Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERISTIWA raibnya Tommy Soeharto, yang amat mencoreng hukum, mestinya tak terulang. Sebagaimana ramai diberitakan, putra bungsu mantan presiden Soeharto itu bisa tak menjalani hukuman 18 bulan penjara dalam kasus korupsi ruilslag Bulog-Goro karena meminta grasi kepada presiden. Setelah grasinya ditolak presiden, ternyata Tommy buron, sehingga tak bisa dipenjara.
Itu semua terjadi, selain karena lamban dan tak beraninya jaksa serta polisi, juga karena ada lubang besar pada Undang-Undang No. 3 Tahun 1950 tentang Grasi. Berdasarkan undang-undang yang lahir semasa Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 itu, terpidana yang mengajukan grasi memang boleh menikmati penangguhan eksekusi.
Kini, menurut Rancangan Undang-Undang Grasi, eksekusi terhukum tak bisa lagi ditunda kendati ia mengajukan grasi. Dengan demikian, begitu hukumannya berkekuatan tetap, ia harus masuk penjara meski saat itu pula ia memohon ampunan (grasi) ke presiden. Selasa pekan lalu, Rancangan Undang-Undang Grasi disampaikan pemerintah melalui Menteri Kehakiman Baharuddin Lopa ke DPR.
Memang, dalam ketentuan itu ada pengecualiannya, yakni bagi terpidana hukuman mati. Bila ia meminta grasi, hukuman matinya ditunda sampai grasinya diputus presiden. Kalau grasinya ditolak, ia bisa meminta grasi lagi. Demikian pula, bila grasinya diterima sehingga hukumannya berubah menjadi seumur hidup, ia masih bisa meminta grasi.
Agaknya Rancangan Undang-Undang Grasi memberikan dispensasi bagi hukuman mati. Boleh jadi hal ini berkaitan dengan semangat "hukuman mati seselektif mungkin" meski tak sampai menghapuskan hukuman mati, sebagaimana tertuang dalam rancangan undang-undang pengganti KUHP, yang belum dibahas DPR. Di luar hukuman mati, grasi hanya bisa diajukan sekali dan cuma untuk hukuman paling rendah lima tahun penjara.
Hal-hal baru dalam Rancangan Undang-Undang Grasi merupakan koreksi total terhadap Undang-Undang Grasi lama, sekaligus prakteknya. Selama ini, Tommy ataupun banyak terhukum lain memanfaatkan grasi untuk menghindari penjara. Bahkan, grasi acap diajukan lebih dari sekali, meski cuma untuk hukuman di bawah dua tahun penjara.
Namun, Rancangan Undang-Undang Grasi tak memuat aturan bila grasi diajukan bersamaan dengan peninjauan kembali (PK), seperti pada kasus Tommy. Menurut Direktur Jenderal Peraturan dan Perundangan Departemen Kehakiman, Abdul Gani, masalah itu tak perlu diatur. Alasannya, grasi dan PK merupakan dua hal berbeda. Grasi menjadi hak terpidana, sementara PK merupakan upaya hukum. Lagi pula, "PK tak menangguhkan eksekusi," ujar Abdul Gani.
Jadi, jurus ganda (grasi sekaligus PK) boleh ditempuh terpidana? Padahal, itu bisa menimbulkan kerancuan hukum. Pada kasus Tommy, misalnya, meski grasinya ditolak presidenberarti hukumannya tak berubahbagaimana bila PK-nya kelak dikabulkan Mahkamah Agung (berarti hukumannya berkurang atau malah bebas)? Putusan mana yang akan diikuti?
Menurut seorang anggota DPR, Ferry Mursidan Baldan, seharusnya begitu terpidana meminta grasi, upaya hukum lainnyatermasuk PKtak diperkenankan lagi. "Itu kan fair. Kalau tidak, nanti grasi, yang filosofisnya merupakan wisdom presiden, bisa dijadikan upaya hukum coba-coba," katanya.
Pendapat senada juga diutarakan mantan Hakim Agung M. Yahya Harahap. Jadi, kalau terpidana mengajukan PK berbarengan dengan grasi, PK-nya harus dicabut. Bila kemudian grasinya ditolak presiden, terpidana tetap berhak mengajukan PK. Begitu juga, kalau terpidana lebih dulu mengajukan PK lantas PK-nya ditolak, ia boleh meminta grasi.
Selain masalah "grasi meniadakan PK", Yahya Harahap juga menyoroti soal konsep grasi. Dalam rancangan undang-undang itu, grasi dikategorikan sebagai tindakan koreksi hukum dari presiden. Bila presiden menganggap hukuman terpidana terlalu berat, tak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat, atau ketika hukuman akan dieksekusikan berbeda dengan sewaktu hukuman itu diputus oleh hakim, presiden dapat mengubahnya melalui grasi.
Seharusnya, kata Yahya, grasi merupakan ampunan atau anugerah presiden dengan pertimbangan kemanusiaan dan politik. "Kalau grasi dijadikan upaya hukum korektif, itu sama saja dengan mengintervensi putusan peradilan," ucapnya. Tapi, argumentasi Yahya agaknya sudah mengarah pada diskursus konstitusi (UUD). Sampai saat ini, Undang-Undang Dasar 1945 masih menganut adanya wewenang presiden (eksekutif) di bidang yudikatif melalui grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi.
Happy S., Hendriko L. Wiremmer, dan Agus Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo