Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HANA SURYANA tak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Senin pekan lalu, setelah diperiksa di Gedung Bundar Kejaksaan Agung, ia tak menyangka langsung digelandang ke ruang tahanan. ”Saya syok,” ujar Direktur Utama PT Pos Indonesia tersebut. Saat dijenguk di tahanan kejaksaan, Rabu pekan lalu, wajahnya terlihat murung. Pria 51 tahun itu kini menghadapi tuduhan gawat: melakukan korupsi lantaran melakukan penggelapan komisi biaya pengiriman surat rekanan PT Pos.
Kejaksaan menduga Hana terlibat praktek kotor itu saat menjabat Kepala Kantor Wilayah Pos IV, yang meliputi Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, pada 2003-2006. Sejumlah bukti sudah dikantongi jaksa, antara lain surat perintah darinya ihwal pemberian komisi enam persen, melebihi ketentuan maksimal lima persen.
Menurut Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Effendy, penahanan Hana merupakan pengembangan penyelidikan kasus serupa di Kantor Pos Fatahillah, Jakarta Pusat, Maret lalu. Kasus Fatahillah diduga merugikan negara Rp 14 miliar. ”Ternyata praktek ini juga terjadi di kantor pos lain,” kata Marwan. Menurut dia, berdasarkan surat pengaduan yang dikirim ”orang dalam” PT Pos, uang negara yang dirugikan mencapai Rp 45 miliar. Dari sinilah penyelidikan itu kemudian mengarah dan lantas menjerat Hana.
Sebelum Hana, kejaksaan sudah menahan sejumlah pejabat PT Pos lainnya. Mereka, antara lain, Kepala Kantor Pos Jakarta Pusat Herbon Optalno, Kepala Kantor Pos Jakarta Mampang II Rudi Atas Perbatas, bekas Kepala Kantor Pos Jakarta Pusat Her Chaeruddin, Kepala Kantor Pos Jakarta Selatan Yosef Taufik Hidayat, dan Kepala Kantor Pos Jakarta Barat Erinaldi.
Kisah dugaan korupsi di badan usaha milik negara yang ”seret berkembang” itu dimulai lima tahun lalu saat muncul Surat Edaran Direktur Operasi PT Pos. Inilah ketentuan yang mengatur perihal potongan harga, insentif, dan komisi untuk pihak luar yang memakai jasa PT Pos. Kantor Pos Wilayah IV memiliki pelanggan kelas kakap tak kurang dari 20 perusahaan, antara lain PT Telkomsel, PT Exelcomindo Pratama (XL), PT BNI, dan perusahaan asuransi Sequis Life. Dalam penyelidikan kejaksaan, ternyata komisi itu masuk kantong ”pak pos” itu juga. ”Ada kuitansi yang diteken pegawai Pos. Padahal seharusnya komisi itu diterima rekanan,” ujar Marwan.
Nilai komisi, kata Marwan, ternyata juga digelembungkan. Saat Hana menjabat Kepala Kantor Wilayah IV, misalnya, ia pernah mengizinkan Kepala Kantor Pos Fatahillah, Fahrurozy, menaikkan komisi itu jadi enam persen. Padahal, dalam aturan yang tercantum dalam surat edaran, besaran komisi itu tiga hingga lima persen dari nilai transaksi. ”Uang itu ternyata tidak diterima pelanggan,” kata Marwan.
Kejaksaan sudah memeriksa sejumlah perusahaan rekanan PT Pos tersebut. Seorang jaksa bercerita, para saksi menyatakan tak pernah menerima komisi. ”Ada saksi yang diminta menandatangani kuitansi Rp 2 juta, tapi cuma ditraktir makan,” ujar sang jaksa. Menurut para saksi, mereka menolak meneken kuitansi karena tidak mungkin dana yang sudah dikeluarkan untuk biaya pos dikembalikan ke perusahaan. Mereka juga tidak tahu adanya ketentuan komisi yang dikeluarkan PT Pos. ”Saya tidak tahu ada aturan soal itu,” ujar seorang saksi yang diperiksa di kejaksaan. Kejaksaan juga sudah dua kali menggeledah Kantor Pos Wilayah IV. Hanya, kendati sudah mengaduk-aduk isi kantor yang terletak di kawasan Lapangan Banteng itu, kuitansi asli soal komisi yang akan dijadikan barang bukti tak ditemukan.
Penggeledahan inilah yang belakangan memancing protes Stefanus Gunawan, kuasa hukum PT Pos. Pengacara ini akan mempraperadilankan kejaksaan karena para jaksa menggeledah tanpa izin pengadilan. Tapi Marwan tak gentar. Menurut dia, izin penggeledahan bisa diminta belakangan. ”Penggeledahan terhadap PT Pos itu mendesak,” ujarnya.
Adapun Hana Suryana menegaskan dia tak melakukan penggelapan dan penggelembungan komisi seperti yang dituduhkan. Menurut dia, kalaupun kejaksaan menyebut penggelembungan komisi, itu sebenarnya dilakukan setelah mengurangi persentase diskon atau insentif yang jumlahnya kurang dari 13 persen. Menurut dia, ini tak melanggar aturan karena ada satu ketentuan lain dalam surat edaran yang menyebutkan batas maksimum biaya pra-posting, termasuk diskon, komisi, dan insentif, maksimal 30 persen. Nah, soal batasan 30 persen ini, lagi-lagi fleksibel. Soalnya, dalam surat itu disebutkan kepala wilayah berhak mengubah atau meninjau ulang besaran uang atau persentase untuk mendapat diskon, komisi, dan insentif.
Juru bicara PT Pos, Joesman Kartaprawira, juga menegaskan, yang dilakukan Hana hanya meneruskan isi Surat Edaran Direktur Operasi PT Pos kepada kantor-kantor pos di wilayahnya. ”Komisi itu bertujuan memelihara kesetiaan pelanggan,” ujarnya. Menurut Joesman, soal tanda tangan yang dilakukan PT Pos dalam kuitansi pemberian komisi itu juga tidak bisa disebut melawan hukum. ”Surat edaran menyebutkan, jika penerima menolak meneken kuitansi, kolom tanda tangan penerima cukup ditandatangani pejabat yang menyerahkan komisi atau yang ditunjuk,” ujarnya.
Lantaran semua tersangka menunjuk surat edaran sebagai kambing hitamnya, kejaksaan kini tengah meneliti munculnya surat ini. Menurut Marwan, surat tersebut jelas bertentangan dengan Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Tahun 2000, karena menurut peraturan itu, perusahaan pemerintah dilarang menerima komisi. ”Sementara itu, kebanyakan pelanggan PT Pos adalah perusahaan milik pemerintah.” Tampaknya kasus ini memang bakal menyeret ”pak pos-pak pos” lainnya.
Adek Media, Gabriel Titiyoga
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo