas imigrasi kepada individu yang bersangkutan. Penerima pemberitahuan memiliki kesempatan untuk menanggapi tuduhan dan mungkin memiliki hak untuk mengajukan banding atau menghadiri sidang.
Jika sidang pengadilan memutuskan untuk mendeportasi WNA, pihak yang bersangkutan akan diberi waktu untuk meninggalkan negara tersebut secara sukarela. JIka mereka tidak mematuhi deportasi, pemerintah dapat mengeluarkan perintah penangkapan dan memulai proses penahanan untuk memastikan pelaksanaan deportasi.
Sementara itu, proses ekstradisi harus melalui kesepakatan antardua negara yang bersangkutan dengan syarat-syarat detail seperti keterangan seakurat mungkin atas buron yang dicari beserta informasi lain yang dapat membantu menentukan identitas orang tersebut, kewarganegaraan, dan kemungkinan lokasinya, termasuk foto terbaru atau rekam sidik jari apabila tersedia.
Aulia Ulva berkontribusi dalam penulisan artikel ini