BARANGKALI sudah boleh dinjana: nasib surat Permintaan Pendapat
dari jang menamakan dirinja Golongan Putih kepada Mahkamah Agung
Republik Indonesia akan sempa dengan nasib pengaduan hukum jang
dimasukkan oleh MPEI dan Sabumusi beberapa waktu jang lalu. Dan
jang menjana itu bukan orang luar sadja, tapi seorang dalam dari
lingkungan peradilan tertinggi itu sendiri. "Memang betul", kata
Z. Asikin Kusumaatmadja, seorang dari lima Hakim Agung Republik
Indonesia, "Mahkamah Agung tak berwenang memberikan pendapat
ketjuali atas permintaan organ pemerintah". Djadi perkarakan
dulu, nanti pada tingkat kasasi, baru dapat di dengar pendapat
Mahkamah, persis seperti djawaban Mahkamah Agung pada MPBI dan
Sarbumusi (TEMPO, 22 Mei 1971).
Meskipun begitu alumnus FHUI 1954 itu rupanja tidak bisa hanja
melihat soal hukum dari segi kepentingan pemerintah semata.
Sebabnja. seperti dikatakannja sendiri: "Sedjauh ia mengenai
masalah hukum, sukar memisahkan antara pribadi saja sebagai
Hakim Agung ataupun pengadjar di UI". Maka berkenaan dengan
Permintaan Pendapat dari Golput itu komentarnja: Kalau ditunggu
kasasi, kapan sampai ke Mahkamah Agung?" Sedetik kemudian
didjawabnja: "Bisa bertahun-tahun". Dalam pada itu aktualitas
sesuatu masalah sudah menurun, orang-orang jang minta keadilan
tambah tersiksa.
Itulah sebabnja, kendatipun ia belum melihat surat Golput jang
di masukkan ke Mahkamah Agung per 10 Djuni jang lalu itu, Asikin
bertjerita tentang fasal 28 UUD 45 seperti jang ditanjakan.
"Setiap fasal dalam UUD", katanja diantara helaan tangannja,
"menurut jurisprudensi atau praktek tidak bisa didjalankan
setjara mutlak, karena penguasa selalu berhadapan dengan public
order
Tjerita kenalan Asikin ini tak djauh dengan jang dialami Golput
baru-baru ini. Siapa jang berhak memberi izin diskusi? Maka
katanja: "Sebagai warga negara, kita berhak meminta kepada
penguasa, supaja ditegaskan kepada siapa kita harus minta izin".
Disinilah perlunja kesadaran hukum masjarakat jang menurut
Asikin, anak Dr Kusumaatmadja jang djuga-pernah mendjabat
sebagai Hakim Agung, masih amat kurang sekali.
Lalu apa peranan Malhamah Agung sendiri dalam hal ini?
Kelihatan- nja belum ada dan "itulah kelemahan Mahkamah", kata
Asikin, seakan ditudjukan kepada dirinja sendiri (ketertiban
umum). Adapun batasnja menurut Asikin, tak ada suatu kesetudjuan
bersama (general rule). Ahan tetapi menurut Pengadjar Hukum
Atjara Perdata FH UI itu, soalnja belumlah begitu djauh. Sebab
setahunja segala matjam diskusi jang dibuat selama hari ini
tidaklah memerlukan izin. Begitupun diakuinja djuga bahwa
setelah melihat sesuatu posisi kasus, penguasa dapat sadja
bersikap lain .
Kenalan. Tapi bukankah fasal itu sendiri belum punja
undang-undang pelaksanaan, jang dapat djadi alasan bagi Polisi
untuk melarang suatu atjara tukar omong? "Itu bisa sadja tapi
seharus-nja penguasa mengeluarkan undang-undang: mana jang
boleh, mana jang tidak", kata Asikin.
Dalam pada itu adalah sebuah tjerita dari seorang kenalan hakim
Agung itu sendiri. Seorang kenalannja -- dengan perasaan
menjesal tak bisa ditolongnja -- mentjeritakan bagaimana dia
pernah ditahan Polisi jang kemudian karena ternjata tidak
bersalah lalu dilepaskan. Tapi sesudah itu Djaksa menahannja
elama 30 hari. Kemudian bebas dan ditahan lagi, kali ini oleh
POMAL. "Siapa sebenarnja jang berhak menahan saja?" tanja sang
kenalan pada Asikin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini