PADA suatu malam ditahun 1971 seorang pemudi merajakan hari
ulangtahunnja dibilangan kota Tjirebon. Sebagaimana dilajakkan,
maka izin untuk mengadakan pesta itupun sudah di dapat.
Begitulah: manakala malam kian masak, beberapa anggota -- batja:
oknum -- Hansip datang kesana dengan tugas menegur empunja
pesta: djangan sampai terlalu malam. Sementara itu tuan rumah
berkenan menjuguhi tamu-tamu bersendjata itu dengan makanan dan
minuman sekenjangnja. Lalu kemudian alat-alat Pertahanan Sipil
itu pulang -- mungkin karena sudah kenjang tanpa ingat lagi akan
teguran jang di bawanja karena tugas.
Sajang anekdot itu tidak bertjerita dari siapa didapatkan izin
mengadakan pesta itu: sehingga masih perlu datang kawal Hansip.
Akan tetapi pentolan-pentolan Golongan Putih dari Balai Budaja
Djakarta, njaris mengadakan sebuah diskusi Orde Baru, Sedjauh
mana Pelaksanaannja Dalam Kehidupan Dewasa Ini seandainja tidak
tiba-tiba RAM Hadath, perwira menengah polisi dari Komwil 71
datang kediskusi itu dengan tugas: membubarkan orang-orang jang
ada disitu karena katanja untuk diskusi diharuskan mendapat izin
terlebih dulu dari Polisi. Dan bukan itu sadja pesan jang dibawa
KP Hadath. Izin itu harus dimasukkan 3 hari 3 malam sebelumnja,
Ketahuan. Kemungkinan sekali Hadath tidak tahu bahwa baru sadja
beberapa hari sebelumnja Jajasan Indonesia bekerdjasama dengan
Lembaga Bantuan Hukum dan Lembaga Hak-Hak Azazi Manusia tidak
djadi melangsungkan diskusi Tahanan Politik karena bukan tak
diizinkan Polisi, tapi karena tidak dibenarkan Kopkamtib. Djadi
sebetulnja siapa jang berwenang memberi izin: Kopkamtib, Polisi,
Kokamsung, Tjamat. Koramil, Lurah atau model-modelnja. Babinsa
dan Hansip? Disinilah muntjul W.Silalahi, Adjun Komisaris Polisi
dari Petugas Keamanan Negara (d/h DPKN) Komdak VII Metro Djaya.
"Polisi". djawabnja tjepat. Tapi kemudian ia tambahkan bahwa
sebetulnja Polisi tidak memberikan izin "hanja surat keterangan
tidak berkeberatan dan ikut bertanggungdjawab keamanannja".
Barangkali bisa disimpulkan, itu izin djuga maknanja, seperti
djuga ditambahkan polisi berbintang tiga ketjil itu sendiri.
"Kalau ada jang tidak memberitahu. Polisi dengan pertimbangan
keamanan berhak memperingatkan atau membubarkan". Lalu akan
Kopkamtib' "Kopkamtib hanja melarang materinja, bukan diskusinja
sendiri. Sebab badan itu lebih tahu soal-soal sematjam itu"
Benarkah? Agaknja soal izin-berizin ini masih taram-temaram.
Penolakan izin diskusi Golongan Putih ternjata tidak hanja
karena djangka pengadjuan permohonan jang kurang dari waktu jang
diharuskan, tapi seperti kata surat jang diteken oleh KBP
Dardjono (a/n Pangdak): "Soal Orde Baru tak perlu di diskusikan
lagi karenasudah dirumuskan dalam Tap MPRS". Ketahuanlah bahwa
Polisi-pun djuga mempersoalkan materi dan sekaligus melarang
materinja.
Sementara itu fihak Polisi rupanja punja argumen lain. Katanja
untuk pengamanan Pemilu, Polisi memperketat pengawasan keamanan.
Siapa tahu, alasan pelarangan oleh Komwil dan Komdak itu ada
hubungannja untuk "membuat suasana falorable didekat Pemilu" .
Tampaknja sukar dibuktikan djuga karena sekalipun Golongan Putih
pernah di larang atas kegiatannja jang merupakan kampanje, tapi
rentjananja pada hari Rabu tanggal 9 Djuni jang lalu itu adalah
sebuah pertukaran fikiran dengan topik jang djauh dari urusan
pilih memilih.
Kompas. Walhasil, sulit djuga. Karena ternjatapun soalnja bukan
hanja: "izin dari siapa", tapi berapa lama sebelum ja permohonan
izin ataupun permohonan untuk memberitahu harus di sampaikan.
Sementara fihak jang melarang Golput mengatakan 3 kali 24 djam
Silalahi mengatakan: "Tidak boleh kurang dari 24 djam".
Dan itu bukan asal mula dari kesemuanja. Seperti dikatakan Hakim
Agung Asikin, galibnja diskusi-diskusi sempat jam ini tidak
memerlukan sesuatu keinginan. Maka tidak pelak kalau kemudian
Arief Budiman, seorang dari pentolan Golput itu mengomentari
sikap Polisi jang demikian: "Hukum di Indonesia kelihatan
fleksibel sekali". Mungkin Arief Budiman tidak begitu benar dan
maklumlah, penguasa mungkin terlalu sibuk dalam urusan
kesehariannja. Akan tetapi, anak-anak negeri harus mendapat
kompas bagaimana berbuat seharusnja. Lebih-lebih urusan orang
hidup bukanlah hanja sekedar merajakan ulang-tahun seperti
pemudi di Tjirebon itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini