Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Ditipu sampai malu

Kawanan penipu berkedok pengusaha asing bergentayangan di sini. korbannya enggan melapor, malu dibodohi untuk main judi kancing.

15 Januari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENIPUAN bercorak sama di berbagai kota besar Indonesia meronai awal tahun ini. Terutama setelah sebuah koran di Jakarta mengungkapkan banjir telepon pengaduan puluhan korban (dan calon korban) di kantor redaksinya. Termasuk yang ditipu enam tahun lalu. Herannya, meski ada yang sampai amblas Rp 1 miliar, hingga kini tak satu pun yang melapor resmi ke polisi. "Padahal, mereka tentu akan kami lindungi dari kemungkinan ancaman pelaku," ujar Kepala Dinas Penerangan Polda Metro Jaya, Letnan Kolonel Latief Rabar, yang mengimbau agar korban melapor untuk memudahkan polisi melacak. Ia menduga, korban enggan lantaran merasa telak diperdaya. Dipancing nafsu serakahnya, lalu diajak berjudi sampai duit ludes. "Saya malu berat," alasan Hartoko, 55 tahun, salah satu korban yang saking malunya pun tak ingin namanya disebut lengkap. Jiwanya pun sempat terguncang. Begitu uang lenyap, pengusaha rumah kontrakan ini merasa mukanya pun ikut menguap. "Kok, saya mau saja membuang uang begitu banyak dalam permainan anak-anak," gumam ayah dua anak ini, yang terkenal hemat dan hati-hati dalam berbisnis. Saat Han dan Herman datang awal November lalu, Hartoko tak mengira bakal dikerjai habis-habisan. Kedua pria keturunan Cina berusia 30-40 tahun itu tampak seperti orang baik-baik, mengaku perantara Mr. Wong, warga negara Hong Kong yang ingin menyewa rumah Hartoko di bilangan Radio Dalam, Jakarta Selatan. Hartoko dan istri lalu diajak menemui Wong di sebuah kamar di Hotel Sahid. "Penampilannya meyakinkan sekali sebagai pengusaha berkelas," tutur Hartoko, yang terkesan pada Wong, yang selalu berjas-dasi, fasih berbahasa Inggris dan Mandarin dalam mengumbar pengetahuannya dalam bisnis properti. Waktu itu, didampingi Beni (orang lokal, berumur sekitar 30), Wong bilang, hendak mengontrak rumah untuk ibu bosnya yang sudah sakit-sakitan, supaya jauh dari kebrutalan Philip Teo. Adik bos ini kerjanya cuma berjudi dan main cewek. Selagi berbincang, tiba-tiba Philip muncul. Lagaknya sombong, melirik Hartoko pun tidak, bahkan sempat memamerkan sekoper duit. Katanya, uang sejuta dolar AS itu mau dihabiskan di meja judi di kawasan Pluit, Jakarta Utara. Di depan tamunya, Wong menasihati Philip agar tidak menghamburkan uang keluarga. Tapi Philip, yang berbicara dengan logat Cina-Malaysia, balik memaki Wong. Tiga temannya cuma bisa mematung. "Caciannya pedas sekali, sampai saya lihat air mata Mister Wong terbenang," cerita Hartoko, yang saat itu juga jatuh hati. Wong, yang mengurusi "perusahaan", dihina begitu saja oleh saudara bos yang cuma bisa buang-buang duit. Hartoko dan istri ngenes menyaksikannya. Begitu Philip pergi, suasana persaudaraan yang emosional meruap di kamar itu. "Kita harus menyelamatkan uang di kopornya itu," kata Wong. Usulannya, daripada dihabiskan Philip di Pluit, lebih baik diambil alih dengan cara mengajaknya berjudi "kancing" di antara mereka sendiri. "Kalau kita kompak, Philip bisa kita kalahkan," begitu usul Wong. Judi ini, menurut Wong, ditanggung aman alias pasti menang. Caranya, setiap putaran, bandar meraup kancing dari mangkuk berukir kepala dan buntut naga. Lalu dihitung dan dibagi jumlah pemain. Jumlah sisa pembagian itulah nomor pemenang. Siapa yang menang tergantung berapa kancing yang diambil bandar. Judi ini, katanya, permainan raja-raja Cina kuno agar selir-selirnya tak saling iri. Sebagai bandar, raja bisa mengatur siapa selir yang kena "giliran". Karena melalui judi, terkesan adil. Hitung punya hitung, menurut Wong, untuk mengajak Philip perlu modal sekitar US$ 400 ribu (sekitar Rp 800 juta). Ia dan ketiga kawannya hanya punya US$ 300 ribu. Sisanya, ia minta Hartoko ikut serta. Simpati sudah bersemi, terutama istrinya, jadi mereka setuju saja. Apalagi Hartoko dijadikan bandar. Pasti aman, begitu kata Wong. Lusanya, Hartoko mengambil Rp 170 juta di bank. Uang itu hasil menjual salah satu rumahnya. Enam putaran pertama, Hartoko memang menang. Tapi, setelah kedelapan, Philip terus unggul. Di akhir permainan, akibat tiap ganti putaran taruhan berlipat dua, Hartoko bahkan berutang hampir Rp 1 miliar kepada Philip. Namun, Hartoko baru sadar tertipu setelah kawanan itu tak pernah bisa dikontaknya lagi. "Mereka berpindah-pindah. Terakhir saya kontak, katanya sedang di Batam," katanya kepada Rihad Wiranto dari TEMPO. Ia pun makin sadar sesudah diberi tahu kiri-kanan, bahwa yang senasib bertebaran di berbagai kota besar. Umumnya berciri sama: pasangan suami istri WNI keturunan Cina yang cukup kaya tapi tak biasa berjudi. Mereka dipancing emosinya untuk bersekutu mengerjai Philip di meja judi, tapi yang terjadi sebaliknya. Kawanan ini sebenarnya tak selalu sukses. Pasangan Johannes-Fifi, misalnya. Calon korban ini terlalu terpancing emosinya. Sampai-sampai Fifi malah mengusulkan pada kawanan ini agar melaporkan saja permainan judi Philip ke polisi. Tentu saja mereka ngeri sendiri dan buru-buru kabur. Kendati jumlah korban banyak dan pelaku bertopeng pengusaha terhormat, aksi sindikat penipu ini tak tergolong kejahatan kerah putih (white collar crime). Apalagi di Indonesia, definisi yang dipopulerkan kriminolog AS Edwin Sutherland sejak tahun 1947 ini telah berkembang. Tak cuma mencakup ulah pengusaha berbisnis haram di bawah payung perusahaan " baik-baik". Tapi juga soal kong-kali-kong dengan aparat birokrasi. "Selain itu, sasaran yang dirugikan adalah individu-individu, bukan masyarakat secara luas. Jadi, aksi kawanan itu hanya tindak penipuan biasa," kata dosen kriminologi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, Romli Atmasasmita, S.H., LL.M., kepada Ahmad Taufik dari TEMPO.Ivan Haris, Widi Yarmanto, dan Taufik T. Alwie

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus