Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suara jaksa terdengar parau ketika membacakan tuntutan. Maklum, berkas tuntutan itu cukup tebal, 122 halaman. Begitu tebalnya sehingga tiga jaksa penuntut umum?Bastian Hutabarat, Robert Tacoy, dan Wahyudi?harus membacakannya bergantian. Sesekali, mereka menenggak air putih.
Lalu tibalah saatnya ke inti tuntutan. Dengan nada datar, jaksa menuntut Bambang Harymurti, Pemimpin Redaksi Majalah TEMPO, hukuman dua tahun penjara. Masih ada tuntutan tambahan: terdakwa harus langsung masuk tahanan bila divonis bersalah.
Mendengar tuntutan ini, suasana hening di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat awal pekan lalu itu mendadak riuh. Sebagian hadirin terhenyak. Kamera wartawan pun serempak menyorot jaksa.
Dalam tuntutannya, Jaksa Bastian menyebut Bambang bersalah karena menyiarkan berita bohong sehingga menimbulkan keonaran. Bambang juga dianggap telah mencemarkan nama baik Tomy Winata, bos Grup Artha Graha.
Inilah sidang yang bermula dari berita di Majalah TEMPO Edisi 3-9 Maret 2003. Dalam berita berjudul Ada Tomy di Tenabang? itu, TEMPO memuat ihwal isu adanya proposal renovasi Pasar Tanah Abang pasca-kebakaran yang diajukan Tomy.
Puluhan orang yang mengaku pendukung Tomy Winata rupanya tak suka berita itu. Mereka datang ke kantor redaksi TEMPO, sebagian yang lain memaksa masuk ruang redaksi. Terjadi ketegangan, bahkan aksi kekerasan berlangsung di kantor Polres Jakarta Pusat. Kasus ini kemudian berlanjut dengan gugatan Tomy yang membuat Bambang dan dua awak redaksi?Ahmad Taufik dan Teuku Iskandar Ali?menjadi terdakwa.
Menurut Jaksa Bastian, berita itu menimbulkan keresahan di kalangan karyawan Artha Graha dan berujung dengan aksi unjuk rasa ke kantor TEMPO. Jaksa juga menyebut para korban kebakaran Tanah Abang ikut resah. Mengutip Tomy, jaksa menyatakan ada korban kebakaran yang melempari kantor pengusaha itu dengan kotoran dan telur. Bahkan, kata jaksa, ada yang mengancam Tomy melalui telepon.
Kalimat "pemulung besar" dalam berita juga dipersoalkan. Menurut jaksa, sebutan itu membuat sosok Tomy berkonotasi negatif. "Banyak rekan Tomy yang ragu berbisnis dengannya," kata jaksa. Bambang kemudian dijerat dakwaan berlapis: Pasal XIV Ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 junto Pasal 55 Ayat (1) ke-1e Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Menyiarkan Berita Bohong, dan Pasal 311 (1) dan 310 KUHP junto Pasal 55 Ayat (1) ke-1e KUHP tentang Pencemaran Nama Baik.
Seusai sidang, Bambang menyatakan keberatannya pada keterangan saksi yang dibacakan jaksa. Ia mencontohkan, saksi menyebut wartawan TEMPO yang mewawancarai Suharti, pemulung di Pasar Tanah Abang, adalah Cahyo Junaedy. "Padahal yang mewawancarai adalah Ahmad Taufik," kata Bambang.
Bambang juga mempersoalkan tuduhan bahwa berita yang termuat adalah berita bohong. "Jika memang berita bohong, apakah bantahan Tomy yang termuat di sana juga bohong?" ujarnya.
Lebih penting lagi, menurut Bambang, jika hakim mengabulkan tuntutan jaksa, inilah ancaman bagi akses publik terhadap informasi. "Jadi, jika ada orang kuat yang tidak senang pemberitaan Anda, lalu dia kirim orang untuk bikin keonaran, Anda sendiri bisa dituntut karena menyebarkan berita yang menimbulkan keonaran dan diancam hukuman 10 tahun," ujarnya.
Seperti halnya Bambang, pengacara TEMPO, Todung Mulya Lubis, mengatakan pemberitaan itu menyangkut kepentingan umum. Pemberitaan yang menyangkut kepentingan umum, kata dia, tidak bisa dikenai tindakan pidana. "Selama berita itu sudah memenuhi kaidah jurnalistik, seharusnya tidak ada persoalan," kata Todung.
Todung kemudian mempersoalkan banyaknya keterangan saksi ahli yang tidak dikutip jaksa secara utuh sehingga menimbulkan penafsiran berbeda. Tentang ini, Darwin Aritonang, pengacara TEMPO lainnya, memberi contoh menyangkut kesaksian saksi ahli Rudy Satrio.
Mengutip kesaksian pengajar hukum pidana di Universitas Indonesia itu, jaksa menyimpulkan bahwa unsur subyektif Pasal 310 KUHP telah terpenuhi. "Yang dimuat Majalah TEMPO, menurut saksi ahli, mengandung pelanggaran terhadap kehormatan atau nama baik orang lain (menista)," demikian jaksa dalam surat tuntutannya.
Kepada TEMPO, Rudy menyayangkan karena jaksa mengutip sepotong-sepotong kesaksiannya. Ia menjelaskan, memang benar dia menyebut unsur subyektif dalam Pasal 310 KUHP terpenuhi. "Tapi, itu dengan catatan bahwa unsur `barang siapa' dalam pasal itu adalah orang. Dalam kasus TEMPO, unsur `barang siapa' tersebut tidak terpenuhi," tuturnya. "TEMPO bukan orang, melainkan badan usaha," ia melanjutkan.
Hal lain yang dipersoalkan pengacara TEMPO adalah kesalahan persepsi jaksa dalam menguraikan keterangan saksi. Menurut Darwin, tuntutan jaksa mengesankan TEMPO tidak mewawancarai Wali Kota Jakarta Pusat Andi Subur dan H. Petra Lumbuun. "Padahal keduanya diwawancarai," katanya.
Ia menjelaskan, wartawan TEMPO yang mewawancarai Andi adalah Juli Hantoro. Inilah sebabnya, kata Darwin lagi, saat sidang berlangsung, tim pengacara TEMPO pernah mendesak pada hakim agar Petra Lumbuun dihadirkan sebagai saksi. "Faktanya, Petra tidak pernah datang ke pengadilan," kata Darwin. "Kesaksiannya hanya dibacakan di depan sidang, dan itu pun dari keterangan di penyidik polisi," ujar Darwin.
Dia mengakui, memang dalam praktek, jaksa sering hanya mengutip sebagian keterangan saksi untuk menguatkan dakwaan dan tuntutannya. "Cara itu sah-sah saja," ujarnya. Namun, ia mengingatkan, "Asal jangan sampai (pengambilan) keterangan itu direkayasa."
Bastian sendiri, Kamis pekan lalu, mengakui tidak mengambil utuh keterangan 37 orang saksi, termasuk para saksi ahli. "Kami mengambil yang penting-penting saja," tuturnya. Alasannya, untuk menguatkan dakwaan dan tuntutan. Ia memastikan tidak ada kesaksian yang diubah atau direkayasa.
Bastian kemudian menampik anggapan bahwa mengutip sepenggal keterangan saksi sengaja dilakukan hanya untuk menjerat terdakwa. Menurut dia, itu semata-mata mencari kebenaran materiil. Lagi pula, Bastian yakin, tim pengacara TEMPO akan melakukan hal yang sama?mengambil keterangan yang penting saja?ketika mengajukan pembelaan.
Mengutip sepenggal keterangan saksi memang sudah lazim. Namun, menurut Rifqie Sjarief Assegaf, Direktur Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), cara seperti ini mengandung risiko terjadinya kesalahan persepsi. "Karena itu, kunci terakhir ada pada majelis hakim sendiri," tuturnya.
Yang jadi soal, kata Rifqie, hakim sering mengandalkan catatan yang dibuat panitera. Jika panitera tidak mencatat atau merekam karena banyaknya perkara yang ditangani? "Nah, bisa fatal putusannya nanti," ujarnya.
Karena itu, dia mengusulkan agar semua keterangan saksi langsung didokumentasikan dan dapat diakses baik oleh jaksa maupun pengacara, bahkan oleh publik. Atau, bila perlu, saran Rifqie, kedua belah pihak dapat dimintai persetujuannya atas dokumentasi kesaksian yang disampaikan di sidang. "Akan lebih baik jika keterangan saksi langsung dicetak dan didokumentasikan untuk menghindari rekayasa," ia menegaskan.
Darwin sepakat dengan usulan Rifqie. Ia dan timnya bahkan sudah berniat membandingkan keterangan saksi yang ada dalam surat tuntutan jaksa dengan catatan yang dimilikinya. Kebetulan, kata Darwin, semua keterangan saksi selama sidang sudah direkam. "Semuanya harus dibandingkan," katanya. Dengan melacak dokumentasi, menurut Darwin, akan mudah diketahui jika ternyata terjadi salah kutip oleh jaksa.
Di beberapa negara, mendokumentasikan keterangan saksi sudah dianggap wajib. Di setiap sidang, setiap pernyataan saksi langsung diketik oleh stenograf. Dengan cara ini, selain sidang terhindar dari salah tafsir dan rekayasa, pekerjaan jaksa pun bisa lebih cepat dan mudah. Jika cara itu dipakai, jaksa memang tak perlu sampai parau suaranya karena membacakan dasar-dasar tuntutan yang berlembar-lembar.
Sukma N. Loppies dan Edycan (TNR)
Lex Specialis Bukan Khayalan
Tuntutan pidana dua tahun bagi Bambang Harymurti mempertegas kembali perlunya penggunaan Undang-Undang Pers sebagai lex specialis dalam kasus sengketa pers dengan masyarakat. Inilah antara lain yang dinyatakan calon wakil presiden Hasyim Muzadi ketika datang memberikan dukungan moral ke kantor Redaksi Tempo, Jumat pekan lalu.
Menurut Hasyim, tidak ada cara lain untuk melindungi pers selain menerapkan Undang-Undang Pers. Tentang ini, Hasyim menyebut sudah ada yurisprudensinya. "Ini bukan khayalan, di Bandung, seorang hakim mengambil keputusan berdasarkan Undang-Undang Pers. Saya tahu, karena hakimnya adik ipar saya," kata dia.
Hakim yang dimaksud adalah A. Fadol Tamam, hakim di Pengadilan Negeri Bandung. Pada Mei 2004, dia memutuskan menolak gugatan perdata Asmi Thalib Chaniago, wartawan tabloid Pasopati Bandung, terhadap enam media massa serta dua anggota DPRD Jawa Barat.
Dasar penolakan Fadol adalah tidak digunakannya Undang-Undang Pers. Gugatan dianggap prematur karena tidak menggunakan mekanisme yang diatur dalam UU No. 40/1999 tentang Pers yang mengatur hak jawab. Asmi kemudian menyatakan bahwa hak jawab adalah hak, bukan kewajiban, sehingga soal dia menggunakan hak ini atau tidak, itu terserah dia. Namun Fadol menolak argumentasi ini. "Itu penafsiran yang salah terhadap UU Pers," kata Fadol.
Edy Budiyarso
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo