Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Tokoh

Anak-anak muda mencari tokoh untuk dikagumi dan ditauladani. mereka resah. kisah-kisah sukses para tokoh kehilangan daya pikatnya. karena di Indonesia, semua hanya seperti kisah lampu aladin: mukjizat tanpa ikhtiar.

15 Januari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAYA tidak tahu benarkah kita kini masih bisa punya tokoh. Saya juga tidak tahu benarkah kita memang perlu cari tokoh. Tapi anak-anak muda yang paling resah hari ini mencari tokoh dari puing-puing -- dari pelbagai macam puing. Indonesia, yang dalam sejarahnya yang keras cukup banyak menyaksikan penggusuran dan penghancuran, adalah sebuah lingkungan yang peka untuk impian semacam itu. Maka, pahlawan bagi mereka adalah orang-orang yang dengan paras tajam yang robek berdiri terus dari reruntuhan, dengan otot liat, perut kencang, kaki kukuh (meskipun luka) dan berkata, "Kami tahu apa artinya dianiaya." Anak-anak muda mencari lambang, juga sumber, kekuatan dari situ. Tentu saja dalam proses itu mereka bisa salah. Sebab, terkadang dari puing-puing yang berkecamuk hanyalah sejenis amarah, perasaan aku-paling-suci, dan pemujaan kepada kekuatan diri, bukan rasa solidaritas dan kepekaan kepada rasa pedih yang menusuk orang lain. Terkadang pahlawan-pahlawan yang bangkit dari reruntuhan, dari penjara, dari kekalahan politik, dari keterdesakan kekuasaan, akhirnya juga tidak bisa bebas dari sindrom jagoan-tua: punya penyakit ego bengkak, merasa tergolong jawara abadi, dan mengira -- dengan rasa proporsi yang telah dirundung encok -- bahwa perjuangan masa lalu adalah ukuran segala-galanya. Tapi di mana lagi tokoh? Anak-anak muda yang resah (dan pada saat yang sama mungkin juga yang paling kreatif) tak ingin bertepuk buat orang-orang empuk yang duduk di mobil dan kursi enak, yang sering mengesankan suka makan terlalu banyak dan hampir tiap hari menambah lapisan lemak di perut. Dengan kata lain, tak menarik. Kisah-kisah orang sukses telah kehilangan daya pikatnya, karena di Indonesia, semua hanya seperti kisah lampu Aladin: mukjizat yang tanpa keberanian, tanpa ikhtiar. Anak-anak muda mencari tokoh, bahkan pahlawan, bukan karena mereka ingin bermain sim salabim. Tetapi tidakkah sebenarnya hasrat mencari seorang tokoh untuk dikagumi siang dan malam itu termasuk dalam bagian hasrat mencari kisah fantasi? Khususnya di Indonesia? Saya tidak tahu sejauh mana kesan saya benar, tetapi rasanya kehidupan di negeri ini tidak demikian cocok untuk mengibarkan keunggulan personalities. Pribadi yang menonjol bisa berkembang penuh di suatu masyarakat yang tidak banyak rem bagi inisiatif, orisinalitas, dan persaingan individual. Di masyarakat yang seperti kita tidak. Masyarakat kita -- yang padat penduduk dan terbiasa pas-pasan ini, sejak dari rumah masa kecil kita dulu -- punya naluri untuk lebih memperhatikan kehadiran dan respons orang lain, untuk mempertimbangkan kolektivitas, sehingga kata "aku" sering diperhalus menjadi kata "kami", bahkan "kita". Mitos kita dibangun dengan simbolisme lima jari tangan atau lidi yang seikat jadi sapu. Apalagi sekarang semangat itu mendapatkan aksentuasi baru -- kendatipun sedikit berbeda. Dalam suatu atmosfer birokratis yang memayungi segenap penjuru, kita cenderung lebih menampilkan organisasi dan kelembagaan yang tanpa muka ketimbang seorang superstar. Yang berkembang pada akhirnya adalah "petugas-petugas" atau "pejabat-pejabat", bukan "pendekar-pendekar". Tidak seluruhnya hal itu buruk. Keadaan kita barangkali akan lebih centang-perenang seandainya Indonesia diurus oleh sejumlah orang yang dengan tiap kali sibuk minta dielus-elus egonya, dan tiap kali bersitegang untuk mendapat aplaus. Keadaan kita agaknya akan lebih menyesakkan bila nanti orang-orang yang punya kekuasaan mulai menuntut (setelah mereka memandang ke cermin di pagi hari) agar mereka selalu diangkat-angkat, dengan kata pujian para wartawan atau dengan pundak para bawahan. Sekarang ini, untungnya, lebih banyak orang yang masih berjalan ke sana-kemari dengan rasa proporsi yang masih sehat. Juga masih banyak orang yang sadar bahwa memuji dan dipuji di Indonesia punya banyak risiko. Yang dipuji bisa dicemburui koleganya, yang memuji bisa dicurigai kejujuran motifnya. Dalam keadaan yang tak terbiasa dengan kritik, dan rasa rikuh dan bahkan ketakutan bersuara masih kuat, siapa bisa menjamin bahwa sebuah pujian untuk seorang tokoh adalah pujian yang tulus -- bukan penjilatan, bukan jalan mencari keselamatan dan kedudukan? Maka, saya memang tak tahu masih bisakah kita punya tokoh. Saya juga tak tahu masih perlukah kita mencari tokoh. Barangkali yang lebih penting adalah berbicara tentang tindakan-tindakan tauladan, ketimbang berbicara tentang orang-orang tauladan -- yang cuma kita kenal dari jauh, nun di atas sana, disinari oleh cahaya publisitas yang cerlang-cemerlang.Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus