VONIS hakim dalam perkara korupsi ternyata tidak hanya menentukan nasib terdakwa, tapi juga jaksa. Begitu hakim membebaskan terdakwa, berarti saat itu pula tim jaksa yang menangani kasus itu menjadi tersangka di hadapan atasannya. Kepala Seksi Ekonomi Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, Binsar Siahaan, misalnya, kenaikan pangkatnya ditunda gara-gara bebasnya seorang terdakwa perkara korupsi di daerah itu. Binsar semula dipercayai kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, Rizal Thaib, untuk mengusut kasus korupsi seorang pengusaha penyuplai suku cadang traktor dan mobil, Edy Susanto. Setelah bekerja selama enam bulan, Binsar bersama empat orang anggota timnya yakin, Edy melakukan tindak pidana korupsi sebesar Rp I milyar lebih, dalam bisnisnya dengan PTP IX (perusahaan perkebunan milik negara). "Saya yakin bukti-bukti cukup untuk membawanya ke pengadilan," ujar Binsar. Di persidangan, Jaksa Humala Panjaitan yang tampil di sidang, menuduh Edy, selama menjadi rekanan perusahaan negara itu dari 1979 sampai 1983, menyuplai suku cadang mobil dan traktor tiruan. Selain itu, menurut Jaksa, berkat permainan Edy dengan pejabat PTP, Nusrial Nurdin, harga suku cadang yang disuplainya melebihi harga resmi. Sebab itu, Jaksa menuduh Edy korupsi. Hakim Hartomo, yang memimpin sidang September lalu, membebaskan Edy. Sebab, semua pejabat PTP, yang diajukan sebagai saksi, mengaku bahwa perusahaannya tidak rugi membeli barang-barang tiruan itu. Akibatnya, salah satu unsur tuduhan korupsi, yaitu negara dirugikan, tidak terbukti di persidangan. "Jaksa gagal membuktikan tuduhannya," kata Hartomo (TEMPO, 22 September). Akibatnya, Oktober lalu, tim jaksa yang menangani Edy dieksaminasi oleh tim inspektorat dari Kejaksaan Agung, di bawah pimpinan R.M. Simatupang. Menurut pemeriksaan, kegagalan jaksa menuntut Edy akibat kekeliruan yang dibuat tim pengusut yang diketuai Binsar. Misalnya, Binsar tidak mencantumkan tuduhan penipuan di samping korupsi. "Padahal, walau Edy lolos dari tuduhan korupsi, dia bisa kena dalam penipuan," kata sebuah sumber TEMPO. Berdasarkan pengusutan tim itu, akhir Oktober lalu, Binsar menerima "vonis": kenaikan pangkatnya ditunda selama setahun. Selain Binsar, Jaksa Agung juga menegur kepala Kejaksaan Tinggi, Rizal Thaib, dan Asisten Pidana Khusus, R. Setiawan. Satu-satunya yang lolos adalah jaksa penuntut umum, Humala Panjaitan. "Sebab, dalam kasus itu Humala hanya ayam aduan yang kalah di gelanggang," ujar seorang sumber di kejaksaan Medan. Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan Umum aam Wasum), Abdul Wirahadikusumah, membenarkan bahwa Binsar mendapat hukuman atas kesalahannya. "Ia lalai dalam menangani kasus itu," ujar Abdul. Menurut Abdul, kesalahan Binsar, antara lain, menuntut Edy dengan tuduhan tunggal, dan tidak berkonsultasi dengan Kejaksaan Agung. "Menurut penelitian tim Simatupang kesalahan terbanyak dilakukan Binsar. Sebab itu, atasannya, Jaksa Tinggi dan Asisten Pidana Khusus, hanya mendapat teguran agar lain kali lebih berhati-hati," kata Abdul lagi. MENURUT Jam Wasum, eksaminasi terhadap perkara-perkara yang gagal dituntut jaksa sudah dilakukan sejak Ismail Saleh menjadi jaksa agung. Prosedur eksaminasi itu, katanya, tidak terbatas hanya pada perkara korupsi, tetapi juga pada perkara pidana biasa. Untuk perkara korupsi dan subversi, eksaminasi dilakukan Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus, dan untuk perkara biasa oleh Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Umum. Hasilnya, yang dianggap perlu oleh Jaksa Agung untuk diberi tindak lanjut diteruskan eksaminasinya oleh Jaksa Agung Bidang Pengawasan Umum. "Eksaminasi itu dimaksudkan untuk mengetahui apakah penanganan perkara yang dilakukan jaksa sudah tepat atau belum," tutur Abdul. Sebab itu pula, kata Abdul, tidak selalu vonis bebas hakim berakibat buruk bagi jaksa yang menangani perkara. Jaksa-jaksa yang gagal menuntut Jos Soetomo dalam perkara korupsi, misalnya, kata Abdul, tidak terkena eksaminasi oleh Jam Wasum. "Eksaminasinya dilakukan Jaksa Agung dan Jaksa Agung Pidana Khusus, setelah itu selesai," ujar Abdul. Jaksa Suhadi Muslam di Yogyakarta, yang gagal menuntut lurah Catur Tunggal di Sleman, Suyadi, dari tuduhan korupsi Rp 500 juta, mengalami hal itu, bahkan pangkatnya naik: 1 Oktober lalu pangkatnya naik, dari senawira menjadi adiwira jaksa. "Sampai selesai eksaminasi, tim yang menangani perkara itu tidak pernah mendapat teguran," ujar seorang jaksa di Yogya, bangga. Tapi, menurut sumber TEMPO di Jakarta, eksaminasi perkara Lurah Suyadi belum berakhir. Ada yang tersembunyi?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini