Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Eksekusi Martabat

Pengadilan memenangkan Suwandi Onggo dalam kasus sengketa bioskop riang dan tanahnya di Medan. Eksekusi sampai kini belum dapat dilaksanakan, karena Gubernur Kaharuddin menolak.(hk)

10 November 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

VONIS pengadilan sering-sering hanya berupa kemenangan di atas kertas bagi pihak yang memenangkan perkara perdata. Begitu eksekusi akan dilaksanakan, biasanya, muncul halangan. Pengusaha Medan, Soewandi Onggo alias Ong Ban Lie, misalnya, sampai kini belum berhasil memiliki Bioskop Riang - yang diputuskan Mahkamah Agung, dua tahun lalu, sebagai miliknya. Pihak yang kalah, gubernur Sumatera Utara, ternyata menolak melaksanakan putusan itu. "Apa kamu masih ingin tinggal di Medan?" begitu konon Gubernur Kaharuddin Nasution mengancam Ong Ban Lie, seperti dikutip sebuah sumber TEMPO. Menurut Lie, yang juga memiliki pabrik markisah di Medan, tanah pertapakan seluas 1.034 m2 di Jalan Pandu, Medan, tempat Bioskop Riang itu berdiri, adalah warisan kakeknya, Mendiang Hong Han Tjoe. Pada 1941, tanah itu disewakan Han Tjoe kepada seorang warga negara Belanda, Johan Frederick Miejer, untuk jangka waktu 25 tahun. Di atas tanah itu Meijer kemudian mendirikan Bioskop Rio. Dalam kontrak sewa-menyewa dengan akta Notaris Tjeerd Disktra, menurut cerita Lie, diperjanjikan pada tahun pertama kakeknya akan menerlma uang sewa sebesar 100 gulden per bulan. Tiga tahun berikutnya harga sewa naik menjadi 150 gulden. Setelah itu menjadi 200 gulden. Pada saat kontrak berakhir, diperkirakan 1966, disepakati bahwa baik tanah maupun gedung berikut peralatannya - kecuali proyektor - akan kembali kepada pemilik tanah. Tapi, 1960, bioskop itu dinasionalisasikan pemerintah daerah. Sejak itu nama Rio diganti meniadi Riang. Akibatnya, menurut Lie, sejak itu pula pihaknya tidak lagi menerima uang sewa tanah. Lebih celaka lagi, Pemda tidak mengembalikan tanah dan bioskop itu pada waktu kontrak sewa-menyewa berakhir. Karena itu, 1981, Lie menggugat pemda Sumatera Utara untuk mengembalikan hak miliknya sekaligus ganti rugi uang sewa sebanyak Rp 46 juta. Pengadilan Negeri Medan dan Pengadilan Tinggi Sumatera Utara memutuskan, Bioskop Riang berikut tanahnya, yang kini berharga lebih dari Rp 100 juta, merupakan hak milik Lie. Tapi kedua peradilan itu menolak gugatan ganti rugi terhadap Pemda. Mahkamah Agung, pemutus terakhir, berpendapat bahwa tanah adalah milik Lie, sementara bioskop tanpa pemilik. Karena itu, menurut majelis yang diketuai Indroharto, gedung bioskop harus dilelang melalui Balai Harta Peninggalan. Namun, sampai kini, putusan 5 Mahkamah Agung tertanggal 30 September 1982 itu belum bisa dilaksanakan. Menurut sebuah sumber TEMPO, tidak kurang dari empat kali eksekusi gagal dilaksanakan peggadilan. Bekas ketua Pengadilan Negeri Medan, kini hakim tinggi, Chabib Syarbini, mengakui perihal kegagalannya melaksanakan putusan Mahkamah Agung. Tapi ia menolak menjelaskan sebab-sebabnya. Sebuah sumber di Medan mengungkapkan, halangan itu datang dari "orang Nomor Satu" di provinsi itu. Dikatakannya, Gubernur Kaharuddin Nasution beranggapan bahwa pelaksanaan putusan peradilan itu sebagai "percobaan menurunkan martabat pemerintah". Sebab itu, selain mengancam Lie, Kaharuddin juga memerintahkan kepala Direktorat Agraria Sum-Ut, Sudjarwo, membatalkan sertifikat hak milik atas tanah yang dikeluarkan instansi itu atas nama Ong Ban Lie, 5 Agustus 1978. Menteri Dalam Negeri, 29 Oktober 1983, memang membatalkan sertifikat Lie. Berdasarkan itu, Kantor Agraria Medan menerbitkan sertifikat HGB (Hak Guna Bangunan) atas nama P.D. Sum-Ut Unit Hiburan. "Padahal, sertifikat hak milik itu kekuatan yang dimiliki Ong Ban Lie," ujar Chabib Syarbini. Gubernur Sum-Ut, Kaharuddin Nasution, menolak menjelaskan perihal sengketa itu. Pengacaranya, Marulam Sitompul, membantah tuduhan bahwa Gubernur mengancam akan mengusir Lie dari Medan. Ia hanya mengakui, pihaknya tidak bersedia melaksanakan eksekusi itu, karena, katanya, bioskop beserta tanah yang disengketakan itu milik Pemda. Buktinya, "Kami punya sertifikat atas tanah itu," ujar Sitompul. Belakangan, Pemda justru menggugat Ong Ban Lie untuk membayar ganti rugi Rp 100 juta. Alasan Sitompul, Pemda dirugikan, karena sejak April lalu Bioskop Riang disita pengadilan atas permintaan Lie. Dalam gugatan balik itu Pemda juga meminta pengadilan menetapkan bioskop berikut tanahnya berada di bawah penguasaan dan pengelolaan Pemda. Kepala Humas Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, Thamrin Bangsawan, mengakui tidak mudah melaksanakan eksekusi perdata di daerah itu. Sebab itu, katanya, ketua Pengadilan Tinggi, Djazuli Bachar, memerintahkan semua pengadilan negeri menginventarisasikan semua eksekusi yang belum bisa dilaksanakan di daerah Sum-Ut, termasuk eksekusi Bioskop Riang. "Saya harus hati-hati. Sebab, melaksanakan eksekusi seperti pekerjaan yang memakan perasaan dan menghadapi ancaman," ujar Djazuli, yang tidak bersedia menjelaskan kegagalan aparatnya mengeksekusi bioskop itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus