Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Paterus alias Aliong sungguh tak pernah bermimpi mengalami nasib seperti sekarang. Pria 46 tahun yang sehari-hari bekerja sebagai pegawai administrasi keuangan itu tiba-tiba menduduki jabatan Direktur Operasi PT Praga Jaya Sentosa. Jabatan tiban itu, sayangnya, tidak disertai gaji besar atau fasilitas yang menggiurkan, tapi merupakan posisi sebagai pesakitan.
Di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Senin pekan lalu, Paterus harus duduk di kursi terdakwa dalam kasus kebakaran kapal motor Levina I yang terjadi pada 22 Februari silam. Ia dituduh bertanggung jawab atas pemalsuan manifes yang berisi daftar penumpang dan barang. Praga jaya merupakan perusahaan pelayaran yang mengoperasikan kapal nahas itu.
Dalam manifes tertera bahwa kapal yang terbakar di perairan Beting Eka, Laut Jawa, hanya 45 mil atau 72,5 kilometer ke arah utara dari Pelabuhan Tanjung Priok, itu mengangkut 227 penumpang dan 40 unit kendaraan. Namun, setelah kejadian, penyidik menemukan kapal yang tengah berlayar menuju Teluk Dalam, Pulau Bangka, itu mengangkut 350 penumpang plus 55 unit kendaraan.
Keluarga Paterus, terutama istrinya, Merry, tentu saja menolak tuduhan pemalsuan manifes. ”Aliong cuma mengurus penagihan uang hasil penjualan tiket,” ujarnya sambil menangis.
Sugandi Ishak, kuasa hukum Paterus, menambahkan, ”Dalam kasus ini dia tidak pernah membuat atau menandatangani manifes.” Kecurigaan pun merebak bahwa Paterus sengaja dijadikan kambing hitam. Kliennya, menurut Sugandi, tak seharusnya dihukum dalam kasus pemalsuan manifes ini.
Syak wasangka sebetulnya sudah tebersit sejak sebulan lalu. Saat itu Paterus, yang statusnya masih tersangka, dipanggil untuk dimintai keterangan sebagai saksi oleh Mahkamah Pelayaran. Ketika itu, sudah ada tiga orang lain yang ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan polisi. Mereka adalah nakhoda Andi Kurniawan, mualim I Sumaryo, dan mualim III Subroto.
Di depan Mahkamah Pelayaran itulah pertama kalinya nama Paterus dicantumkan sebagai Direktur Operasi PT Praga Jaya Sentosa. Posisi itu berdasarkan selembar surat yang ditandatangani direktur sekaligus pemilik Praga, yaitu Hendry alias Alun, yang dilayangkan ke Mahkamah. Di sana tercantum juga nama karyawan lain yang akan dipanggil Mahkamah.
Penunjukan mendadak sebagai direktur operasi ini, kata Sugandi, tanpa setahu Paterus. Sejak bergabung di perusahaan itu dua tahun lalu, ia hanya ditugasi menagih penjualan tiket di agen-agen kapal Levina yang berada di Jakarta. Uang hasil penagihan kemudian dicatat dan disetorkan ke rekening Hendry. ”Surat keputusan pengangkatannya sebagai direktur operasional juga tidak ada,” kata Rochdiyanto, pengacaranya yang lain.
Merry menambahkan dengan nada geram, ”Direktur dari mana? Siapa yang mengangkat? Cuma jual tiket kok mendadak jadi direktur gara-gara bencana.” Ia menjelaskan, suaminya cuma karyawan biasa yang terkadang harus bekerja siang dan malam dengan gaji Rp 6,5 juta sebulan.
Penghasilan tersebut digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah seorang putranya. Sampai sekarang, mereka masih tinggal di permukiman sederhana di kawasan Pamulang, Tangerang, Banten. ”Mana ada direktur rumahnya di perumahan BTN?” katanya. Sebelum bekerja di Praga, Paterus sempat bekerja sebagai sopir taksi.
Mencium gelagat akan dikorbankan, Paterus segera mencabut surat kuasa dari tim penasihat hukum perusahaan yang semula mendampinginya. Ia kemudian menunjuk tim penasihat hukum sendiri.
Saat hendak ditemui di kantor perusahaannya di kawasan Sunter, Jakarta Utara, Senin pekan lalu, Hendry tak ada di tempat. ”Dia sedang berada di luar kota,” ujar Elindo Saragih, pengacaranya.
Mewakili Hendry, Elindo mengatakan, Paterus selama ini bertugas menangani segala macam urusan kantor Praga di Jakarta, termasuk urusan manifes kapal. ”Saya tidak mengatakan dia direktur operasi,” katanya. ”Yang jelas, dia meng-handle segala urusan di Jakarta.”
Senyampang dengan itu, Elindo menampik istilah kambing hitam. ”Perusahaan tidak pernah mengorbankan siapa pun,” ujarnya. Perusahaan, menurut dia, justru ingin tak satu pun karyawannya dihukum.
Kenyataannya, posisi Paterus tetap rawan. Penyidikan polisi juga mengarah ke dirinya. Ajun Komisaris Edi Guritno, Kepala Seksi Pembinaan dan Penegakan Hukum Direktorat Polisi Perairan Jakarta, menerangkan, Paterus memiliki kompetensi sebagai pengendali operasi Praga cabang Jakarta. ”Saksi yang kami periksa mengatakan hal itu secara serempak,” ujar Edi.
Saksi itu antara lain anggota staf administrasi Praga, Agustina alias Titin, dan nakhoda Andi Kurniawan. Titin mengaku diperintah Paterus membuat manifes berdasarkan data tiket yang masuk. Perintah itu mengindikasikan dia memegang kendali operasional di Jakarta. ”Termasuk untuk kapal Levina I,” ujar Edi. Jadi, kendati tak ada surat resmi yang menunjukkan Paterus merupakan penanggung jawab operasi Praga, ia tetap dibidik.
Tim pengacara Paterus tentu saja menolak semua tuduhan itu. Jika penyidik ingin mengusut kasus kebakaran kapal Levina I, kata Sugandi, seharusnya kembali ke kasus kebakaran kapal yang menimbulkan korban jiwa. ”Siapa yang salah, itu yang dicari,” katanya.
Setelah itu, baru ditelusuri akibat kebakaran, misalnya bila ada penumpang atau ahli waris dan pemilik barang yang merasa dirugikan karena tidak mendapat penggantian asuransi. ”Kenapa tidak terima asuransi, gara-gara namanya tidak tercantum di manifes. Baru penyidikan mengarah ke manifes, jadi jangan dibalik,” ujar Sugandi.
Merujuk undang-undang tentang pengangkutan, nakhoda juga bertanggung jawab atas kapasitas penumpang yang diangkut kapal. ”Ada atau tidak adanya penumpang di atas kapal menjadi tanggung jawab nakhoda,” katanya. ”Masak, bagian keuangan yang bertanggung jawab?”
Tim pengacara juga membantah kesaksian Titin. Menurut keterangan Paterus, manifes kapal justru diisi oleh Titin dan dilaporkan kepada Hendry sebagai direktur sekaligus pemilik kapal. Sang boslah yang menentukan bisa atau tidaknya kendaraan masuk ke kapal. ”Jadi, secara hukum, pemilik kapal dan direktur harus bertanggung jawab,” kata Sugandi. Dus, mereka menilai dakwaan jaksa bahwa Paterus yang bersalah memiliki banyak kelemahan.
Sayangnya, ”pertempuran” di depan meja hijau urung terjadi. Pekan lalu, sidang yang seharusnya mengagendakan pembacaan dakwaan ditunda selama sepekan oleh ketua majelis hakim Mochamad Mawardi. Penundaan dilakukan karena jaksa penuntut umum Alfred Tasik Palulungan dan Lukman serta terdakwa tidak hadir di persidangan.
Jaksa Lukman mengaku mangkir di persidangan karena belum menerima penetapan jadwal sidang. Kendati sidang ditunda, kecemasan masih membayangi Paterus dan keluarganya. Soalnya, jaksa tetap akan menjerat direktur tiban ini dengan Pasal 452 dan 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang pemalsuan dokumen. Sial betul nasib Paterus jika kasusnya benar seperti ini.
Dimas Adityo, Fery Firmansyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo