Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kriminalisasi untuk Protes Daerah

Seorang aktivis referendum Aceh divonis 10 bulan penjara. Di Jakarta, empat mahasiswa Irianjaya juga diadili dengan tuduhan makar.

8 April 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


KENDATI zaman telah berubah, ternyata hegemoni tafsir hukum tetap dimonopoli pemerintah. Buktinya, tuduhan makar dan penyebaran kebencian (haatzai artikelen) yang dulu gemar digunakan Orde Baru kini juga diterapkan oleh pemerintah reformasi untuk membungkam pelbagai protes daerah. Selasa pekan lalu, aktivis referendum di Aceh, Muhammad Nazar, menjadi korbannya.

Memang, Pengadilan Negeri Banda Aceh akhirnya tak sampai menghukum Nazar dengan delik makar (Pasal 106 KUHP). Majelis hakim yang diketuai Farida Hanoum Nazar memvonis Nazar dengan hukuman 10 bulan penjara berdasarkan haatzai artikelen (Pasal 155 KUHP).

Muhammad Nazar sendiri tetap merasa yakin bahwa perbuatannya mewakili aspirasi sebagian besar masyarakat Aceh, yang berhasrat bisa menentukan nasib sendiri. Karena itu, Nazar pun berharap Presiden Abdurrahman Wahid benar-benar bisa mendengar suara sesungguhnya yang membahana di Tanah Rencong.

Agaknya, harapan Nazar tak berlebihan. Soalnya, Presiden Abdurrahman di masa awal pemerintahannya sepertinya cukup akomodatif dengan protes daerah. Presiden pula yang mengawali penggunaan nama Papua untuk Provinsi Irianjaya, kendati peraturan perundang-undangan yang menyebut nama Irianjaya belum diubah. Bahkan, Abdurrahman memperkenankan pengibaran bendera Bintang Kejora, meski belakangan pengibaran bendera Papua itu dikatakannya hanya boleh mendampingi bendera Merah Putih.

Toh, Nazar sudah dihukum—ia pun banding. Tak aneh bila salah seorang pembela Nazar, Hendardi, yang juga Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia, menyatakan bahwa hukum di Indonesia sama sekali belum berubah kendati telah terjadi pergantian rezim. Sikap aparat hukum dalam menangani perkara Nazar—sejak penangkapan, penahanan, sampai peradilan—pun masih seperti di masa Orde Baru. "Hukum masih dijadikan alat kekuasaan otoriter, bukan untuk menyejahterakan rakyat," ujar Hendardi.

Ternyata, Nazar tak sendirian. Di Jakarta, Yoseph Wenda, 28 tahun, dan tiga rekannya sesama mahasiswa asal Irianjaya juga dituduh melakukan makar (memisahkan diri dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia) dan menyebarkan kebencian terhadap pemerintah Indonesia. Itu gara-gara Yoseph dan kawan-kawan berdemonstrasi di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat dan Belanda di Jakarta pada 1 Desember 2000. Sembari memekikkan kemerdekaan, mereka mengibarkan bendera Bintang Kejora. Akibatnya, Yoseph bersama rekan-rekannya ditahan sampai 120 hari dan sekarang diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Menanggapi dakwaan Jaksa Maju Ambarita, tim pembela Yoseph dan kawan-kawan menganggap tuduhan makar itu berlebihan. Apalagi bukti-bukti dan unsur hukum dalam delik makar tidak cukup kuat. Mereka juga menilai penggunaan pasal karet haatzai artikelen sudah usang. "Pasal-pasal itu sudah tidak sesuai dengan nilai-nilai dan rasa keadilan yang tumbuh di masyarakat sekarang," kata tim pembela.

Namun, Jaksa Maju Ambarita tetap berpendapat bahwa penerapan pasal-pasal dakwaan itu sudah tepat. Dalam KUHP, kata Jaksa, pasal-pasal itu juga masih berlaku. "Berdasarkan penyidikan polisi, pasal-pasal itu pun relevan untuk didakwakan kepada para terdakwa," kata Maju.

Sampai pekan ini, majelis hakim yang diketuai Andi Samsan Nganro memang belum menunjukkan sikapnya. Sebab, acara vonis terhadap Yoseph dan ketiga kawannya masih lama. Sekalipun demikian, Selasa pekan lalu, Yoseph dan kawan-kawan bisa bernapas lega. Soalnya, majelis hakim menangguhkan penahanan mereka dengan alasan para terdakwa sedang kuliah.

Kontan penetapan majelis hakim disambut tepuk tangan dan teriakan gembira dari sebagian pengunjung sidang. Teman-teman para terdakwa pun melepas senyum dan bersalam-salaman. "Hakim sudah berusaha melihat kasus ini dengan jernih. Praduga tidak bersalah masih dipercaya hakim," kata Daniel Panjaitan, salah seorang pengacara keempat terdakwa.

Hps., KMN., Ardi Bramantyo, J. Kamal Farza (Aceh)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus