Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Badan Legislasi (Baleg) DPR membahas revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian pada Rabu, 15 Mei 2024. Salah satu perubahan yang dibahas adalah terhadap Pasal 16 UU Keimigrasian yang mengatur wewenang imigrasi untuk mencegah orang dalam penyelidikan berpergian ke luar negeri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Wakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidowi atau Awiek, revisi UU Keimigrasian berlandaskan kepada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 40/PUU/IX/2011 dan 64/PUU/IX/2011. Dia kemudian meminta tim ahli Baleg DPR untuk menjelaskan materi perubahan yang akan dilakukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perubahan yang dijelaskan adalah dihilangkannya diksi “penyelidikan” dalam Pasal 16 UU Keimigrasian. Sebabnya, pertimbangan MK menyatakan orang yang berada dalam proses penyelidikan belum tentu dilakukan penyidikan.
“Dalam RUU Pasal 16 ayat 1 pejabat imigrasi menolak orang untuk keluar wilayah Indonesia dalam hal orang tersebut diperlukan untuk kepentingan penyidikan,” kata tenaga ahli Baleg DPR, Widodo, membacakan bunyi pasal baru dalam draf RUU tersebut.
Adapun menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penyelidikan adalah tindakan untuk menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana. Penyelidikan dilakukan untuk menentukan dapat atau tidaknya peristiwa tersebut dilanjutkan ke proses penyidikan.
Sementara itu, penyidikan adalah tindakan untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang bisa membuat terang tindak pidana yang terjadi dan menemukan tersangkanya.
“Jadi penyelidikan dalam rangka mencari bukti-bukti karena itu belum ditemukan adanya bukti-bukti dan Mahkamah berpendapat frasa itu bertentangan dengan UUD 1945,” kata Widodo merujuk kepada putusan MK tentang UU Keimigrasian.
Selain itu, revisi UU Keimigrasian juga akan mengubah Pasal 97 ayat 1 undang-undang tersebut. “Semula di dalam UU existing itu tertulis jangka waktu pencegahan berlaku paling lama 6 bulan dan 'setiap kali' dapat diperpanjang paling lama 6 bulan," ujar Widodo.
Widodo berujar Putusan MK Nomor 64/PUU/IX/2011 berpendapat bahwa frasa “setiap kali” tidak memberikan kepastian hukum. Maka dari itu, pasal tersebut harus diubah.
Tenaga ahli Baleg DPR itu pun membacakan draf pasal baru yang akan diajukan. “"Pasal 97: (1) Jangka waktu pencegahan berlaku paling lama 6 (enam) bulan dan hanya dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan,” kata Widodo.