Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari-hari mendatang adalah hari serba tenang bagi konglomerat Sjamsul Nursalim. Setelah sekian lama ngumpet di Singapura, bos Grup Gadjah Tunggal itu sekarang bebas mendarat di wilayah Indonesia mana pun. Tak akan ada aparat yang menatap curiga, apalagi menangkapnya. Semua itu berkat keluarnya surat perintah penghentian penyidikan (SP3) sejak 13 Juli lalu. Dengan SP3 ini, status tersangka yang membebaninya sejak empat tahun lalu tak ada lagi.
Adalah Jaksa Agung M.A. Rachman yang mengumumkan keluarnya berkah SP3 itu seusai ulang tahun kejaksaan ke-44, Kamis pekan lalu. Menurut Jaksa Agung, Sjamsul sudah mengantongi surat keterangan lunas (SKL) dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). "Siapa yang telah mendapat SKL, ya, kita hentikan (penyidikannya)," kata Rachman. Ia lalu menunjuk Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2002 yang mengatur pemberian release and discharge?pelepasan dari tuntutan hukum?sebagai dasar keputusannya.
Tak urung, pembebasan Sjamsul ini memancing rasa heran dan terkejut. "Itu keputusan yang tidak rasional dan kontroversial," kata Wakil Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW), Luky Djani. Bagi ICW, Sjamsul tak pantas memperoleh SP3. Apalagi ia tak pernah menunjukkan niat untuk mengembalikan uang negara yang dikemplangnya. Sebelumnya, ICW sudah berkali-kali mendesak pemerintah agar segera menyeret Sjamsul ke meja hijau. Tapi desakan tinggal desakan. Meski berstatus tersangka, ia bebas merdeka bermukim di Singapura.
Urusan pemerintah dengan Sjamsul bermula ketika bank miliknya, Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), dilikuidasi pada tahun 1998. Bank ini meninggalkan utang bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sekitar Rp 28,4 triliun. BPPN pun menyita sejumlah aset Sjamsul, antara lain Gadjah Tunggal Petrochem, Gadjah Tunggal Tyre, dan Dipasena Citra Darmaja, tambak udang di Lampung?semuanya ditaksir bernilai sekitar Rp 27,4 triliun. Melalui perjanjian master of settlement and acquisition agreement (MSAA), Sjamsul kemudian diwajibkan menyetor uang tunai Rp 1 triliun.
Sayangnya, Sjamsul pun enggan memenuhi keringanan itu. Pada Oktober 2000, Jaksa Agung Marzuki Darusman menetapkan Sjamsul sebagai tersangka korupsi. Pengusaha kelahiran Lampung tahun 1942 ini mulai diperiksa. Namun, di tengah pemeriksaan, Sjamsul meminta izin ke luar negeri untuk berobat. Ia kemudian terbang ke Singapura, Tokyo, kembali lagi ke Negeri Singa dan parkir di sana menghindari pemeriksaan.
Meski tahu Sjamsul ada di Singapura, toh kejaksaan tak mampu menjamah. BPPN menuding Sjamsul tak punya niat baik menyelesaikan kewajibannya. Ia juga dianggap menghalangi proses balik nama perusahaan yang dijaminkannya. Aset-asetnya pun, setelah ditaksir ulang, ternyata hanya bernilai sekitar Rp 5 triliun. "Nilai aset yang ia serahkan sebagai jaminan jauh lebih kecil ketimbang utangnya," kata Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kwik Kian Gie, kala itu.
Belakangan, Sjamsul berubah. Pada Desember 2002, Itjih Nursalim, istrinya, bersedia meneken letter of undertaking (surat penyerahan aset pelunasan utang) dengan BPPN. Sejak inilah tanda-tanda Sjamsul bakal lepas dari jerat hukum mulai terlihat. Apalagi, tak berselang lama, pemerintah menerbitkan Instruksi Presiden No. 8/2002, yang mengatur pelepasan dari tuntutan hukum atas konglomerat bermasalah. Intinya, pemerintah tak akan menuntut pidana terhadap debitor yang kooperatif. Apakah Sjamsul termasuk kategori kelompok ini? "Dia tak pantas. Sejak awal terlihat dia tidak kooperatif menyelesaikan utangnya," kata pengamat ekonomi Faisal Basri.
Toh, akhirnya BPPN menerbitkan release and discharge, semacam "surat pengampunan" bagi Sjamsul. Tak hanya itu. BPPN juga memutuskan menyelamatkan Dipasena, tambak udang Sjamsul di Lampung, dengan suntikan dana segar. Melalui Bank Mandiri, pada Januari 2004 mengucur dana Rp 450 miliar untuk Dipasena. Taufiq Kiemas, suami Presiden Megawati, yang pernah meninjau tambak seluas 16.250 hektare itu, ikut menjamin kredit tersebut.
Sempat muncul dugaan bahwa SP3 yang keluar pekan lalu itu tak lepas dari andil Presiden Megawati dan suaminya. Namun, Tjahyo Kumolo, orang dekat Taufiq Kiemas, membantah. "Saya jamin Presiden tidak sedikit pun melakukan intervensi," ujarnya. Pengacara Sjamsul, Adnan Buyung Nasution, menyebut keluarnya SP3 ini adalah politik hukum pemerintahan Megawati. "Kejaksaan Agung tidak lagi menggunakan jalur hukum pidana untuk memproses perkara tersebut," katanya.
Berbeda dengan Buyung, pengamat hukum Andi Hamzah menyesalkan hilangnya tuntutan pidana terhadap Sjamsul. Menurut pakar hukum pidana ini, perkara Sjamsul tak bisa di-SP3-kan. "Pengembalian uang kepada negara tidak bisa menghapuskan unsur pidananya," kata Hamzah.
Apakah dengan adanya SP3 ini Sjamsul benar-benar bebas? Jelas tidak, kata Ketua Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), Taufiequrachman Ruki. "SP3 bukan sesuatu yang final," ujarnya. Menurut Ruki, KPK bisa melakukan penyidikan terhadap Sjamsul jika ada bukti lain. "Kalau ada bukti lain yang mendukung, kita akan membuka kembali kasus itu," tuturnya.
L.R. Baskoro, Maria Ulfah, Khairunnisa (TNR)
Hujan SP3 di Negeri Sendiri
TAK hanya Sjamsul Nursalim, sejumlah pengusaha kakap Indonesia lainnya pun pernah mendapat berkah kenikmatan bernama SP3 ini. PrajogoPangestu, misalnya. Si "raja kayu" ini sempat diperiksa kejaksaan karena dianggap menyelewengkan uang negara ratusan miliar rupiah. Tapi, seperti halnya Sjamsul, Prajogo akhirnya bebas.
Kala itu Prajogo dituding menilap uang negara dengan cara memalsukan luas lahan tanaman industri milik perusahaannya, PT Musi Hutan Persada, di Sumatera Selatan pada 1990-an. Dalam catatan Departemen Kehutanan, Prajogo hanya membangun 118 ribu hektare, tapi ia mengaku 193 ribu hektare. Tujuannya, untuk menyabet dana reboisasi Rp 331 miliar. Sekjen Departemen Kehutanan kala itu, Soeripto, yang geregetan dengan ulah bos Grup Barito Pacific Timber ini, membawa segepok bukti kecurangan Prajogo ke Kejaksaan Agung.
Aparat kejaksaan kemudian bergerak. Dengan bantuan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), lahan Prajogo diukur ulang. Dan inilah hasilnya: Prajogo dianggap tak bersalah. "Bakosurtanal menyatakan lahan yang dibangun seluas 193 ribu hektare. Masa, kami tak percaya," kata jaksa penyidik, Suwandi. Maka, turunlah SP3 terhadap pengusaha hutan itu.
Berkah SP3 juga sempat mampir ke Siti Hardijanti Rukmana alias Tutut. Putri mantan presiden Soeharto ini sempat tersandung kasus proyek pemipaan di Jawa. Tutut dituduh merugikan uang negara US$ 20,4 juta dalam pemasangan pipa sepanjang 320 kilometer. Berdasarkan laporan Koordinator Pelaksana Proyek Pipanisasi Jawa, pekerjaan itu baru selesai 5 persen, bukan 14,5 persen seperti nilai yang telanjur dibayarkan PT Triharsa Bimanusa Tunggal, perusahaan milik Tutut.
Kejaksaan lantas meminta sebuah tim dari Australia melakukan pengujian proyek itu. Namun, menurut kejaksaan, dari hasil pengujian tak ditemukan kesalahan. Tutut pun bebas dari jerat hukum.
Pengusaha Djoko Ramiadji dan Marimutu Sinivasan juga beruntung menikmati SP3. Djoko dibebaskan setelah kejaksaan menyatakan Direktur Utama Marga Nurindo Bhakti itu tak terbukti menyelewengkan uang negara Rp 250 miliar dalam proyek jalan tol Jakarta Outer Ring Road (JORR).
Adapun Sinivasan dianggap tak bersalah di balik kredit macet senilai Rp 15,37 triliun yang dikucurkan Bank BNI ke Grup Texmaco miliknya pada 1997. Kejaksaan, ketika itu, menyimpulkan penyimpangan penyaluran kredit yang dilakukan Texmaco sudah mendapat persetujuan Dewan Direksi Bank Indonesia.
Kejaksaan juga menyatakan unsur kerugian negara tidak ada karena aset Texmaco mampu menutup pinjamannya yang total senilai Rp 29 triliun. Perintah kejaksaan untuk mencegah dirinya bepergian ke luar negeri pun, pada tahun 2000, ditarik. Sinivasan pun tersenyum lebar. Dan kini, setelah empat tahun di negeri orang, hujan SP3 di negeri sendiri itu yang dinikmati Sjamsul.
LRB
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo