Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Eksekusi dan Surat Mendagri

Sengketa tanah tempat parkir dan gudang arsip di Bank Agung Asia (BAA) dimenangkan oleh Ny. Trisyani. Perintah eksekusi dari MA tak kunjung tiba lantaran ada surat dari Mendagri.

26 Desember 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEPUTUSAN Mahkamah Agung ternyata bisa digagalkan oleh Surat Menteri Dalam Negeri. Buktinya, tiga kali perintah eksekusi Mahkamah Agung untuk pengosongan tanah seluas 728 m2 di Jalan Pintu Besar Selatan 77 A-79, Jakarta Barat, sampai pekan lalu tak dapat dilaksanakan. Pihak Polda Metro Jaya juga menolak permintaan pengadilan untuk mengamankan eksekusi tanah tersebut. Tanah dan bangunan yang sehari-hari digunakan sebagai tempat parkir dan gudang arsip Bank Agung Asia (BAA) itu semula milik sebuah yayasan. Berdasarkan putusan Mahkamah Agung, 1975, tanah itu menjadi hak sebagian ahli waris pengurus yayasan Saleh dan Umar. Kedua orang tadi menjual tanahnya kepada Nyonya Trisyani, 1979, dengan harga Rp 30 juta. Namun, sewaktu Nyonya Trisyani mengukurnya, ternyata tanah berada dalam kekuasaan Mulyadi Salim. Gara-gara itulah Nyonya Trisyani menggugatnya ke pengadilan. Rupanya, jual beli atas tanah tersebut tak hanya berlangsung antara Saleh-Umar dan Nyonya Trisyani saja. Pada kesempatan lain, Ahmad dan Nyonya Salmah, yang juga mengaku sebagai ahli waris pengurus yayasan, telah menjual tanah itu pada Hadi Susanto. Berikutnya tanah beralih ke Nyonya Katharina, yang kemudian menjual lagi pada Mulyadi Salim. Sengketa pun kian seru, lantaran pihak BAA, yang mengaku sebagai pemilik juga, ikut masuk sebagai pihak yang berperkara. BAA menyatakan telah menguasai tanah tersebut, lewat hubungan sewa dengan Mulyadi, sejak tahun 1975. Bahkan pada 21 April 1980, Mulyadi telah menjual tanah itu pada BAA. Pengadilan Negeri Jakarta Barat, sekitar Oktober 1981, memutuskan Nyonya Trisyani sebagai pemilik sahnya. Putusan ini dikuatkan pengadilan banding. Baik permohonan kasasi maupun peninjauan kembali dari Mulyadi dan BAA ditolak Mahkamah Agung. Cuma saja, ketika perkara yang sudah berumur 6 tahun lebih itu akan dieksekusi, ternyata tak mudah. Sampai eksekusi yang ketiga kalinya, awal Agustus lalu, juga gagal. Penyebabnya, surat Mendagri yang ditujukan pada Gubernur DKI Jakarta, tanggal 1 Agustus 1987. Dalam surat itu, Surat Izin Perumahan (SIP) atas nama BAA dinyatakan masih berlaku. Menurut Juru Bicara Depdagri, Feisal Tamin, sesuai dengan ketentuan konversi tanah eigendom (hak milik orang asing), hak yang semula dipegang yayasan itu kini kembali dikuasai negara. Belakangan BAA mendapatkan SIP karena ada perjanjian sewa-menyewa dengan Mulyadi Salim. Jadi, "BAA penghuni yang sah, karena punya SIP. Pengosongan hanya bisa dilakukan setelah adanya putusan pengadilan atas hubungan sewa-menyewa itu," ujar Staf Ahli Mendagri itu. Pihak kepolisian pun mengambil sikap senada, tidak bersedia memberikan bantuan pengamanan eksekusi, yang selama ini menjadi kewajibannya. "Sebab, permasalahannya belum tuntas," ujar Wakapolda Metro Jaya, Brigjen. Pol. Kunarto. "Pihak yang satu mengatakan sudah selesai, pihak lainnya bilang belum. Kami 'kan tidak ingin disalahkan siapa pun," kata Kunarto. Bagi Nyonya Trisyani, kegagalan eksekusi cuma lantaran dalih BAA, yang mengaku adanya hubungan sewa-menyewa, sekaligus bisa memiliki SIP. "Dulu, ketika berperkara mereka bilang sudah beli dari Mulyadi, tapi kok sekarang bilang sewa," ujar Kurnia, 50 tahun, suami Nyonya Trisyani. Yang membuat pihak Nyonya Trisyani tak habis pikir dalih BAA itu diterima saja oleh Depdagri tanpa memperhatikan putusan pengadilan. Hakim Agung Pengawas Daerah Jakarta, Soebiiantono, malah menyatakan BAA tidak berhak menguasai tanah itu. "Berdasarkan putusan pengadilan, pemilik sahnya, ya, Nyonya Trisyani," ujar Soebijantono. Karena itu pula putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat tahun 1981 itu, yang telah berkekuatan tetap, harus dilaksanakan. Mahkamah Agung Oktober lalu, sekali lagi memerintahkan pengosongan. Perolehan SIP BAA, menurut Soebijantono, menyalahi instruksi Mendagri Nomor 16 Tahun 1984. Lantaran SIP itu dikeluarkan ketika perkara sedang diperiksa pengadilan. Bahkan perpanjangannya terjadi setelah putusan Mahkamah Agung keluar. "Seharusnya, tidak boleh diberikan SIP, karena obyek sedang dalam sengketa," katanya. Muchsin Lubis, dan Ahmadie Thaha (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus