Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Abilio Jose Osorio Soares kini punya banyak waktu luang untuk menjalankan hobinya. Kapan pun sempat, bekas orang nomor satu di Timor Timur itu akan mengajak orang di sekitarnya bermain tenis meja. Dan jika sudah main, badannya berkeringat, wajahnya pun terlihat lebih segar. Sayangnya, hobi sehat itu harus dia jalankan di tempat yang mungkin dulu sama sekali tak pernah ia bayangkan: Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur.
Sejak Sabtu 17 Juli lalu, Abilio harus rela menghuni kamar 4 Blok III H. Sudah pasti kamar ini tak senyaman kamar tidurnya ketika ia memegang jabatan Gubernur Timor Timur dulu. Tapi, setidaknya di sini ia punya teman sekamar yang bisa diajak berbagi cerita: Bekas Kepala Bulog Beddu Amang.
Di penjara ini pula dulu pejuang kemerdekaan Timor Timur, Jose Alexandre Kay Rala Xanana Gusmao, ditahan. Hidup memang sulit diduga. Kini, Xanana menjadi orang nomor satu di bekas provinsi yang sekarang menjadi negara bernama Republik Demokratik Timor Leste (RDTL).
Nasib memang membawa Abilio terdampar di LP Cipinang. April lalu Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi yang ia ajukan. Dengan penolakan ini, berarti vonis hukuman tiga tahun penjara dari pengadilan hak asasi manusia ad hoc di Jakarta Pusat dua tahun lalu (kemudian diperkuat keputusan Pengadilan Tinggi Jakarta setahun yang lewat) harus dijalankan.
Kesalahan Abilio, menurut ketua majelis hakim di tingkat pertama, Emmy Marni Mustafa, karena Gubernur Timor Timur itu lalai. Dia dianggap gagal mencegah pecahnya konflik berdarah menjelang dan setelah jajak pendapat di Timor Timur pada 30 Agustus 1999. Akibat kelalaian itu, demikian pengadilan, sekitar 47 orang penduduk sipil tewas di Liquisa, Suai, dan Dili.
Menurut majelis hakim, seharusnya Abilio mampu membubarkan apel ribuan anggota pejuang prointegrasi saat kelompok itu, pada 17 April 1999, berkumpul membawa senjata tajam dan senjata api di halaman kantor Gubernur Timor Timur. Majelis yakin, aksi itulah yang kemudian memicu kerusuhan besar dengan korban jiwa penduduk sipil. Apalagi Abilio, menurut majelis hakim, pernah memerintahkan para bupati dan wali kota agar membentuk pengamanan swakarsa. Inilah pasukan sipil yang direkrut pemerintah daerah untuk melakukan tugas pengamanan. Menurut hakim, pasukan sipil ini yang bersama-sama milisi prointegrasi, seperti Laksaur, Mahidi, dan Aitarak, memicu kerusuhan.
Pertimbangan itu pula yang menjadi dasar putusan para hakim di tingkat banding sampai kasasi. Bekas anggota DPRD Timor Timur, Manuel Viegas Carrascalao, sepakat dengan pertimbangan majelis hakim. "Dia (Abilio) tidak membunuh siapa-siapa, tapi dia membiarkan orang membunuh. Tidak ada upaya dari Abilio untuk mencegah. Padahal, Abilio menjabat Gubernur Tim-Tim," kata Manuel kepada koresponden TEMPO di Dili, Alexandre Assis.
Menurut Manuel, jika waktu itu Abilio selaku gubernur mengeluarkan perintah agar tentara tidak melakukan pembunuhan, tentunya tentara akan mundur. "Seharusnya, selaku gubernur dan orang Timor, Abilio memperhatikan nasib orang Timor," ujarnya.
Manuel mengingatkan, ketika milisi Aitarak pimpinan Eurico Guterres dan kelompok Besi Merah Putih melakukan aksi kekerasan di Dili pada 17 Juli 1999, Abilio hanya diam. "Jadi, tiga tahun hukuman untuk Abilio tidak cukup, seharusnya Abilio dihukum 10 tahun," katanya. Manuel memang tampak geram karena dalam aksi kekerasan itulah anak kandungnya, Menelito Manuel Carrascalao, terbunuh.
Tapi pembelaan terhadap Abilio justru datang dari Presiden Timor Leste, Xanana Gusmao. Di mata Xanana, hukuman penjara bagi Abilio sangat tidak adil. Selaku gubernur saat itu, kata Xanana, Abilio tidak punya wewenang atas keamanan Timor Timur. "Yang pantas dihukum adalah mereka yang diberi tugas dan tanggung jawab keamanan pra dan pasca-jajak pendapat 1999. Saya sangat kecewa atas putusan MA itu," kata Xanana di Istana Debu, Kaikoli, Dili.
Alasan itu pula yang membuat Xanana pernah mengirim surat kepada hakim pengadilan ad hoc yang menangani kasus pelanggaran berat itu. Dalam suratnya, Xanana meminta majelis hakim mengadili dengan hati jernih. "Jangan sampai kasus ini kembali memakan korban yang tidak bersalah," kata dia.
Menurut Xanana, sesuai dengan kesepakatan 5 Mei 1999 antara Indonesia, Portugal, dan PBB, tanggung jawab keamanan berada di tangan militer dan polisi Indonesia. "Karena itu, tragedi kemanusiaan 1999 adalah tanggung jawab TNI dan polisi, bukan tanggung jawab Abilio," kata Xanana tegas.
Sama seperti Xanana, Koordinator Conselho Nacional de Resistencia Timorense dan Direktur Keamanan Sipil Timor Leste, David Dias Ximenes, sepakat bahwa seharusnya Abilio tidak dihukum. Ia yakin, Abilio hanya korban politik munafik PBB dan RI. "Seakan-akan TNI dan Polri tidak berdosa di Tim-Tim. Padahal semua pelanggaran HAM berawal dari manuver kelompok bersenjata RI," ujarnya.
Kepada TEMPO, Abilio dengan lugas mengatakan bahwa dia memang menjadi tumbal sebuah sistem. "Saya merasa tidak pernah melakukan perbuatan melawan hukum. Kalau memang pernah, saya akan terima hukumannya. Ini orang lain yang berbuat, kok saya yang bertanggung jawab," katanya (lihat, "Saya Kangen, Ingin Pulang").
Abilio merujuk pada kesepakatan 5 Mei, yang ditandatangani PBB, Portugal, dan Indonesia di New York. Dalam kesepakatan ini, jelas disebutkan bahwa yang bertanggung jawab dalam hal keamanan adalah polisi dan TNI. "Yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan jajak pendapat adalah PBB. Pengawasan dilakukan pemerintah pusat, sementara pemerintah daerah tak diberi peran, disingkirkan. Waktu itu kami sudah menyatakan kekecewaan," ujarnya.
Toh, Direktur Penanganan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Kejaksaan Agung, I Ketut Murtika, membantah tudingan bahwa Abilio hanya kambing hitam. Menurut Ketut, memang baru kasus Abilio yang sudah berkekuatan hukum tetap sehingga harus dieksekusi. "Kalau ada yang bilang hanya sipil yang diganjar hukuman, itu tidak benar. Mereka tidak tahu, ada empat militer yang sedang menempuh upaya hukum," kata Ketut.
Wajar saja bila ada anggapan Abilio hanya menjadi korban. Dalam kasus Timor Timur ini, yang diseret menjadi terdakwa tercatat 18 orang. Dari jumlah itu, MA sudah menolak kasasi jaksa dan membebaskan 11 terdakwa.
Berdasarkan penelusuran TEMPO di panitera pidana pengadilan tinggi HAM ad hoc Jakarta, lima perkara, empat di antaranya berasal dari TNI dan polisi, belum diputus. Berkas perkara itu masing-masing adalah milik mantan Panglima Daerah Militer IX Udayana, Mayor Jenderal Adam Damiri (divonis 3 tahun penjara); bekas Komandan Resort Militer 164 Wiradharma, Letnan Kolonel (Inf.) M. Noer Muis (5 tahun penjara); bekas Kepala Polisi Resort Dili, Kolonel (Polisi) Hulman Goeltom (3 tahun penjara); dan bekas Komandan Distrik Militer 1627 Dili, Letnan Kolonel (Inf.) Sujarwo (5 tahun penjara). Satu lagi terdakwa sipil, bekas Wakil Panglima Pejuang Pro-Integrasi, Eurico Guterres, yang divonis 10 tahun penjara.
Namun, Ketut yakin para terdakwa yang telah diputus bersalah pada pengadilan tingkat sebelumnya akan diputus sama di tingkat kasasi. "Biasanya, kalau di pengadilan negeri terbukti, di pengadilan tinggi terbukti juga, maka di Mahkamah Agung pun akan terbukti," ujarnya.
Belakangan, setelah masuk penjara, Abilio "bernyanyi" bahwa pam swakarsa dan milisi yang terlibat kerusuhan adalah bentukan TNI. Menanggapi ini, Ketut menyatakan bahwa kesaksian itu masih bisa dipakai dasar untuk mengungkap ulang kasus itu. Syaratnya, asal ada bukti dan saksi lain.
Mungkin itulah salah satu peluang Abilio. Apalagi dia kini sudah menempuh upaya peninjauan kembali (PK). "Saya akan melakukan upaya hukum terakhir, PK. Saya tak akan minta grasi, karena saya tak bersalah," tuturnya.
Ahmad Taufik, Sukma N. Loppies
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo