Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Meregang Nyawa di Alas Tlogo

Empat warga tewas diberondong pelor marinir di atas tanah sengketa yang mereka huni. ”Marinir menembak karena kepepet,” kata Komandan Korps Marinir Mayjen Safzen Noerdin.

4 Juni 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

”Pak, apa bedil sampean pakai peluru karet?”

”Tidak, kalau warga macam-macam, bisa ditembak mati.”

”Kalau perang, jangan dengan rakyat, Pak.”

”Pokoknya, warga tidak boleh maju, harus balik.”

Dialog ini terjadi antara Sunaji serta Kasari, dua warga Desa Alas Tlogo, Lekok, dan 12 anggota Pusat Latihan Tempur Marinir dari Grati, Pasuruan, Jawa Timur, Rabu pagi pekan lalu. Keduanya menanyakan maksud para anggota marinir itu berada di mulut jalan desa.

Percakapan terhenti setelah puluhan warga merangsek ke arah barikade marinir. ”Ayo serbu….” Tak lama kemudian, seorang anggota marinir melepaskan tembakan peringatan. Selanjutnya, dalam jarak sekitar 15 meter, pasukan tempur ini memuntahkan peluru tajamnya ke arah warga. Tratatat….

Sepuluh warga Alas Tlogo tersungkur bersimbah darah. Empat orang di antaranya, Dewi Chotijah, Mistin, Rohman, dan Sutam, tewas diterjang peluru tajam. Sedangkan enam warga lain, termasuk Choirul, bocah 4 tahun, juga menjadi korban muntahan peluru. Sampai akhir pekan lalu, sang bocah masih terbaring di rumah sakit, ditemani ayah dan motor mainannya. Proyektil di dadanya susah dikeluarkan….

Mereka tewas ketika lintang-pukang menyelamatkan diri. Dewi Chotijah, yang hamil lima bulan, tertembak di bagian kepalanya. Sebelum ajal menjemput, Dewi tengah memarut singkong di teras musala. Saat pecah tembakan, ibu muda ini langsung berlari dan menutup pintu rumah. Tapi sia-sia. Timah panas menembus dinding pintu rumah sebelum akhirnya meremukkan pelipis kanannya. ”Mengapa anak saya ditembak?” tanya Jumatun, ayah Dewi.

Jumatun tak henti menatap pintu rumahnya yang bolong, tempat anaknya meregang nyawa. Sekali-sekali pandangannya beralih ke lembar foto Dewi yang tengah tertawa saat menggendong Lutfiatun, anak semata wayangnya, yang berusia 2 tahun. Tawa Dewi tak akan dijumpai lagi di sana. Sejak peristiwa berdarah itu, kesedihan dan amarah menyesakkan dada hampir semua warga Alas Tlogo. Kamis pagi pekan lalu, jasad empat warga ini dikuburkan berdampingan.

Sebagai rasa berkabung sekaligus menghormati mereka, tiap warga mengibarkan bendera merah-putih setengah tiang di jalan-jalan desa. Mereka dianggap sebagai martir dari perjuangan warga untuk memperebutkan tanah seluas 539 hektare yang kini masih dalam penguasaan TNI Angkatan Laut.

Bentrokan berdarah antara warga Alas Tlogo dan satu regu pasukan marinir dari Pusat Latihan Tempur Marinir, Grati, Kabupaten Pasuruan, ini merupakan peristiwa terburuk dari sejarah sengketa tanah seluas 3.676 hektare antara ribuan warga di sebelas desa di Kecamatan Lekok serta Kecamatan Nguling, Pasuruan, dan TNI AL.

Selasa pekan lalu, sehari sebelum tragedi meletus, warga Alas Tlogo memergoki ada tiga traktor milik PT Kebon Grati Agung (KGA) sedang membajak tanah yang diklaim milik rakyat. Hanya, saat itu, warga tak berani melarang karena pembajakan tersebut dikawal marinir. Pembajakan tanah sengketa itu dilakukan oleh anak perusahaan PT Rajawali I.

Setelah dilapori warganya, Kepala Desa Alas Tlogo Imam Sugnadi mengirim surat kepada Komandan Pusat Latihan Tempur Marinir, Grati, Mayor Husni Sukarwo, agar pembajakan tanah tidak dilanjutkan. Tapi Husni tak peduli. ”Suruh saja dia (Kepala Desa) ke sini,” kata Husni.

Imam pun tak mau datang ke markas marinir di jalan raya Grati, Pasuruan, itu. Sore itu, aroma ketegangan sudah membayang. Benar, esoknya, warga marah setelah melihat traktor KGA menderu-deru di ladang singkong penduduk. Tampak puluhan anggota marinir bersiaga di dekat ladang itu.

Namun warga tak gentar. Puluhan pria dan wanita merangsek maju. Baru setelah marinir melepaskan tembakan, warga berhamburan. Sunaji melihat dua orang marinir meletupkan senjata pistolnya dan sepuluh orang lainnya mengokang senjata laras panjang. ”Mereka menembak ke kiri dan ke kanan,” kata seorang saksi mata.

