Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Dimana Pabrik Izin ?

Menurut W. Silalahi, ajun komisaris polisi dari komdak VII Metrojaya, Polisi berwenang memberi surat izin diskusi dan kopkamtib mengawasi materinya. Polisi melarang diskusi golput.

26 Juni 1971 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA suatu malam ditahun 1971 seorang pemudi merajakan hari ulangtahunnja dibilangan kota Tjirebon. Sebagaimana dilajakkan, maka izin untuk mengadakan pesta itupun sudah di dapat. Begitulah: manakala malam kian masak, beberapa anggota -- batja: oknum -- Hansip datang kesana dengan tugas menegur empunja pesta: djangan sampai terlalu malam. Sementara itu tuan rumah berkenan menjuguhi tamu-tamu bersendjata itu dengan makanan dan minuman sekenjangnja. Lalu kemudian alat-alat Pertahanan Sipil itu pulang -- mungkin karena sudah kenjang tanpa ingat lagi akan teguran jang di bawanja karena tugas. Sajang anekdot itu tidak bertjerita dari siapa didapatkan izin mengadakan pesta itu: sehingga masih perlu datang kawal Hansip. Akan tetapi pentolan-pentolan Golongan Putih dari Balai Budaja Djakarta, njaris mengadakan sebuah diskusi Orde Baru, Sedjauh mana Pelaksanaannja Dalam Kehidupan Dewasa Ini seandainja tidak tiba-tiba RAM Hadath, perwira menengah polisi dari Komwil 71 datang kediskusi itu dengan tugas: membubarkan orang-orang jang ada disitu karena katanja untuk diskusi diharuskan mendapat izin terlebih dulu dari Polisi. Dan bukan itu sadja pesan jang dibawa KP Hadath. Izin itu harus dimasukkan 3 hari 3 malam sebelumnja, Ketahuan. Kemungkinan sekali Hadath tidak tahu bahwa baru sadja beberapa hari sebelumnja Jajasan Indonesia bekerdjasama dengan Lembaga Bantuan Hukum dan Lembaga Hak-Hak Azazi Manusia tidak djadi melangsungkan diskusi Tahanan Politik karena bukan tak diizinkan Polisi, tapi karena tidak dibenarkan Kopkamtib. Djadi sebetulnja siapa jang berwenang memberi izin: Kopkamtib, Polisi, Kokamsung, Tjamat. Koramil, Lurah atau model-modelnja. Babinsa dan Hansip? Disinilah muntjul W.Silalahi, Adjun Komisaris Polisi dari Petugas Keamanan Negara (d/h DPKN) Komdak VII Metro Djaya. "Polisi". djawabnja tjepat. Tapi kemudian ia tambahkan bahwa sebetulnja Polisi tidak memberikan izin "hanja surat keterangan tidak berkeberatan dan ikut bertanggungdjawab keamanannja". Barangkali bisa disimpulkan, itu izin djuga maknanja, seperti djuga ditambahkan polisi berbintang tiga ketjil itu sendiri. "Kalau ada jang tidak memberitahu. Polisi dengan pertimbangan keamanan berhak memperingatkan atau membubarkan". Lalu akan Kopkamtib' "Kopkamtib hanja melarang materinja, bukan diskusinja sendiri. Sebab badan itu lebih tahu soal-soal sematjam itu" Benarkah? Agaknja soal izin-berizin ini masih taram-temaram. Penolakan izin diskusi Golongan Putih ternjata tidak hanja karena djangka pengadjuan permohonan jang kurang dari waktu jang diharuskan, tapi seperti kata surat jang diteken oleh KBP Dardjono (a/n Pangdak): "Soal Orde Baru tak perlu di diskusikan lagi karenasudah dirumuskan dalam Tap MPRS". Ketahuanlah bahwa Polisi-pun djuga mempersoalkan materi dan sekaligus melarang materinja. Sementara itu fihak Polisi rupanja punja argumen lain. Katanja untuk pengamanan Pemilu, Polisi memperketat pengawasan keamanan. Siapa tahu, alasan pelarangan oleh Komwil dan Komdak itu ada hubungannja untuk "membuat suasana falorable didekat Pemilu" . Tampaknja sukar dibuktikan djuga karena sekalipun Golongan Putih pernah di larang atas kegiatannja jang merupakan kampanje, tapi rentjananja pada hari Rabu tanggal 9 Djuni jang lalu itu adalah sebuah pertukaran fikiran dengan topik jang djauh dari urusan pilih memilih. Kompas. Walhasil, sulit djuga. Karena ternjatapun soalnja bukan hanja: "izin dari siapa", tapi berapa lama sebelum ja permohonan izin ataupun permohonan untuk memberitahu harus di sampaikan. Sementara fihak jang melarang Golput mengatakan 3 kali 24 djam Silalahi mengatakan: "Tidak boleh kurang dari 24 djam". Dan itu bukan asal mula dari kesemuanja. Seperti dikatakan Hakim Agung Asikin, galibnja diskusi-diskusi sempat jam ini tidak memerlukan sesuatu keinginan. Maka tidak pelak kalau kemudian Arief Budiman, seorang dari pentolan Golput itu mengomentari sikap Polisi jang demikian: "Hukum di Indonesia kelihatan fleksibel sekali". Mungkin Arief Budiman tidak begitu benar dan maklumlah, penguasa mungkin terlalu sibuk dalam urusan kesehariannja. Akan tetapi, anak-anak negeri harus mendapat kompas bagaimana berbuat seharusnja. Lebih-lebih urusan orang hidup bukanlah hanja sekedar merajakan ulang-tahun seperti pemudi di Tjirebon itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus