Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Eks Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar-Komisi dan Instansi (PJKAKI) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Sujanarko memberikan penilaian terhadap upaya pemberantasan korupsi oleh instansi penegak hukum dalam setahun terakhir. Aktivis antikorupsi ini menyoroti kinerja KPK, kejaksaan, hingga kepolisian dan pemerintah dalam menangani kasus rasuah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sujanarko mengapresiasi keputusan KPK menetapkan status tersangka terhadap Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto terkait dengan kasus suap oleh Harun Masiku kepada eks komisioner KPU, Wahyu Setiawan. Menurut dia keberanian lembaga antirasuah tersebut kudu dijaga konsistensinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Untuk KPK, keberanian mentersangkakan Sekjen PDIP harus tetap dijaga konsistensinya, bahkan harus kembali ditindaklanjuti dengan perbaikan tata kelola parpol dan mengurangi regim money politiknya,” kata Sujanarko saat dihubungi melalui aplikasi perpesanan, Senin, 30 Desember 2024.
Sementara itu, kepada kejaksaan Sujanarko berpesan agar tindakan-tindakan koruptor tidak diglorifikasi dengan dakwaan-dakwaan kerugian negara yang tidak realistis. Sebab hal ini, kata dia, mempersulit proses pemulihan aset. Alih-alih melebih-lebihkan, menurutnya dakwaan potensi kerugian sebaiknya diambil dari keuntungan hasil korupsi.
“Untuk kejaksaan, tindakan-tindakan keras oleh koruptor tidak perlu diglorifikasi dengan dakwaan-dakwaan kerugian negara yang tidak realistis seperti kasus BTS dan tambang timah sehingga mempersulit asset recovery-nya,” katanya.
Eks pegawai KPK korban tes wawasan kebangsaan (TWK) ini juga menyoroti peran kepolisian dalam memberantas korupsi. Kendati sudah dibentuk Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortastipidkor) sebagai unit pemberantasan rasuah, ia menyebut kepolisian belum maksimal menjalankan fungsi sebagai lembaga antikorupsi.
Di sisi lain, Sujanarko juga mendorong pemerintah untuk segera meregulasikan Undang-undang Perampasan Aset. Menurutnya, upaya pemerintah mengembalikan kerugian negara akibat korupsi lewat perampasan aset guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi tidak realistis tanpa membenahi prosedur acara maupun pemidanaannya.
“Ada potensi KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme) akan justru meningkat karena politik akomodatif yang berlebihan,” kata Sujanarko.
Sebelumnya, gerakan antikorupsi IM57+ Institute juga memberikan rapor akhir tahun evaluasi pemberantasan korupsi sepanjang 2024. KPK dinilai tidak ada perbaikan kinerja di tahun terakhir masa kepemimpinan periode 2019-2024. Sementara Joko Widodo atau Jokowi selaku Presiden ke-7 RI disebut gagal total memberantas korupsi selama dua periode pemerintahannya.
“Pertama, pada aspek institusional, tidak ada perbaikan dari kinerja KPK pada tahun terakhir masa jabatan Pimpinan KPK,” kata Ketua IM57+ Institute Lakso Anindito dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Senin, 30 Desember 2024.
Lakso berujar tidak ada kasus signifikan yang berhasil dituntaskan oleh KPK yang mempunyai dampak signifikan bagi publik sepanjang 2024. Termasuk kasus yang menarik perhatian publik, menurutnya juga tidak ada yang ditangani oleh lembaga antikorupsi itu. Justru, kata dia, KPK lebih mengemuka karena skandal pimpinannya.
Selain menyoroti kinerja KPK, Lakso juga menyinggung soal berbagai kasus strategis yang berhasil diungkap namun tidak secara tuntas dapat diselesaikan oleh kejaksaan. Salah satunya terkait kasus korupsi tambang timah. Setelah peradilan tingkat pertama menjatuhkan vonis, kini kasus tersebut berlanjut ke Mahkamah Agung lantaran hukuman yang dijatuhkan berkesan janggal.
“Kepolisian pun menyimpan problem karena kasus Firli Bahuri sebagai satu-satunya kasus yang high level kembali berulang tahun,” kata eks pegawai KPK korban Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang dipecat paling akhir ini.
Di sisi lain, IM57+ Institute juga menyoroti ketidakberhasilan Jokowi dalam memberikan kontribusi positif untuk memperbaiki kerusakan KPK di detik-detik masa jabatannya. Jokowi dinilai gagal total dalam pemberantasan korupsi selama menjabat sebagai kepala negara dua periode.
“Bahkan, Presiden Joko Widodo malah mendukung secara nyata adanya proses yang mendukung terciptanya politik dinasti yang menimbulkan penolakan massif di republik,” kata alumnus Universitas Gadjah Mada itu.