Setelah jatuh korban, warga marah. Mereka lalu memblokir jalan raya Grati-Pasuruan, jalur utama Surabaya-Banyuwangi. Amarah mereka reda setelah Gubernur Jawa Timur Imam Utomo dan Panglima Komando Armada Timur Laksamana Muda Moeklas Sidik meminta maaf atas insiden tersebut. Saat itu juga Mayor Husni Sukarwo dicopot. ”Agar proses hukumnya berjalan lebih lancar,” kata Komandan Korps Marinir Mayjen Safzen Noerdin pekan lalu.

Selain itu, 12 anggota marinir anak buah Husni telah ditarik ke Surabaya untuk diperiksa. Tapi, kata Mayjen Noerdin, belum tentu mereka bersalah. ”Marinir menembak karena kepepet,” katanya. Ada lima anggotanya yang kena lemparan batu. Dia juga membantah tudingan bahwa marinir mengawal pengolahan tanah yang dilakukan PT Kebon Grati Agung. ”Mereka sedang berpatroli,” kata Noerdin.

Alasan patroli ini diragukan warga. Pasalnya, sepekan sebelum bentrok dengan warga Alas Tlogo, satuan marinir yang dipimpin Letnan Dua Budi Santoso juga tengah menjaga pembajakan tanah yang dilakukan KGA di Desa Sumber Anyar. ”Padahal tanah tersebut juga dalam sengketa,” kata Kepala Desa Sumber Anyar Purwo Eko kepada Tempo. Beruntung, saat itu terjadi tak terjadi bentrokan karena KGA tidak meneruskan pembajakan tanah di Sumber Anyar.

Saat ini ada 4.115 keluarga yang tinggal di atas tanah seluas 3.676 hektare itu. Sejak 1999, tanah tersebut menjadi tanah sengketa antara warga dan TNI AL. Tanah ladang yang berbentuk perbukitan ini terletak di pinggir jalan raya Grati, Pasuruan, meliputi sebelas desa di Kecamatan Nguling dan Kecamatan Lekok.

Bentrokan berdarah ini adalah buntut dari rentetan gugatan warga Alas Tlogo dan warga Sumber Anyar untuk merebut kembali tanah mereka yang dikuasai TNI AL. ”Warga desa merasa diperlakukan tidak adil,” kata Fathor Arifin, Kepala Bagian Pemerintahan Kabupaten Pasuruan.

Berdasarkan hak pakai yang diberikan Badan Pertanahan Pasuruan kepada Pangkalan Utama TNI AL Surabaya pada 1993, tipis harapan warga di sebelas desa itu, termasuk Desa Alas Tlogo, Sumber Anyar, dan Wates, bisa memiliki tanah tersebut. Meskipun bukan lahan subur, dari hasil mengolah tanah inilah warga bisa menghidupi keluarganya.

Angkatan Laut mengklaim telah membeli tanah itu pada 1961-1963. Mereka mengaku punya hak pakai yang akan berakhir pada 2018. ”Di atas lahan tersebut akan dibangun Pusat Pendidikan dan Latihan TNI AL terlengkap dan terbesar untuk marinir dan pelaut,” kata Kepala Dinas Penerangan Komando Armada Timur Letkol Laut Toni Syaiful.

Masalahnya, TNI AL tak memiliki dana untuk membangun lahan tersebut. Karena itu, pada 1974, sebagian tanah itu digunakan untuk lahan transmigrasi lokal bagi 185 keluarga prajurit TNI AL. ”Agar lahan tidak telantar,” kata Letkol Toni. Konflik meruyak karena permukiman prajurit tersebut juga menggusur rumah warga. Mereka menyesal melepaskan tanahnya. ”Karena saat itu warga diintimidasi,” kata Mustofa, salah satu tokoh Forum Komunikasi Tani Desa Sumber Anyar.

Berulang kali konflik terjadi di sini. Apalagi setelah pihak swasta diberi hak untuk menyewa lahan luas ini. Pada 1978, lahan tersebut disewakan kepada PT Asembagus untuk ditanami kapas. Pada 1984, lahan itu disewakan kepada PT KGA untuk ditanami tebu. Padahal, sebelum lahan tersebut disewakan ke swasta, warga bisa menanam wijen, jagung, dan jarak dengan sistem bagi hasil dengan TNI AL.

Pada 1999, setelah Soeharto jatuh, warga berusaha merebut tanah bermasalah itu. Enam tahun silam, warga Sumber Anyar pernah mengajukan surat ke Menteri Dalam Negeri agar hak pakai TNI AL dibatalkan. Tahun lalu, warga Alas Tlogo juga menggugat TNI AL dan PT Rajawali I atas penguasaan tanah tersebut di Pengadilan Negeri Bangil. Maret lalu, putusan pengadilan menolak gugatan warga.

Sampai kini TNI AL berkukuh ingin menguasai lahan secara luas. Untuk meredam gejolak, dalam sebuah pertemuan dengan sebelas kepala desa, Panglima Komando Armada Timur Laksda Moeklas Sidik meminta warga bersedia dipindahkan. Sebagai ganti rugi, setiap keluarga diberi imbalan tanah seluas 500 meter persegi.

Tapi, belum ada kata sepakat, terjadilah insiden penembakan Rabu pekan lalu itu. ”Hak pakai TNI AL harus dibatalkan, dan biarlah pemerintah daerah yang mengatur pendistribusian tanahnya,” kata Mustofa, tokoh di Desa Sumber Anyar. Sebelum titik temu dicapai, tampaknya mustahil konflik bisa diakhiri.

Zed Abidien (Pasuruan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus