BILYET giro bisa dijadikan alat pembayaran sah. Itu menurut keputusan Pengadilan Negeri Medan, yang kemudian diperkuat pengadilan banding. Keputusan yang dinilai kontroversial tersebut banyak mendapat reaksi. "Jika bilyet itu ternyata tak ada dananya, bagaimana? Apakah justru tak mengganggu stabilitas perekonomian," komentar seorang pengacara. Dalam dunia bisnis umumnya, bilyet giro baru menjadi pembayaran sah jika sudah dapat dicairkan lewat kliring. Perkara yang diputus Ketua Majelis Din Muhammad itu mencuat ke permukaan gara-gara dipermasalahkan oleh Hengky Suwongso ke Mahkamah Agung. Direktur PT Ratu Mobil Sejagat itu menuduh telah terjadi penyimpangan perkara di Pengadilan Negeri Medan dan Pengadilan Tinggi Sumatera Utara. Hakim disebutnya memihak penggugat. Akibat laporan ini, akhir Desember lalu, Mahkamah Agung menerjunkan Hakim Agung Pengawas untuk mengecek kebenaran laporan tersebut. Perkara yang menyangkut Hengky itu bermula pada 1989. Karno alias Tan Hwe Loo, seorang kontraktor besar di Medan, kala itu membeli 30 unit dump truck Mitsubishi seharga Rp 2,5 miliar dari PT Ratu Mobil Sejagat. Pembelian itu secara kredit. Setelah dipotong uang muka, sisa utangnya Rp 2,2 miliar. Karno kemudian menutupnya dengan kredit dari Bank Bali cabang Medan, yang diperoleh lewat fasilitas kredit atas jaminan Hengky Suwongso. Jumlah kredit, ditambah bunga, mencapai sekitar Rp 3 miliar. Jumlah itulah yang harus dibayar Karno pada Bank Bali lewat Hengky Suwongso selaku avalis (penjamin). Disepakati pula Karno harus membuka 324 lembar bilyet giro mundur yang nilai nominal seluruhnya Rp 3 miliar. Bilyet ini diserahkan ke Hengky dan Bank Bali. Bilyet giro yang sudah jatuh tempo ketika dikliringkan tak jadi masalah. Pada 3 September 1992 Karno meninggal dunia. Dari sini, persoalan mulai muncul. Sebab, sebanyak 107 lembar (bernilai Rp 1,3 miliar) bilyet giro yang belum dicairkan, ketika dikliring, ternyata ditolak, karena dananya kosong. Hengky tentu kalang kabut. Apalagi, sebagai penjamin, ia terus ditekan pihak bank agar segera melunasi. Untuk menanggulangi sisa angsuran, Hengky dan Bank Bali menagih ke ahli waris almarhum. Tapi janda almarhum, Teo A Boen, malah balik menuntut. Alasannya, berdasarkan perhitungan sang istri, pembayaran dengan giro bilyet yang dilakukan Karno justru kelebihan Rp 1,5 miliar. Hengky tentu kaget. Apalagi diketahui sebagian bilyet tak bisa diuangkan. Setelah debat panjang, pada 5 Mei 1993, hakim memenangkan Teo A Boen. Hengky dan bank justru diwajibkan membayar. Pertimbangan hakim yang menarik, "Walaupun terdapat bilyet giro yang pada tanggal jatuh tempo ternyata tak ada dananya, secara hukum bilyet giro merupakan surat berharga dan merupakan alat pembayaran yang sah." Serta-merta Hengky menyatakan banding. Tapi, ternyata ia juga kalah. Kini ia kasasi. "Putusan itu aneh. Mempersamakan cek dengan bilyet giro adalah fatal, karena sifat dan fungsi keduanya berbeda," ujar Hengky tegas. Menurut Hengky, cek benar surat berharga dan merupakan alat pembayaran seperti diatur dalam KUHD. Sebaliknya bilyet giro tak ada pengaturannya dalam undang-undang. Ia hanya diatur lewat surat edaran dari Bank Indonesia (bilyet giro adalah suatu kuasa untuk memindahkan sejumlah dana kepada orang yang ditunjuk). Din Muhammad ketika ditemui TEMPO tak banyak bicara. "Saya tak boleh mengomentari keputusan. Tidak sependapat itu kan biasa. Orang yang kalah itu mana pernah puas? Tuduhan adanya kolusi dengan penggugat tidak benar." Cuma diakuinya, akibat laporan Hengky, ia berurusan dengan Hakim Agung Pengawas. Sampai pekan lalu, hasil pemeriksaan belum diumumkan, sedangkan keputusan kasasinya juga belum turun.ARM, Sarluhut Napitupulu dan Affan Bey Hutasuhut (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini