Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AGAKNYA pelbagai simbol agung pada logo organisasi para hakim, Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi), itu kian tak bermakna. Betapa tidak. Hampir setengah abad ini, organisasi itu seperti tidur berkepanjangan. Hidup segan, mati pun enggan. Ada, tapi tiada. Wadah para hakim yang dimitoskan sebagai utusan Tuhan itu tak ada bedanya dengan perkumpulan arisan belaka.
Dulu, Ikahi, yang lahir pada 1953, sempat berarti. Semasa Orde Lama, yang dipimpin Presiden Sukarno, Ikahi bersuara keras menuntut kekuasaan kehakiman (yudikatif) yang bebas dari campur tangan pemerintah (eksekutif). Bahkan, organisasi itu mampu menggalang hakim anggotanya untuk mogok kerja. Akibatnya, sampai tiga hari, tak ada sidang di pengadilan. Memang, gelombang tuntutan itu tak berhasil. Para hakim pun tetap dalam kungkungan eksekutifsampai kini jua.
Namun, sepanjang masa Orde Baru, ternyata Ikahi benar-benar mati suri. Suaranya tak pernah terdengar, apalagi aksi perlawanannya. Padahal, sistem politik serta perangkat perundang-undangan tetap mengebiri mereka. Para hakim berstatus pegawai negerikecuali hakim agung, yang sudah meningkat predikatnya sebagai pejabat negara. Hakim cuma sekadar corong undang-undang dan penyelamat kekuasaan politik pemerintah.
Begitu pula, ketika berbagai gejolak politik dan kekerasan melanda negeri ini, Ikahi tak sedikit pun bersikap ataupun mengeluarkan pernyataan hukum. Baik sewaktu Presiden Soeharto dengan sesukanya lengser dan digantikan Wakil Presiden B.J. Habibie maupun ketika para mahasiswa ditembaki.
Demikian pula sewaktu pengadilan dan Mahkamah Agung (MA) diserang habis-habisan dan jabatan Ketua MA kosong berkepanjangan. Padahal, "Ikahi sebagai organisasi boleh bersuara. Kalau hakimnya, memang, terikat dengan tugas memutus perkara di peradilan," kata mantan Hakim Agung Adi Andojo.
Menghadapi tudingan begitu, Ketua Ikahi periode lalu, Suharto, hanya menyatakan bahwa Ikahi nyaris berada dalam situasi sulit. "Ngomong salah, diam juga salah," ucap hakim agung itu. Tapi Suharto membantah anggapan bahwa Ikahi tak berkiprah. Buktinya, Ikahi ikut menyusun konsep "kekuasaan kehakiman yang satu atap ke MA" pada perubahan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.
Yang jelas, sudah tak berani bersuara, Ikahi pun cenderung melindungi anggotanya yang terlibat kasus suapkalaulah tak bisa pula dikatakan ikut melestarikan budaya suap. Contohnya sewaktu Adi Andojo menjadi Ketua Tim Gabungan Pemberantasan Korupsi (TGPK). Sudah lima hakim yang dituduh menerima suap diusut TGPK. Setiap kali TGPK memeriksa hakim, pasti personel Ikahi ramai-ramai mengerubunginya.
Walhasil, ruang pemeriksaan TGPK yang kecil menjadi sesak, sementara telepon genggam para pengerubung tak henti-hentinya berdering. "Seharusnya hakim yang diperiksa cukup didampingi pengacara," ujar Adi. Sampai kini pun kasus suap para hakim tadi tak kunjung tuntas pengusutannya.
Sikap Ikahi yang membela anggotanya juga diutarakan Gunanto Suryono, hakim tinggi di Jawa Tengah, dalam acara Musyawarah Nasional (Munas) Ke-13 Ikahi di Bandung, pekan lalu. "Mestinya Ikahi berani menindak hakim yang terlibat praktek mafia peradilan. Kalau perlu, ajukan ke pengadilan. Bukannya malah membela dan menutup-nutupi yang busuk," kata Gunanto, yang dalam bursa Ketua Ikahi di munas tersebut dikalahkan oleh Hakim Agung Toton Suprapto.
Anehnya, Hakim Agung Benjamin Mangkoedilaga, peserta munas, justru menuntut agar Ikahi cepat tanggap untuk melindungi hakim-hakim anggotanya. "Ketika hakim dan peradilan diobok-obok lembaga lain, serta beberapa hakim dipecat tanpa diberi kesempatan membela diri, Ikahi ke mana?" kata Benjamin. Memang, baru-baru ini sebelas hakim dikenai sanksi oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Baharuddin Lopa.
Bila perkembangan selama ini menunjukkan tak berartinya Ikahi, lantas untuk apa organisasi para hakim yang pegawai negeri itu? Toh, banyak peserta munas menentang pendapat yang menghendaki agar Ikahi dibubarkan. "Enggak gitu dong jalan keluarnya. Ya, organisasinya ditata kembali agar bisa berfungsi sesuai dengan perkembangan," kata Gunanto.
Mungkinkah itu? Dalam munas di Bandung saja, jajaran pengurus baru Ikahi masih didominasi personel dari kubu status quo. Bahkan, pengurus baru yang dikomandani Toton Suprapto tak berani pula menelurkan deklarasi antisuap.
Hps., Rinny Srihartini (Bandung), Ardi Bramantyo (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo