INI bukan gelar puisi, tetapi gelar doa: "Bagi pahlawanku Yulius Usman, dan arwah seperjuangan lainnya, kami menangisi gedung sejarah Orde Baru yang direbut dari tangan pengkhianat bangsa, kini, telah hancur berantakan diporak-porandakan sekaligus dimakan oknum pengkhianat bangsa. Berilah kekuatan dalam menegakkan keadilan yang hakiki. Kami tak akan mundur sejengkal tanah pun." Doa ini diucapkan para eksponen Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), dan Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI) di hadapan majelis hakim Pengadilan Negeri Bandung, Selasa pekan lalu. Beberapa tokoh organisasi itu, seperti Thomas Sitepu, Amartiwi Saleh, dan Haryadi, tampak khusyuk mengikuti doa yang dipimpin Martin Rukmana. Yang dipersoalkan kini adalah bekas gedung bersejarah yang diberi nama Yulius Usman di Jalan Lembong 19, Bandung, yang sudah pindah tangan. Mereka menuduh Awong Hidjaya, Direktur PT Hadtex -- yang membeli tanah di kawasan strategis itu -- ingkar janji. Gedung di atas tanah seluas 5.000 meter persegi yang dipersoalkan itu sebenarnya sudah hancur rata tak berbekas. Yang ada hanya rumput ilalang liar dikelilingi pagar seng bercat biru. Dulu, sebelum menjadi markas perjuangan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI)-KAMI, gedung seluas 2.000 meter persegi itu dipakai untuk sekolah Cina, milik Yayasan Kwang Siaw Hwee Kwan -- yayasan milik Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki), organisasi di bawah PKI. Pada 27 Februari 1966, gedung itu dikuasai KAPPI-KAMI Bandung. Menurut bekas Ketua Presidium KAPPI Bandung, Thomas Sitepu -- terlibat aktif dalam gugatan ini -- pada 16 Agustus 1966, KAMI Bandung di bawah pimpinan Sugeng Sarjadi menyatakan tidak lagi mengakui Bung Karno sebagai Presiden RI. Hal ini berkaitan dengan pidato Bung Karno, Nawaksara, yang tidak mengutuk PKI atas terjadinya peristiwa 30 September 1965. Akibatnya, di markas KAMI itu terjadi bentrokan fisik dengan pendukung Bung Karno. Salah satu korban yang gugur adalah Yulius Usman, anggota KAMI, mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Parahyangan. Yulius, yang meninggal dunia 19 Agustus 1966, namanya kemudian diabadikan sebagai nama gedung. Peresmiannya saat itu dilakukan Pangdam Siliwangi H.R. Dharsono. Dalam perkembangannya, gedung itu ditempati sekitar sepuluh kepala keluarga eksponen 1966. Tapi akhirnya, keberadaan mereka terusik oleh surat keputusan Pengadilan Negeri Bandung pada 1988, yang menyatakan gedung itu sebagai milik Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Putusan Pengadilan Negeri Bandung itu berdasarkan gugatan yang diajukan kuasa hukum Departemen P dan K, Nyonya Enok Sarifah. Sebagai tergugat adalah Yayasan Kwang Siaw Hwee Kwan -- penyelenggara sekolah Cina tadi. Tergugat, yang tak pernah hadir itu, dinyatakan kalah. Namun, diam-diam Departemen P dan K menjual tanah dan bangunan itu kepada pengusaha Bandung, Awong Hidjaya. Untuk menjaga agar tak terjadi masalah di kemudian hari, pada 8 Agustus 1990, antara eksponen 66 (diwakili Thomas Sitepu) dan Awong dilakukan perjanjian, antara lain pengusaha harus menyediakan dana Rp 200 juta untuk biaya pindah warga. Eksponen 66 juga meminta Awong membuat prasasti yang bertuliskan: Di sini pernah terjadi peristiwa bersejarah penumpasan G-30-S/PKI 1965. Di dalam turut serta peranan pemuda pelajar dan mahasiswa menegakkan Orde Baru. Prasasti yang dipasang itu harus ditandatangani Menteri P dan K. Setelah uang dikeluarkan, para keluarga eksponen 66 meninggalkan bangunan dan tanah seharga Rp 5 miliar itu. Ternyata masalahnya belum selesai sampai di situ. Pada 26 September 1992, isi perjanjian itu dimuat sebagai iklan di harian Media Indonesia. Iklan itu dianggap tidak utuh karena tak ada klausul untuk membangun prasasti di atas tanah bekas Gedung Yulius Usman. Dan ini dinilai sebagai penghinaan terhadap perjuangan eksponen 66. Mereka meminta ganti rugi Rp 1 miliar untuk pencemaran nama baik dan Rp 36 juta untuk membuat iklan secara lengkap dan utuh di harian yang sama. Sampai pekan lalu, sidang yang marak pengunjung itu belum putus. Mengapa menggelar doa? "Doa itu hanya mengingatkan perjuangan Yulius Usman dan kawan-kawan yang telah gugur, sambil mengingatkan bahwa sekarang perjuangannya akan dilupakan begitu saja," ujar Thomas. Awong sendiri tak mau berkomentar. Namun, menurut kuasa hukumnya, Dullah Sudarso, gugatan ini dipolitisasi oleh beberapa gelintir eksponen 66. Gugatan yang diajukan mengada-ada. Untuk pemindahan penghuni Gedung Yulius Usman, pihak Awong, kata Dullah, sudah mengeluarkan biaya Rp 360 juta. Jumlah itu belum termasuk ruitslag (tukar guling) gedung itu, yang mencapai Rp 6 miliar lebih -- termasuk untuk membangun kantor KNPI Kota Madya Bandung beserta rumah toko (ruko) di Jalan Kurdi. Tentang prasasti? "Lo, bangunannya saja belum dibangun, kok, minta prasasti." Soal pemuatan iklan, ditegaskan bahwa kliennya tak pernah menyuruh memuat iklan semacam itu. Munculnya gugatan justru disayangkan Dullah. "Akibat segelintir orang yang memanfaatkan untuk kepentingan pribadi, nama eksponen 66 yang harum malah bisa tercoreng. Saya yakin eksponen 66 sendiri tak sejauh itu. Ini hanya keinginan baberapa anggota," katanya.Aries Margono dan Ahmad Taufik (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini