Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Vonis pisah ranjang

Benny burnawan wijaya di pn bandung harus ceraikan istrinya, maria, yang minggat 13 tahun lalu & harus membayar ganti rugi rp 48,9 juta. benny naik banding, ia merasa tak bersalah.

26 Desember 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BENNY Burnawan Wijaya, 46 tahun, terperangah ketika mendengar vonis. Pengadilan Negeri Bandung. Benny kaget, bukan saja karena ia harus menceraikan istrinya yang sudah 13 tahun minggat. Juga karena ia wajib membayar ganti rugi Rp 48,9 juta, dan seluruh harta kekayaannya dijadikan sita jaminan. "Saya tak punya duit sebesar itu. Harta kekayaan yang dijadikan sita jaminan itu semuanya bukan milik saya," katanya pasrah. Tukang jualan mi bakso di pasar Pamoyanan Kodya Bandung itu pekan lalu akhirnya mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Vonis yang membuat Benny bingung sebenarnya berasal dari gugatan istrinya sendiri, Maria Unawati, 45 tahun. Maria, yang pernah meninggalkan Benny selama 13 tahun, Juli 1987 menggugat cerai dan menuntut ganti rugi Rp 62,4 juta. Uang sebesar itu, katanya, merupakan nafkah rumah tangga dan biaya pendidikan seorang anak yang tak pernah diterimanya selama 13 tahun pisah tanpa cerai itu. Tapi Hakim Abdul Wahab Sudiono cuma mengabulkan Rp 48,9 juta dan cerai dari suaminya. Sedangkan seluruh harta kekayaan berupa dua buah rumah beserta isinya dan kekayaan lainnya dijadikan sita jaminan. "Putusan itu wajar. Ia begitu lama menelantarkan dan menyakiti kami," tutur Maria, gembira. Benny sudah sejak Maret 1974 ditinggal minggat istrinya. Suatu hari ayah seorang putri ini pulang dari berjualan mi bakso. Istrinya tak ada di rumah. Ia tak curiga. Pikirnya, mungkin sedang pergi ke rumah orangtuanya. Tapi setelah empat hari tak pulang, Benny menyuruh keponakannya menyusul. Maria sempat pulang sebentar, sekadar memberikan kunci rumah. Itu pun tak sempat ketemu Benny. Ia kembali lagi ke rumah orangtuanya di Jalan Sudirman, Bandung. Nah, sejak saat itulah hubungan suami-istri yang menikah di catatan sipil Agustus 1970 itu semakin tegang. Mereka pisah ranjang. Sikap Maria, menurut Benny, tak semesra ketika masih pacaran atau temanten baru. Padahal, sebelum terjadi ketegangan, Maria masih senang kerja di dapur dan mencuci pakaian sebagaimana layaknya seorang istri. Setelah 1,5 tahun perkawinan, yakni setelah lahir anak satu-satunya, entah kenapa, tingkah laku Maria berubah tak serajin dulu. "Ibu sayalah yang masak, berbelanja, mencuci, dan mengasuh anak. Maria cuma bepergian. Siang baru pulang, ketika pekerjaan di rumah sudah beres," tutur pedagang mi bakso yang berbadan gemuk itu. Keluarga ini memang masih numpang di rumah ibu Benny. Kenapa Maria minggat? "Saya sendiri tak tahu alasannya. Apa karena saya miskin?" tanyanya, bernada bingung. Sejak melahirkan, menurut Benny, Maria senang bersolek dan minta dibelikan barang yang mahal-mahal. "Terus terang, saya tak mampu menurutinya. Saya ini cuma hidup dari jualan bakso," keluhnya. Walaupun begitu, ia mengaku tak pernah berlaku kasar. "Saya tak pernah memperlakukan istri dengan kasar. Apalagi memukul. Tapi sekadar menegur, itu lumrah dilakukan suami," ujarnya. Ada memang usaha rujuk, tapi selalu gagal. Misalnya, Benny pernah minta agar KTP disesuaikan dengan alamat rumah yang ia tumpangi. "Sebagai suami-istri, masa alamatnya berlainan," kata Benny. Permintaan ini ditolak Maria. Ia tetap beralamat di rumah orangtuanya di Jalan Sudirman, sementara Benny di rumah ibunya, di daerah Inhofteng Indah, Bandung. Karena tidak ada kesepakatan itulah akhirnya mereka memutuskan pisah ranjang dan tentu pisah rumah. "Lebih baik saya menyibukkan diri jual bakso daripada memikirkan kelakuan istri saya," kata Benny. Soal anak? "Ia tetap tinggal bersama ibunya. Percuma saya minta juga. Ia minta tebusan Rp 20 juta. Aneh 'kan, padahal itu anak saya," katanya pahit. Selama pisah itu Benny mengaku tak pernah menafkahi istrinya. Alasannya, Maria sudah punya nafkah sendiri yang memadai. Ia bersama ibunya berjualan kue. "Wong, kami juga tak pernah kumpul lagi, kok," alasan Benny. Apa kata Maria? "Ia memang kasar. Saya sering dipukuli, malah pernah diancam pakai golok segala. Saya sendiri tidak tahu apa sebab perangainya begitu kasar," kilah Maria, yang katanya pernah diusir dari rumah ketika hamil 9 bulan. Toh, Maria tak pernah minta cerai sampai ia menggugat dan dimenangkan pengadilan 9 Juli 1987. "Selama 13 tahun saya menunggu dengan sabar dan berharap agar perangai suami saya berubah, tapi sia-sia. Akhirnya, saya gugat ke pengadilan," kata Maria. Benny tampaknya tak keberatan cerai dengan istrinya. Tapi kalau harus membayar ganti rugi sebesar itu, "Wah, dari mana uangnya?" katanya. Anehnya, Hakim tidak pernah mempermasalahkan status pemilikan harta kekayaan yang dijadikan sita jaminan. "Tuntutan itu memang logis. Sebab, nilai kedua rumah yang disita jaminan itu sekitar Rp 60 juta. Tapi itu milik keponakannya, bukan milik tergugat," kata Roy Andre da Costa, yang juga pengacara Benny, sambil memperlihatkan sertifikat kedua rumah itu. Menurut Prof. Subekti, putusan cerai dan ganti rugi sudah sah, sepanjang alasan penggugat logis. Tapi tentang sita jaminan, "Baru sah apabila terbukti memang harta kekayaan itu milik tergugat," komentar ahli hukum perdata, mantan Ketua Mahkamah Agung RI itu. Hasan Syukur, Gatot Triyanto, Riza Sofyat (Biro Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus